Oleh: Ma'sum Ahlul Khair*
Bulan Ramadan adalah bulan penuh berkah, di mana umat Islam berlomba-lomba meningkatkan ibadah, termasuk memperbanyak membaca dan mengkaji Al-Qur’an. Salah satu tradisi yang telah lama dilakukan oleh kaum Muslimin adalah tadarus Al-Qur’an, baik secara individu maupun berjamaah, Namun, kelompok Wahabi sering kali menganggap tadarus Al-Qur’an secara berjamaah sebagai sesuatu yang tidak memiliki dasar dalam syariat dan bahkan mencapnya sebagai bid’ah. Mereka berpegang teguh pada prinsip bahwa setiap ibadah yang tidak dilakukan secara eksplisit oleh Rasulullah ﷺ harus ditolak.
Tulisan ini akan mengulas kekeliruan pemahaman Wahabi dalam membid’ahkan tadarus Al-Qur’an di bulan Ramadan, serta menjelaskan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa amalan ini bukan hanya dibenarkan, tetapi juga sangat dianjurkan dalam Islam.
Dalam kitab Bida’ul Qurra’ al-Qadimah wal-Mu’asirah, seorang tokoh Wahabi bernama Bakar Abu Zaid menyatakan bahwa membaca Al-Qur'an dengan metode idarah (bergiliran), atau yang lebih dikenal sebagai tadarus dalam tradisi keislaman di Indonesia, merupakan bid’ah. Ia mengklaim bahwa praktik ini telah ditolak oleh para ulama sejak zaman salaf, termasuk Imam Malik. Bahkan, menurutnya, beberapa ulama telah menulis risalah dan mengeluarkan fatwa yang menegaskan kebid’ahan metode tersebut. Berikut pernyataan asli dari beliau
القراءة بالإدارة، وهي تناوب المجتمعين في قراءة آية، أو آيات، أو سورة، أو سور إلى أن يتكاملوا بالقراءة. ولا تعني هذه المشروع في مدارسة القرآن . والإدارة بدعة قديمة أنكرها الأئمة : مالك وغيره، وصدر بإنكارها فتاوى ، وألفت رسائل.
Artinya: Membaca dengan model al-idārah (bergilir) adalah cara membaca dengan saling bergantian dan bersambungan di antara orang-orang yang berkumpul, dalam membaca ayat per ayat, atau masing-masing beberapa ayat, atau surat per surat, atau masing-masing beberapa surat. Hingga akhirnya mereka menyempurnakan target bacaan mereka. Mereka tidak memaksudkan untuk mempelajari al-Quran (namun sekadar membaca saja). Praktik al-idārah ini adalah bidah yang sudah ada sejak dahulu. Diingkari oleh para imam seperti Imām Mālik dan yang lainnya. Telah ditulis beberapa fatwa dan buku untuk mengingkarinya.
Pernyataan yang dikemukakan oleh Bakar Abu Zaid di atas dapat disimpulkan menjadi dua aspek utama. Pertama, metode idarah atau tadarus yang biasanya dilakukan dengan membaca Al-Quran saja dianggap tidak memiliki landasan yang sah dalam ajaran agama. Kedua, para ulama salaf, termasuk Imam Malik, menolak praktik tersebut.
Oleh karena itu, penulis akan memberikan tanggapan yang bertujuan untuk membuktikan kekeliruan beliau dalam melakukan istinbath.
Pertama, anjuran berkumpul dan saling membacaa Al-Quran memiliki landasan dalil yang sah dalam syariat misalnya yang terdapat dalam beberapa hadis, diantaranya adalah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: إلى قوله.. وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ، يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ، وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ، إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ، لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
Dari Abū ia berkata: Rasulullah : "... Tidak berkumpul suatu kaum di salah satu rumah Allah (masjid), yang mana mereka Kitab Allah dan , kecuali ketenangan turun kepada mereka, rahmat mereka, dan malaikat mereka." (HR. Muslim: 2699).
Menurut Ibn ‘Alan anjuran yang terkandung dalam hadis tersebut adalah mudarasah yaitu saling mempelajari Al-Qur’an di antara sesama. Cara ini dilakukan dengan membaca suatu bagian, lalu rekannya membaca bagian yang sama, sehingga keduanya saling mengulang dan memperdalam pemahaman mereka.
Metode ini juga dikenal dalam sunnah Rasulullah ﷺ, di mana beliau bermudarasah Al-Qur’an bersama Malaikat Jibril. Selain itu, ada juga pemahaman yang lebih luas tentang mudarasah, yaitu membaca ayat secara bergantian, di mana seseorang melanjutkan bacaan dari bagian yang telah dibaca oleh orang lain.
Dalam hadis lain disebutkan bahwa setiap pertemuan yang diisi dengan dzikir, termasuk membaca Al-Qur’an bersama, akan mendatangkan keberkahan dan kebaikan. Oleh karena itu, mudarasah bukan hanya terbatas pada satu bentuk tertentu, melainkan mencakup berbagai cara belajar dan menghafal Al-Qur’an yang dilakukan secara bersama-sama.
