Metropolis

KH Ahmad Wazir Ali: Tak Sekadar Membimbing Agama, tapi Ayah bagi Santri

Rabu, 9 Juli 2025 | 21:00 WIB

KH Ahmad Wazir Ali: Tak Sekadar Membimbing Agama, tapi Ayah bagi Santri

KH Ahmad Wazir Ali, sosok ayah bagi santri. (Foto: NOJ/ M Rufait Balya)

Sidoarjo, NU Online Jatim

Wafatnya Pengasuh Asrama Sunan Ampel Putri Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang, KH Ahmad Wazir Ali, menyisakan duka bagi banyak kalangan. Di antaranya bagi para santri, alumni, dan keluarga besar pesantren.

 

Mochammad Fuad Nadjib, salah satu santri Kiai Wazir, mengatakan sosoknya tak sekadar membimbing perihal ilmu agama, tetapi juga menjadi sesosok ayah bagi santri. Tak heran, para santripun kerap memanggilnya Ayah Wazir.

 

Beliau bukan hanya pengasuh dan guru. Tetapi juga hadir sebagai tempat pulang bagi kami yang rapuh, salah arah, dan haus kasih sayang dalam perjuangan menuntut ilmu,” ujarnya kepada NU Online Jatim, Rabu (09/07/2025).

 

Pria asal Sidoarjo itu mengatakan, pertama kali menginjakkan kaki di Madrasah Mu’allimin Mu’allimat (MAMM) Mamba’ul Ma’arif tahun 2005. Saat itu, KH Ahmad Wazir Ali menjabat Kepala MAMM, setelah sebelumnya memimpin Lembaga Bahasa Arab dan Inggris (LBAI). 

 

“Saya datang sebagai santri yang penuh kekurangan, termasuk dalam capaian pelajaran. Di masa MTs saya termasuk santri yang nakal, bahkan kerap membolos ngaji,” ungkapnya.

 

Dirinya mengaku merasa tertinggal dan tidak percaya diri selama menimba ilmu di MAMM. Ia pun sempat berpikir untuk pindah dari Asrama Sunan Ampel – yang diasuh Kiai Wazir, ke asrama lain yang santrinya banyak belajar di MAMM. 

 

Akhirnya, ia sowan dan menyampaikan niat untuk pindah asrama. Namun, justru Kiai Wazir ‘ngaboti’ untuk tetap bertahan. “Bahkan, beliau dengan tulus menyediakan waktunya sendiri untuk mengajari saya ngaji secara pribadi setiap Selasa pagi ba’da Subuh, saat tidak ada kegiatan ngaji Al-Qur’an,” tuturnya. 

 

“Dari momen itulah saya belajar, bukan hanya ilmu, tapi juga kasih sayang, kesabaran, dan keteladanan sejati dari seorang guru sejati,” imbuh Fuad Nadjib.

 

Sosok Rendah Hati

Ia mengaku memiliki banyak kenangan bersama Kiai Wazir, yang dikenal dengan gurauan khas tetapi selalu mengandung nilai. Salah satu yang masih terpatri dalam ingatannya adalah bagaimana Kiai Wazir bersyukur dengan kehadiran istri tercintanya, Nyai Hj Nyai Halimah Ahmad. 

 

“Bu Nyai Halimah itu cantik, dan ketika menikah dengan saya, itu bentuk kesabaran. Sedangkan saya menikahinya adalah bentuk rasa syukur. Dan orang yang sabar serta bersyukur itu akan masuk surga lebih dulu,” kata Fuad Nadjib, menirukan dawuh Kiai Wazir yang berseloroh dengan wajah sumringah kala itu.

 

Dalam suatu kesempatan, Fuad Nadjib melanggar aturan asrama dengan mengikuti kegiatan olahraga beladiri. Kala itu, olahraga beladiri ini dilarang karena dinilai banyak mudaratnya. Akhirnya, ia memberanikan diri sowan dan meminta maaf. Tetapi yang terjadi justru Kiai Wazir menyalahkan diri sendiri, atas kesalahan yang dilakukan santrinya.

 

“Mungkin ini salah saya, Jib (panggilan Kiai Wazir kepada Fuad Nadjib). Tirakat saya kurang, puasa saya kurang, bangun malam saya kurang. Sehingga hati para santri belum bisa halus kepada pengasuhnya,” ucapnya menirukan.

 

Menurutnya, kebiasaan Kiai Wazir yang paling mengesankan adalah tidak makan pada malam hari. Suatu malam, saat Fuad Nadjib memijatnya, Kiai Wazir menjelaskan alasannya tidak makan malam. 

 

“Kalau malam saya tidak berani makan, khawatir nanti tidak bisa bangun malam. Lalu siapa yang akan mendoakan para santri?” ucap Kiai Wazir kala itu.

 

Bagi Fuad Nadjib, Kiai Wazir tidak hanya mengajari membaca dan menulis, tetapi juga mengajarkan makna hidup dan keikhlasan yang sebenar-benarnya. Menurutnya, teladan dan cinta sosok Kiai Wazir abadi, sebab tak pernah lelah mendidik dengan kasih sayang. 

 

“Selamat jalan, Ayah kami, KH Ahmad Wazir Ali. Semoga Allah menempatkan engkau di tempat terbaik di sisi-Nya,” pungkasnya.