• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 25 April 2024

Madura

Lakpesdam NU Pragaan Sumenep Gelar Diskusi Kiprah Habaib

Lakpesdam NU Pragaan Sumenep Gelar Diskusi Kiprah Habaib
Diskusi seputar sejarah dan kiprah para habib dilakukan Lakpesdam MWCNU Pragaan Sumenep. (Foto: NOJ/Firdausi)
Diskusi seputar sejarah dan kiprah para habib dilakukan Lakpesdam MWCNU Pragaan Sumenep. (Foto: NOJ/Firdausi)

Sumenep, NU Online Jatim

Pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Mejelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Pragaan Sumenep menggelar kajian bulanan. Acara dipusatkan di mushala Wakil Rais MWCNU Pragaan, Kiai Abd Warits Anwar, Kamis (11/6).

 

Gus Harir Hidayat selaku moderator memberikan penjelasan singkat tentang tema yang diangkat yakni ‘Menakar Opini tentang Dua Kubu Habaib'.

 

Menurutnya, pesta demokrasi lalu menyisikan irisan tajam dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dirasakan bersama, dimana media sosial menjadi penghantar timbulnya konten provokasi dan kabar hoaks menjadi menu utama saat dikonsumsi masyarakat awam. 

 

“Hal ini akhirnya membuat organisasi keagamaan dan tokoh masyarakat tidak berdaya mengontrol lajunya isu-isu tersebut," katanya. 

 

Pengurus Pimpinan Cabang (PC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Sumenep tersebut menjelaskan bahwa permasalahan ini berkembang menjadi konflik antarkedua belah pihak, baik antara kampret dan cebong. 

 

Isu agama yang paling banyak menimbulkan perpecahan. Sudah banyak dilihat bahwa tokoh Ormas meredam supaya hal ini agar tidak berlarut. Ada pula figur justru berlaku sebaliknya, dimana konten ceramah dan tulisannya memperkeruh situasi dan memperlebar keadaan, sehingga terjadinya konflik horizontal di tengah masyarakat. 

 

Dirinya menegaskan bahwa Nahdlatul Ulama tidak luput dari efek domino pesta demokrasi tersebut. Sehingga sebagian besar Nahdliyin atau warga NU menjadi sasaran empuk isu agama yang dimainkan pihak tertentu. 

 

"Ternyata objek sasarannya adalah kalangan habaib dan kiai yang keduanya merupakan orang yang dihormati masyarakat yang caci maki terdengar di mana-mana,” ungkapnya. 
Kondisi seperti ini sangat memprihatinkan mengingat NU adalah organisasi yang memiliki kekuatan struktural dan kultural yang mampu menyanggah keutuhan berbangsa dan bernegara dengan manhajul fiqr: tawassut, tasammuh, ta'addul, dan tawazun. 

 

Upaya membenturkan habaib dan kiai sepuh di internal NU tidak luput dari kepentingan Islam trans-nasional. Fenomena ini menjadikan umat Islam di Indonesia terpecah menjadi dua barisan, yakni kubu habaib dan kiai. 

 

"Gesekan politik sampai detik ini kita rasakan, sehingga membuat beban secara psikologis dan ideologis pada kalangan masyarakat. Sebenarnya isu yang digembor-gemborkan selalu menyatakan Pancasila belum final. Jika gesekan ini selesai, kiamatlah Indonesia," kata KH Asy'ari Khatib. 

 

Wakil Ketua MWCNU Pragaan tersebut menjelaskan bahwa selama masih ada dzurriyah Nabi, negara ini pasti aman. Jika lenyap keturunanku, maka berlakulah ketetapan Allah SWT," jelasnya sembari mengutip kitab Nashaihul Ibad. 

 

Pembina Lakpesdam NU Pragaan tersebut mengutip hadits bahwa jika Rasulullah SAW wafat, maka akan terjadi perpecahan yang menimpa para sahabat.

 

"Pertentangan dan perbedaan merupakan hal yang lumrah dan bagian dari niscaya serta sunnatullah. Tapi ciri khas NU jangan sampai dilupakan oleh para kader, yaitu akhlakul karimah," pintanya. 

