• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 18 April 2024

Madura

Takzir di Pesantren Harus Patuhi Syariat

Takzir di Pesantren Harus Patuhi Syariat
Ilustrasi takzir di pesantren. (Foto: Catatan Muslim)
Ilustrasi takzir di pesantren. (Foto: Catatan Muslim)

Sumenep, NU Online Jatim
KH M Zainur Rahman Hammam Ali, pengasuh Pondok Pesantren Al-Muqri Karang Kapoh Prenduan, Sumenep menegaskan, bahwa takzir atau hukuman dalam bentuk pukulan fisik bisa ditolerir selama mematuhi rambu-rambu yang sudah ditetapkan, khususnya dalam madzhab Syafi'i.


"Jika ada kasus pentakziran yang berakibat hilangnya fungsi anggota tubuh atau hilangnya nyawa seorang santri, itu tidak diperbolehkan. Artinya, bukan pelaksanaan takzirnya yang salah, tetapi bentuk takzirnya yang melampaui batas," ujarnya saat dikonfirmasi NU Online Jatim, Rabu (07/09/2022).


Dalam syariat Islam, pukulan ringan dianggap tidak membahayakan. Dalam kitab Fikih, kepala merupakan salah satu organ tubuh yang tidak boleh dipukul, sedang yang boleh dipukul adalah bagian tubuh yang tidak menyebabkan hilangnya nyawa seseorang, seperti betis, pinggul, dan lainnya selama tidak membahayakan.


"Jika takzirnya berlebihan, seperti dipentung, ditendang, dibanting ala UFC Khabib Nurmagomedov versus Conor McGregor, itu sangat tidak layak," terang Kiai Zainur sembari melempar tawa.


Wakil Rais Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep itu juga menjelaskan soal kepasrahan dan kepatuhan santri di masa lalu. Disebutkan, kepasrahan seorang santri sangat luar biasa, berbeda di masa sekarang.


"Jangankan memukul, dengan mencubit, membentak atau hukuman yang ringan saja wali murid tidak terima dan dikatakan perbuatan yang tidak menyenangkan. Bahkan, bisa jadi dilaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dengan demikian, bentuk takzir fisik perlu ditinjau ulang, karena kondisi sekarang berbeda dengan masa lalu," terangnya.


Di sisi lain, setiap pondok pesantren memiliki kegiatan ekstrakurikuler yang potensial timbulnya menyakiti fisik seseorang, sebut saja pencak silat. Secara faktual, olahraga bela diri memiliki aturan bentuk aman yang sangat ketat.


"Di manapun, bela diri mengharuskan atletnya melakukan full body contact. Namun menggunakan alat pelindung tubuh yang lulus kualifikasi, seperti body protector. Olahraga Taekwondo yang banyak menggunakan kaki, menggunakan alat pelindung kepala, sarung tangan, dan lainnya," ungkapnya.


Semenara di pesantrennya, lanjutnya, dirinya memberlakukan aturan yang ketat, misalnya praktik yang bersifat bertarung harus di bawah pengawasan ahli dan pukulannya tidak menggunakan kekuatan penuh.


Selain itu, dirinya menyadari bahwa di setiap pesantren ada kelompok yang cenderung merasa besar dan menganggap pihak lain lebih kecil dari pada dirinya. Yang menjadi sasaran perundungan tentu teman-teman di luar kelompok itu.


Menyikapi hal itu, Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur itu menekankannya dengan memberi ketegasan langsung secara lisan. Kemudian ketegasan dari pengurus yang tidak membiarkan kasus perundungan terjadi yang mengakibatkan kekerasan antar santri.


"Kami sampaikan pada santri, siapapun yang membully temannya, baik dalam bentuk pelecehan, menyakiti fisik, meminta uang, dan sejenisnya, sama halnya berbuat dzalim pada saya. Berkat hal ini, perbuatan itu berkurang dan tidak melakukannya lagi," tandasnya.


Madura Terbaru