Dengan begitu pernyataan Bakar Abu Zaid yang menyebutkan bahwa metode pembacaan Al-Qur’an secara bergantian di mana seseorang melanjutkan bacaan dari orang sebelumnya, yang dikenal sebagai tadarus adalah bid’ah, tidaklah tepat. Sebab, makna mudarasah dalam Islam sebenarnya lebih luas.
Tidak hanya terbatas pada seseorang yang mengulang bacaan yang telah dibaca oleh orang lain, tetapi juga mencakup berbagai bentuk belajar dan membaca Al-Qur’an bersama. Dengan demikian, metode tadarus tetap termasuk dalam praktik yang memiliki dasar dalam ajaran Islam.
Kedua, walaupun dalam kajian ilmu Al-Qur’an metode tadarus yang umum di masyarakat lebih dikenal sebagai Idarah daripada Mudarasah, namun Idarah juga memiliki nilai kesunnahan dan didukung oleh dalil yang sah dalam syariat. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam dua kitab beliau berikut.
فصل في الادارة بالقرآن وهو أن يجتمع جماعة يقرأ بعضهم عشرا أو جزءا أو غير ذلك ثم يسكت ويقرأ الآخر من حيث انتهى الأول ثم يقرأ الآخر وهذا جائز حسن وقد سئل مالك رحمه الله تعالى عنه فقال لا بأس به
Artinya: [Bab] Tentang idārah (bergilir) dalam membaca al-Quran, yakni berkumpulnya beberapa orang. Di antara mereka ada yang membaca sepersepuluh, sebagiannya, atau selainnya, kemudian diam dan diteruskan oleh yang lain, kemudian yang lain meneruskannya. Ini diperboleh-kan serta baik. Al-Imām Mālik pernah ditanya tentang hal tersebut, beliau menjawab, "tidak apa-apa".
وفي هذا دليل لفضل الاجتماع على تلاوة القرآن في المسجد وهو مذهبنا ومذهب الجمهور وقال مالك يكره وتأوله بعض أصحابه
Dalam hadis ini terdapat dalil tentang keutamaan berkumpul di masjid untuk membaca Al-Qur’an. Pendapat ini dianut oleh mazhab kami dan mayoritas ulama. Namun, Imam Malik berpendapat bahwa hal itu makruh, meskipun sebagian pengikutnya menafsirkan pendapatnya dengan makna lain.
Berdasarkan pernyataan Imam Nawawi dalam kedua kitabnya di atas, dapat disimpulkan bahwa metode pembacaan Al-Qur’an secara tadarus, yang dalam ilmu Al-Qur’an dikenal sebagai Idarah, diperbolehkan dan dianggap baik dalam syariat.
Selain itu, pernyataan Imam Nawawi juga membantah klaim Bakar Abu Zaid yang menyebut bahwa Imam Malik menganggap metode Idarah sebagai sesuatu yang makruh. Sebab, Imam Nawawi justru menegaskan bahwa Imam Malik tidak mempermasalahkan metode tersebut. Selain itu, Imam Nawawi juga menjelaskan bahwa kemakruhan berkumpul untuk membaca Al-Qur’an yang dikenal dengan metode Idarah, sebagaimana disampaikan oleh Imam Malik tidak bersifat mutlak.
Pernyataan Imam Malik mengenai kemakruhan tersebut masih ditafsirkan lebih lanjut oleh para muridnya, termasuk Ibn Rusyd, yang memberikan pemahaman lebih mendalam terhadap pendapat tersebut.
وتأول ذلك بعض أصحابنا ابن رشد: إنما كرهه مالك لأنه أمر مبتدع ولأنهم يبتغون به الألحان على نحو ما يفعل في الغناء فوجه المكروه في ذلك بين.
Sebagian ulama dari mazhab kami, seperti Ibn Rusyd, menafsirkan bahwa Imam Malik menganggap hal itu makruh karena dianggap sebagai perkara yang baru (mubtadiʿ). Selain itu, beliau memakruhkannya karena dikhawatirkan mereka mencari keindahan lagu dalam membaca Al-Qur'an, sebagaimana yang dilakukan dalam nyanyian.
Oleh karena itu, alasan kemakruhannya menjadi jelas. Berdasarkan pernyataan Ibn Rusyd, dapat dipahami bahwa alasan Imam Malik memakruhkan perkumpulan untuk membaca Al-Qur’an dengan metode Idarah adalah karena hal itu dianggap sebagai sesuatu yang baru pada masanya. Selain itu, di zaman Imam Malik, perkumpulan semacam itu dikhawatirkan digunakan untuk melagukan Al-Qur’an dengan cara yang menyerupai nyanyian, sehingga beliau memandangnya sebagai sesuatu yang makruh.
Namun, jika kita melihat alasan kemakruhan tersebut, maka perkumpulan untuk membaca Al-Qur’an secara bergantian yang banyak dilakukan pada zaman sekarang, terutama di bulan Ramadan, tidak termasuk dalam larangan yang dimaksud oleh Imam Malik. Sebab, praktik tadarus yang ada saat ini lebih berfokus pada membaca dan menghafal Al-Qur’an secara bergantian tanpa tujuan melagukannya hingga menyerupai nyanyian, seperti yang dikhawatirkan pada masa Imam Malik.
*Mahasantri Ma'had Aly Tebuireng