• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 27 April 2024

Metropolis

Penendang Sesajen Ditangkap Polisi, Begini Tanggapan Zastrouw soal Aksinya

Penendang Sesajen Ditangkap Polisi, Begini Tanggapan Zastrouw soal Aksinya
Ngatawi Al-Zastrouw.(Foto Istimewa)
Ngatawi Al-Zastrouw.(Foto Istimewa)

Sidoarjo, NU Online Jatim

Beberapa waktu lalu viral video seorang lelaki melempar dan menendang sesajen sambil meneriakkan takbir dan mengumpat bahwa sesajen itulah yang membuat murka Allah SWT. Setelah dilaporkan oleh Pimpinan Cabang (PC) Ansor Lumajang ke Polres setempat, akhirnya Hadfana Firdaus yang merupakan pelaku penendang sesajen itu ditangkap polisi di Bantul, Yogyakarta, Jumat (14/01/2022) dini hari.

 

Video aksi Hadfana itu viral di berbagai media sosial dan perpesanan hingga mendapat tanggapan dari berbagai kalangan. Baik dalam bentuk komentar, opini, artikel, dan lainnya yang sebagian besar mengecam tindakan tersebut.

 

Budayawan Nahdlatul Ulama (NU) Ngatawi Al-Zastrouw mengatakan, apa yang telah dilakukan oleh Hadfana tersebut tidak saja mencerminkan kedangkalan pemahaman Islam. Tetapi juga menunjukkan sikap beragama yang tanpa akhlak, arogan, dan nir-etika. Sikap ini sangat berbahaya, baik bagi kehidupan sosial maupun Islam itu sendiri.

 

Menurut pandangannya, secara sosiologis-antropologis, sesajen merupakan simbol dari keyakinan yang sangat terkait dengan emosi, harga diri dan identitas suatu kelompok masyarakat (Wahyana Giri MC, 2010; 76, G.A.J. Hazeu, 1979).

 

Pendeknya, sesajen memiliki makna yang sakral bagi masyarakat yang meyakininya. Pemberian sesajen merupakan bentuk simbolik upaya mendekatkan diri kepada sesuatu yang dianggap sakral agar terbebas dari bencana dan bahaya kehidupan (Suwardi Endraswara, 2011; 17). Atas dasar inilah maka penistaan terhadap sesajen akan dianggap sebagai penistaan masyarakat yang mempersembahkan sesaji. 

 

“Tindakan seorang pria yang membuang dan menendang sesajen itu jelas-jelas menyinggung perasaan dan melukai hati masyarakat yang memiliki kepercayaan terhadap sesajen. Sehingga berpotensi memancing reaksi balik dari mereka yang tersinggung dan merasa dilecehkan. Hal ini dapat menimbulkan rusaknya harmoni kehidupan dan terganggunya tatanan sosial,” katanya, Kamis (13/01/2022).

 

Lebih lanjut, mantan juru bicara mendiang Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini menegaskan, dalam perspektif agama, tindakan itu jelas merugikan karena dapat menimbulkan citra buruk terhadap agama.

 

Sikap pongah dan arogan yang dilakukan pria tersebut dengan menampilkan simbol Islam, akan minimbulkan kesan bahwa Islam adalah agama yang arogan,  yang lebih mementingkan konflik melalui tindakan biadab yang nir-akhlak.

 

“Padahal Islam secara tegas mengajarkan pemeluknya untuk menjunjung tinggi akhlak manusia. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi: “innama bu’istu liutammima makarimal akhlak”  (Saya diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia). Bahkan dalam Al-Qur’an secara jelas disebutkan bahwa berdakwah harus dilakukan dengan cara yang penuh hikmah dan mengedepankan dialog yang berakhlak (QS. An-Nahl; 125). Teks-teks tentang akhlak ini sangat jelas dan terkenal di kalangan umat Islam,” tegasnya.

 

Ia menambahkan, dari beberapa ayat dan hadits tentang akhlak ini jelas terlihat bahwa Islam dibangun dengan citra diri yang beradab, santun, dan manusiawi. Artinya Islam melarang pemeluknya untuk bersikap arogan, keras, dan biadab. Cara-cara seperti itu akan membuat manusia menjauh dan membenci.

 

“Menyadari bahayanya berdakwah tanpa akhlak, maka para ulama, habaib,  dan kiai Nusantara lebih mengedepankan akhlak dan kearifan dalam berdakwah  Mereka menghindari sikap arogan dan keras terhadap tradisi yang dianggap menyimpang atau tidak sesuai dengan ajaran Islam. Mereka menjauhi cara-cara biadab, sebagaimana yang ditunjukkan oleh pria yang menista sesajen,” papar Zastrouw.

 

Para ulama tidak memberangus tradisi lokal, tetapi justru menerima dan mengembangkannya untuk dijadian sebagai sarana dakwah, pendidikan dan penanaman nilai-nilai dan ajaran Islam. Ada beberapa sikap yang dilakukan para ulama Nusantara terhadap tradisi lokal yang ada di kalangan masyarakat. Pertama, menerima tradisi tersebut apa adanya.

 

“Ini berlaku untuk tradisi yang sesuai dengan ajaran Islam. Kedua, melakukan modifikasi yaitu mengubah beberapa format tradisi agar sesuai dengan ajaran Islam. Ketiga melakukan transformasi yaitu mempertahankan bentuk dan format dengan mengubah substansi dan nilai-nilai yang ada di dalamnya,” ungkap dosen Pasca Sarjana UNUSIA Jakarta tersebut.

 

Dengan cara ini Islam dapat diterima secara suka rela dan penuh suka cita oleh masyarakat Nusantara tanpa ada rasa tertekan dan terpaksa. Sikap ramah dan toleran terhadap tradisi lokal yang dilakukan oleh para ulama Nusantara membuat bangsa Nusantara tidak merasa terancam dan tersingkirkan oleh keberadaan Islam. Sebaliknya mereka justru merasa kedatangan Islam dapat menjadi tempat berlindung dan memandang Islam sebagai ajaran yang menarik untuk diikuti.  

  

“Bercermin dari peristiwa penistaan sesajen yang dilakukan atas nama agama dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa beragama yang mengabaikan akhlak tidak saja membahayakan kehidupan karena dapat merusak tatanan sosial, merendahkan martabat kemanusiaan dan mendegradasi agama, tetapi juga dapat mengalihkan perhatian masyarakat terhadap isu-isu yang lebih strategis dan penting terkait dengan nasib umat,” ujarnya.


Editor:

Metropolis Terbaru