• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 14 Desember 2024

Opini

Fiqih al-Bi’ah, Upaya Pesantren Mencegah Bencana Alam

Fiqih al-Bi’ah, Upaya Pesantren Mencegah Bencana Alam
Kajian kitab kuning di pesantren hendaknya membuka ruang masalah lingkungan. (Foto: NOJ/LEy)
Kajian kitab kuning di pesantren hendaknya membuka ruang masalah lingkungan. (Foto: NOJ/LEy)

Awal tahun 2021 dibuka dengan berbagai  alam yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), telah terjadi 197 bencana di Indonesia dalam kurun waktu 1 hingga 23 Januari 2021. Bencana alam yang terjadi berupa gempa bumi, banjir, tanah longsor, puting beliung, hingga gelombang pasang dan abrasi.

 

Dari semua bencana tersebut ada 184 orang meninggal dunia, 9 orang menghilang dan 1.907.543 jiwa mengungsi, dan 2.777 orang mengalami luka-luka. Bencana tersebut juga menyebabkan 1.902 rumah rusak dengan tingkat ringan, sedang dan berat. 54 fasilitas umum mengalami kerusakan, meliputi fasilitas pendidikan, peribadatan, dan kesehatan, selain itu juga 4 bangunan kantor dan 25 jembatan mengalami kerusakan. 

 

Negara kita terletak di antara tiga lempeng utama di dunia yaitu Australia, Eurasia dan Pasifik. Hal inilah yang menyebabkan sering terjadi bencana di Indonesia yang berupa bencana hidrometereologi dan geologi. Bencana hidrometeorologi adalah bencana yang dampaknya dipicu oleh kondisi cuaca dan iklim dengan berbagai parameternya seperti peningkatan curah hujan, suhu ekstrem, cuaca ekstrem, hujan lebat disertai angin kencang, kilat dan petir dan lain sebagainya. Sedangkan bencana geologi adalah bencana yang alam yang terjadi di permukaan bumi seperti gempa bumi, tanah longsor, dan gunung meletus.

 

Akan tetapi tidak hanya itu, kerusakan lingkungan seperti wilayah hutan yang semakin menyempit, bekas area pertambangan yang tidak diperbaiki, pendangkalan sungai karena penuh dengan sampah, alih fungsi lahan gambut menjadi perkebunan menjadi faktor lain yang mengakibatkan banyak terjadi bencana alam di Indonesia. Contoh paling nyata adalah di Kalimantan Selatan, banjir besar yang terjadi disebabkan banyaknya hutan yang menjadi lahan perkebunan atau tambang. Sehingga tidak ada lagi lahan untuk resapan air ketika intensitas hujan semakin tinggi.

 

 

Artinya salah satu faktor penyebab bencana alam itu adalah ulah manusia sendiri, baik perorangan atau sebuah kebijakan pemerintah. Lantas apa hubungannya bencana alam ini dengan para santri dan pesantren?

Santri dan pesantren memang tidak ada kaitan secara langsung dengan bencana alam, tetapi yang ingin dikemukakan adalah bagaimana tanggungjawab moral pesantren dan santri yang ada di dalamnya terkait dengan bencana yang terjadi. Menurut penulis, setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan santri atau pesantren secara kelembagaan untuk ikut berperan mencegah terjadinya bencana alam di negeri tercinta ini.   

 

Membuka Kajian Fiqih Lingkungan

Pesantren sebagai basis kajian keilmuan khususnya fiqih, sepatutnya membuka ruang yang lebih luas untuk pembahasan masalah lingkungan. Para santri sudah selayaknya membuka diskusi tentang kerusakan lingkungan dan akibat yang ditimbulkan dalam perspektif fiqih. Kajian fiqih lingkungan ini penting untuk dikaji secara serius, salah satu alasan pentingnya adalah kerusakan lingkungan sudah menjadi isu global dan dampak kerusakan lingkungan yang sangat besar.

 

Pada dasarnya, menjaga lingkungan termasuk bagian dari ajaran Islam. Akan tetapi selama ini pembahasan tentang isu-isu lingkungan khususnya dari sudut pandang fiqih masih sangat jarang dilakukan, bahkan di lingkungan pesantren itu sendiri. Gagasan untuk mempopulerkan dan menekankan pentingnya fiqih lingkungan pernah dimunculkan oleh KH Aly Yafie. Menurutnya, ada dua ajaran dasar dalam Islam yang menjadi landasan utama mengapa wajib menjaga lingkungan dari kerusakan.

