• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 25 April 2024

Metropolis

Dekan Fasya UIN KHAS Jelaskan Implementasi Fiqih di Selandia Baru

Dekan Fasya UIN KHAS Jelaskan Implementasi Fiqih di Selandia Baru
Prof Kiai M Noor Harisudin, Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember. (Foto: NOJ/PPNh)
Prof Kiai M Noor Harisudin, Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember. (Foto: NOJ/PPNh)

Surabaya, NU Online Jatim
Berbagai isu terkait implementasi fiqih di negara mayoritas non-muslim menjadi pertanyaan di masyarakat. Karenanya, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Wellington menjawab tantangan tersebut dengan menyelenggarakan webinar nasional bertajuk ‘Implementasi Fiqih di Negara Mayoritas Non-Muslim, Senin (13/12/2021).

 

Acara diawali keynote speech dari Duta Besar (Dubes) RI Wellington New Zealand, HE Tantowi Yahya. Dia  menyoroti kondisi beragama kaum muslim sebagai kaum minoritas. 

 

“Selandia Baru ini negara dengan mayoritas non-muslim, namun kehidupan beragama di sini cukup menarik,” katanya.

 

Berdasarkan data sensus terakhir, jumlah kaum muslim di Selandia Baru hanya sekitar 1,1 persen atau dalam angka 57.278 jiwa dari jumlah penduduk negara secara keseluruhan. Meskipun dalam jumlah yang cukup sedikit dibandingkan dengan kaum beragama lain, namun Islam mampu memberikan warna sebagai karakter agama yang cinta damai. Hal tersebut dibuktikan dengan membangun hubungan horizontal dan vertikal melalui organisasi Umat Muslim Indonesia (UMI) dan Himpunan Umat Muslim Indonesia (Humia).

 

“Beberapa kali Selandia Baru dinobatkan oleh Islam Foundation yang ada di Amerika sebagai negara yang paling islami,” tuturnya.

 

Hal tersebut tidak lain disebabkan pengimplementasian prinsip islami dalam kehidupan  sehari-hari oleh semua warga, tanpa terkecuali non-muslim. Warga non-muslim Selandia Baru tidak mengenal konsep rukun Islam, sehingga tidak melaksanakan ibadah mahdhah seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Namun prinisp Islam dilaksanakan secara inheren dalam kehidupan sehari hari.

 

“Selandia Baru ini negara bersih secara harfiah, artinya memang negaranya bersih. Lautnya bersih, airnya bersih, tanahnya bersih. Begitupun dengan pemerintahannya. Tingkat korupsi di sini nol,” jelasnya.

 

Prof Kiai M Noor Harisudin selaku Dekan Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember mengawali penjelasannya dengan QS. Al-Anbiya: 107. Bahwa Allah mengutus Muhammad menjadi rahmat bagi seluruh alam. 

 

“Ayat tersebut menjelaskan bahwa agama Islam datang dengan syariatnya sebagai rahmat bagi seluruh alam dan tentunya membawa kemaslahatan untuk manusia,” terangnya.

 

Dijelaskan pula ada tiga unsur pokok dalam agama Islam yaitu akidah, syariat, dan akhlak. 
“Jika diibaratkan dari sebuah pohon Islam, aqidah itu adalah sebuah kepercayaan, ini sebagai akarnya,” jelasnya. 

 

Dengan demikian, kalau akidahnya sudah tidak kuat, otomatis akan goyah. Bagian batangnya diibaratkan sebagai syariat. 

 

“Kalau akidah dan syariatnya sudah kuat, maka akan menghasilkan buah yang baik yaitu akhlak,” jelas Pengasuh Pesantren Darul Hikam, Mangli, Jember tersebut.

 

Wakil Ketua Pengurus Wilayah (PW) Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Jatim tersebut menjelaskan jenis syariat. Bahwa syariat terbagi menjadi dua yaitu syariat tetap (tsawabit) dan syariat yang bisa berubah (mutaghayirat), yang kemudian disebut dengan fiqih.

 

“Perintah shalat itu sudah ada di al-Qur’an, syariat (aturan dari Allah) itu sudah ada,” terangnya. 

 

Tapi kalau perintilannya atau detailnya seperti bagimana cara ruku’ dan lain-lain nantinya dibahas dalam fiqih. Misalnya tata cara shalat lima waktu di kutub, itulah yang masuk di fiqih.

 

Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur tersebut menyebut bahwa implementasi fiqih di negara mayoritas non-muslim memiliki beberapa indikator. Di antaranya regulasi dan kebijakan belum berpihak pada kaum muslim, adat istiadat yang berbeda, fasilitas ibadah yang sangat  terbatas, kesulitan mencari makanan halal, dan lain-lain. Hal tersebut seringkali menjadi problematika kaum muslim minoritas negara lain.

 

“Ada beberapa hal yang membuat hukum itu berubah, berbeda dengan kondisi di negara mayoritas muslim. Karena yang dipertimbangkan adalah kemaslahatan,” pungkas Ketua Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia ini.

 

Penulis Lia Amelia Rahmah, Erni Fitriani
Editor: Syaifullah


 


Editor:

Metropolis Terbaru