• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 3 Mei 2024

Metropolis

Ulama NU Minta Jaga Etika Politik dan Polarisasi Agama di Pemilu 2024

Ulama NU Minta Jaga Etika Politik dan Polarisasi Agama di Pemilu 2024
Ilustrasi bendera Indonesia dan NU. (Foto: NOJ/ kompas.id)
Ilustrasi bendera Indonesia dan NU. (Foto: NOJ/ kompas.id)

Surabaya, NU Online Jatim

Pemilihan umum (Pemilu) bakal digelar pada 14 Februari 2024 mendatang. Menjelang pesta demokrasi Pemilu 2024, para ulama dari kalangan Nahdlatul Ulama meminta agar para politisi dapat menjaga etika politik dan mencegah terjadinya polarisasi agama yang berujung terjadinya politik identitas.

 

Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Ghofur Maimoen (Gus Ghofur) mengimbau para politisi dapat mengantisipasi terjadinya perpecahan dan pembelahan di tengah kehidupan umat. Menurutnya, mereka harus berpikir bahwa polarisasi berdampak negatif bagi kedua pihak.

 

"Polarisasi yang tajam itu sama-sama tidak positifnya bagi keduanya. Membikin umat terbelah itu tidak positif bagi dua-duanya," kata Gus Ghofur dilansir dari NU Online, Rabu (17/05/2023).

 

Putra almarhum KH Maimoen Zubair ini meminta para politisi untuk mengambil pelajaran dari Pilkada DKI Jakarta, pada 2017 silam. Mereka perlu berpikir soal akibat yang ditimbulkan dari polarisasi yang terjadi.

 

Menurut Gus Ghofur, dampak dari polarisasi sangat sulit untuk diperbaiki atau disembuhkan. Bahkan sampai lima tahun berlalu, pembelahan itu masih sangat terasa. "Jadi, 5 tahun itu tidak bisa memperbaiki dan itu salah satu sumbangsih terburuk yang dilakukan oleh politik, seperti yang kita alami," ucapnya.

 

Ia berharap semua pihak bisa mengerem atau berhati-hati dalam berucap dan bertindak menjelang Pemilu 2024. Gus Ghofur menyayangkan apabila ada pihak yang sengaja membuat narasi kepada kubu lawan sebagai pihak yang tidak nasionalis atau anti-agama. Sebab yang dituduhkan itu tidak benar sepenuhnya.

 

"Misalnya kelompok yang satu bilang, kelompok lawan itu tidak nasionalis. Tapi sebenarnya tidak gitu juga, sebenarnya ada kadar nasionalisnya juga. Yang satu bilang, yang satu itu anti-agama, ya nggak juga. Mereka orang-orang yang beragama juga, yang baik juga," katanya.

 

Gus Ghofur mengharapkan seluruh peserta pemilu dapat berpikir dan berbicara mengenai pentingnya mencegah polarisasi kepada para konstituennya. Menurutnya, hal yang perlu diutamakan para politisi yaitu mengutamakan kepentingan umat.

 

"Kepentingan umat atau rakyat harus dikedepankan. Kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, kalau mau bicara politik yang lebih sehat, harus disingkirkan dulu. Kepentingan umat jauh lebih pokok," ucap Gus Ghofur.

 

Utamakan Kepentingan Umat

Sementara itu, Ketua PBNU Hj Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid meminta para politisi agar menjadi negarawan. Tak ada hal lain kecuali berpikir soal kepentingan bangsa dan negara.

 

"Kan kalau legislatif berarti dia kan memutuskan kebijakan publik, bekerja bersama pemerintah, akan mengawasi pemerintah. Maka penting bagi dia juga sudah menunjukkan itu. Tidak dengan menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan posisi atau kekuasaan," ucap Alissa.

 

Menurut Alissa, kalau semua praktisi politik memiliki komitmen yang sama untuk mendahulukan kepentingan bangsa dan negara dan tidak menggunakan politik sektarian, maka diharapkan kompetisi bisa berlangsung baik dan adil.

 

Menurut Rektor UIN Yogyakarta Prof Al Makin, polarisasi akan kembali terjadi pada Pemilu 2024 mendatang. Hal ini juga sudah diprediksi oleh para pengamat dari berbagai universitas, lembaga survei, dan lembaga riset di Indonesia.

 

Ia mengatakan, Kementerian Agama terutama pada momen AICIS di Surabaya kemarin sudah membuat pernyataan bersama menolak politik identitas. Hal tersebut merupakan langkah luar biasa yang harus diapresiasi dan diteruskan ke masyarakat.

 

“Saya kira, Ketua Umum PBNU Gus Yahya juga sering membicarakan itu. Bahkan, sebelum beliau jadi Ketum PBNU juga sudah sering menyinggung betapa politik identitas itu sangat mudah dipakai dalam propaganda dan dalam mempromosikan kandidasi atau pencalonan dalam politik. Ini harus kita amati dan hindari sebanyak mungkin,” ujarnya.


Metropolis Terbaru