• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 28 Maret 2024

Opini

Kiai, Sosok Pejuang Sepenuh Hati

Kiai, Sosok Pejuang Sepenuh Hati
Suasana pengajian kitab kuning di pesantren. (Foto: NOJ/Ist)
Suasana pengajian kitab kuning di pesantren. (Foto: NOJ/Ist)

Menyongsong peringatan hari santri 22 Oktober esok adalah momentum untuk membaca kembali lembaran sejarah perjuangan para ulama pahlawan dalam mempertahankan negeri tercinta ini. Betapa resolusi jihad seorang Kiai M Hasyim Asy'ari mampu menggelorakan semangat perjuangan rakyat hingga meletuskan perang besar 10 Nopember di Surabaya.

 

Mengenang sejarah pengorbanan tanpa pamrih mereka di tengah banyaknya keterpurukan yang dialami oleh bangsa saat ini menjadi sangat penting agar menjadi landasan niat perjuangan bagi generasi penerusnya. Selain itu juga membangkitkan semangat juang para santri di masa depan yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Yakni untuk meneladani semangat berjuang ulama masa lalu demi membangun negeri ini tanpa pamrih.

 

Perkembangan situasi yang terjadi pada masa ini telah banyak mengubah perilaku masyarakat secara luas menjadi semakin materialis, rakus dan kapitalis. Sehingga ketulusan dan ikhlas pengabdian hampir menjadi sesuatu yang langka atau aneh tapi nyata. Kenyataan ini terkadang membuat para pejuang dakwah nyaris menyerah dan putus asa.

 

Banyak orang menjadi tidak peduli dan apatis terhadap apa yang terjadi dengan lingkungan sekitarnya. Mereka  membiarkan semua kemungkaran berlalu begitu saja karena telah berada pada posisi titik paling jenuh. Di sini diperlukan kemauan dan kesungguhan untuk membaca sejarah perjuangan ulama masa lalu. Hal itu tentu sebagai pemacu semangat atau setidaknya untuk mengetahui bahwa pernah ada orang-orang di negeri ini yang telah berjuang dengan ikhlas sepenuh hati.

 

Saat ini banyak orang yang merasa dirinya sudah berjuang dalam kebaikan. Namun, hanya sedikit yang benar-benar melakukannya dengan ikhlas sepenuh hati. Masih banyak penyakit hati yang susah dihilangkan saat berjuang bersama  melakukan usaha kebaikan. Sering kali terjadi kesalahpahaman karena di antara mereka masih ada pamrih, riya, hasad, ingin dipuji, ingin dihargai atau pun mencari keuntungan pribadi tersembunyi, dan lain sebagainya.

 

Saya melihat, beberapa pesantren kini telah mengalami krisis kepemimpinan dan bahkan krisis ulama. Karena banyak anak kiai yang sudah tidak lagi pandai mengaji atau bahkan telah beralih profesi, sehingga pesantren warisan leluhurnya terbengkalai atau beralih fungsi. Tidak jarang pula terdengar kegaduhan internal antarpewaris pesantren soal rebutan remeh-temeh fasilitas untuk diakui menjadi kiai. Padahal, salah satu ciri khas perjuangan ulama sebagai pewaris para nabi adalah berjuang dan berdakwah tanpa pamrih. Tak ada sedikit pun niatan untuk mendapat keuntungan atau balasan dari dakwah mereka.

 

Para ulama di masa lalu tidak mengharapkan tanda jasa atas perjuangannya. Setelah perang gerilya selesai, mereka kembali ke pondok pesantren menekuni pengajian membimbing santri. Mayoritas fasilitas pesantren masa lalu dibangun di atas lahan milik pribadi para kiai dengan dibantu swadaya masyarakat sekitar. Dari situ lalu tumbuh dan berkembang ribuan pesantren menjadi tumpuan pendidikan yang mudah dan murah berbasis masyarakat saat ini.

 

Para kiai dan guru ngaji di masa lalu bekerja sangat giat namun tidak pernah menuntut gaji. Bahkan tidak sedikit  harta pribadinya diberikan demi pengembangan pesantren. Semisal pesantren keluarga kami di Bululawang Malang. Tanah pesantren awal mula adalah milik pribadi nenek yang diwakafkan untuk dibangun madrasah dan sarana pesantren oleh kakek saya tanpa meminta imbalan apa pun hingga terus berkembang luas saat ini.

 

Hati yang ikhlas dan berjuang tanpa pamrih inilah kata kunci dari keberhasilan perjuangan dakwah para ulama. Hal itu  mengikuti misi para nabi sebagaimana yang disebut dalam al-Quran:

 

وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۖ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ الْعَالَمِينَ

 

Artinya: Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan seru semesta alam. (QS Asy-Syuara’: 109).

 

Sejarah mencatat, kesuksesan perjuangan para ulama dan kiai di masa lalu yang mengajarkan Islam rahmatan lil alamin dengan tidak mengenal lelah. Mereka berjuang dari desa ke desa, dari gunung ke gunung, bahkan menyeberang sungai dan lautan untuk menyapa warganya dengan ramah dan santun. Hasilnya? Kini Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia.

 

Pewaris pesantren di masa kini harus berkaca dari keteladanan keikhlasan perjuangan pendahulunya. Hal itu penting agar tidak menjadi generasi manja yang sibuk dengan urusan kemewahan duniawi dan melupakan ikhtiar ruhani dalam lelaku wirid, tirakat dan rajin mengaji membina santri. Para gus harus berjuang menghidupkan pesantren, dan jangan malah sibuk mencari hidup di pesantren. Karena itu seringkali saya bercanda mengkritik dengan para gus; karena adanya pesantrenlah kita menjadi mulia. Tanpa pesantren mungkin kita bukan siapa-siapa.

 

Memilih menjadi seorang kiai atau  guru adalah tugas mulia yang merupakan bagian dari tugas kenabian. Tentunya harus  disertai niat, adab dan akhlak yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Almarhum ayah berpesan agar saya mengajar meskipun tidak dibayar. Karena tugas mengajar adalah berkah dan diharapkan menjadi amal jariah yang mengalirkan pahala berlimpah sampai akhir masa.

 

Karenanya, ketika menerima amanah meneruskan  kepemimpinan pesantren, hal pertama yang saya lakukan di bidang keuangan adalah mencoret nama sendiri dari daftar penerima tabsyirah para asatidz dan pengasuh pondok. Hal itu sebagai penghormatan kepada almarhum Abuya yang telah mendidik dan meniatkan pahalanya menjadi amal jariah kedua orang tua saya.

 

Semoga pesantren masa depan terus tumbuh berkembang, maju dan bermanfaat seiring perkembangan zaman. Amin.

 

 

H Ahmad Fahrur Rozi adalah Pengasuh Pondok Pesantren Annur 1 Bululawang Malang dan Wakil Ketua PWNU Jatim.


Editor:

Opini Terbaru