 

Selanjutnya dijelaskan pula tentang hadits tersebut bahwa kondisi saat ini tidak sampai pada ikhtilaful aqaid. Jika sebaliknya, maka akan muncul Bizantiun baru di Indonesia.

 

"Mari kita belajar pada filosofi padi, jika masih muda pasti menjulang ke langit, jika sudah tua pasti akan merunduk atau bersujud. Jadi, kita tidak usah membenarkan pernyataan habaib yang salah, cukup kita membela sewajarnya saja, tanpa membulinya. Karena habaib adalah paku bumi Indonesia," ungkapnya. 

 

Hal senada juga disampaikan Kiai Abd Warits Anwar, bahwa di NU juga ada kalangan habaib yang tidak mau menampakkan dirinya kepada khalayak.

 

"Mayoritas tokoh NU di Indonesia, khususnya di Madura, nasabahnya keturunan Nabi Muhammad SAW, contohnya ulama di NU nasabahnya masih berdarah keturunan Wali Songo yang bergaris keturunan Sayyidina Hasan dan Husen," kata Wakil Rais MWCNU Pragaan ini. 

 

Kiai A Rofiq selaku Ketua Lembaga Ta'lif wan-Nasyar (LTN) MWCNU Pragaan mengutip karangan Imam Syadili, yakni Siratu Salaf min Bani Alawi al-Husainiyaini.

 

Bahwa istilah habib berkembang menjadi tiga fase, yakni: Pertama, fase dzurriyah pada abad ke 7 hingga 9 yang dikenal dengan sebutan al-Imam.  Dalam sejarah peradaban Islam bahwa Dinasti Abbasiyah menerapkan politik Bani Hasyim, di mana mereka merupakan dzurriyah Nabi yang berimigrasi ke Yaman. 

 

“Kualitas dan kompetensi keilmuannya sangat mumpuni, wajar jika mereka berijtihad," urainya.

 

Pria yang juga Ketua Aswaja Center Annuqayah ini meneruskan penjelasan bahwa fase yang kedua dikenal dengan sebutan syiekh yang berkembang pada abad ke 14 hingga 19. Sedangkan fase ketiga dikenal dengan sebutan habib yang berkembang  hingga sekarang. 

 

“Mereka terkenal dengan kealiman, keluasan ilmu dan akhlakul karimahnya,” jelasnya.

 

Dalam sejarah Indonesia, lima tahun setelah Sumpah Pemuda (1928), yakni pada 1938 kalangan ini mendeklarasikan Sumpah Peranakan Arab dan mendirikan organisasi yang dinamai Persatuan Arab Indonesia (PAI). Organisasi tersebut digagas keturunan Arab idealis yakni Abdurrahman Baswedan. 

 

Dirinya menjelaskan bahwa mereka juga memilki sumpah yang sama tapi beda makna. Adapun bunyi sumpahnya: 'Negeri kami Indonesia, mereka tidak mengisolasi diri, dan kepentingan negara adalah kepentingan kita'.

 

Dalam perspektif sejarah, awalnya tujuan mereka berdagang dan berdakwah, tetapi kemudian terseret kepada pusaran politik sehingga terpecah belah. Dan inilah yang menjadi cikal bakal habaib menjadi berkubu hingga sekarang. Karena mereka telah menjadi komuditi politik kepentingan. 

 

Dijelaskan pula bahwa golongan habaib juga memiliki kasta, yakni al-Imam, syeikh, habib, dan sayyid. Di mana mereka adalah penjaga keamanan di dunia. 

 

“Karenanya, tugas kaum Muslimin menyayangi dan menghormati mereka. Hal ini sebagaimana dikatakan almaghfurlah Mbah Maimun Zubair bahwa kita tidak menyepelekan dan menghormati haibahnya, tetapi kritik yang kita sampaikan harus konstruktif dan etis," pungkasnya.

 

Kontributor: Firdausi
Editor: Syaifullah
 


Editor:

Madura Terbaru