 

 

Landasan pertama adalah bahwa Allah SWT adalah ‘Rabbul alamin’ (Tuhan semesta alam). Artinya, Allah adalah Tuhan semua makhluk yang ada di alam semesta bukan hanya manusia semata. Landasan ini dipertegas dengan ajaran ‘rahmatan lil alamin’, bahwa manusia telah diberi amanah untuk mewujudkan tindakan yang penuh kasih dan sayang terhadap seluruh alam. Tidak hanya itu di dalam al-Qur’an sendiri terdapat ayat yang melarang manusia berbuat kerusakan di muka bumi. Oleh karena itu menjaga lingkungan adalah ajaran yang tidak terpisahkan dari syariat Islam itu sendiri.

 

Dengan demikian, pesantren dan santri yang ada di dalamnya sudah selayaknya membuka ruang seluas-luasnya untuk mengkaji dan mendalami tentang fiqih lingkungan. Santri tidak hanya mengkaji berbagai bab tentang ibadah atau muamalah semata, tetapi harus masuk pada fiqih bi’ah. Sebagai contoh santri bisa mangkaji tentang bagaimana hukum membuang sampah sembarangan, berlebihan menggunakan plastik, penebangan hutan yang di luar batas, alih fungsi hutan dan lain sebagainya yang berkaitan dengan persoalan lingkungan.

 

Dengan memberikan pemahaman kepada para santri di seluruh Indonesia akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan, dan mengkaji hukum bagi para perusak lingkungan, diharapkan akan timbul kesadaran kolektif. Yakni untuk ikut serta menjaga  dan melestarikan lingkungan. Jika kesadaran kolektif tersebut diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka akan menjadi gerakan yang sangat postif untuk terciptanya lingkungan hidup yang sehat, khususnya bagi para santri dan kehidupan pesantren.

 

Pesantren sebagai Pelopor Pelestari Lingkungan

Agar dampak postif tersebut bisa diperluas ke masyarakat luas, maka pesantren perlu menjadi pelopor pelestari lingkungan. Maksudnya adalah pesantren dengan semua sumber daya manusia di dalamnya baik santri, alumni, ustadz atau kiai mau menjadi juru dakwah yang mensyiarkan pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan kepada masyarakat luas.

 

Para kiai dan ustadz ketika memberikan ceramah agama kepada masyarakat sebaiknya juga memberikan edukasi dan pemahaman bahwa menjaga lingkungan juga termasuk ajaran agama. Banyak masyarakat yang belum paham bahwa membuang sampah pada tepatnya adalah bentuk melakukan ajaran agama. Masyarakat perlu dididik agar peduli dengan kebersihan dan kesehatan lingkungan, karena hal itu adalah bagian dari menjalankan perintah agama.

 

 

Tidak hanya itu, pesantren juga sebaiknya mampu mempengaruhi pemerintah baik di daerah atau pusat dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan. Kebijakan penebangan hutan, pembukaan lahan, penggalian tambang, dan isu-isu agraria lainnya yang berkaitan dengan pelestarian harus menjadi perhatian pesantren.

 

Pesantren harus berani memberikan tekanan atau penolakan terhadap beragam kebijakan pemerintah yang mengancam kerusakan lingkungan. Dengan demikian pesantren tidak hanya memainkan peran sebagai lemabaga pendidikan semata, tetapi juga aktif memberikan masukan kepada pemerintah terkait dengan berbagai hal yang menyangkut kemaslahatan bersama, khususnya tentang pelestarian lingkungan.

 

Jika para santri di lingkungan pesantren mampu menjaga dan melestarikan lingkungan, masyarakat juga sadar akan pentingnya menjaga lingkungan, dan didukung oleh beragam kebijakan pemerintah untuk berkomitmen menjaga dan memperbaiki kerusakan lingkungan. Maka hal ini akan sangat membantu dalam mencegah terjadinya bencana, setidaknya mengurangi dampak bencana yang ditimbulkan.

 

Pesantren dan para santri di dalamnya tidak hanya mengemban tugas untuk menjaga lima ajaran pokok agama yaitu (hifdzu al-din), menjaga jiwa (hifdzu al-nafs), menjaga akal (hifdzu al-‘aql), menjaga keturunan (hifdzu al-nasl), menjaga harta (hifdzu al-mal). Tetapi juga mengemban satu tugas berat lagi yaitu menjaga lingkungan (hifdzu al-bi’ah) agar tidak terjadi kerusakan lingkungan yang mengancam keselamatan umat manusia.

 

Ustadz Mustaufikin adalah Alumni Pesantren Tremas Pacitan dan Pengajar di Pesantren Tambakberas, Jombang.    


Editor:

Opini Terbaru