• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 20 April 2024

Opini

Kiai Idham Cholid, dan Strategi NU Menerima Tawaran Politik Bung Karno

Kiai Idham Cholid, dan Strategi NU Menerima Tawaran Politik Bung Karno
KH Idhan Cholid memberikan salam kepada Bung Karno disaksikan KH Saifuddin Zuhri
KH Idhan Cholid memberikan salam kepada Bung Karno disaksikan KH Saifuddin Zuhri

Oleh: Moch Rofi’i Boenawi

KH Idham Cholid bisa dibilang sebagai tokoh yang rutin diperbincangkan di saat memasuki bulan September. Namanya disangkutpautkan dengan Gerakan 30 September atau Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh). Pahlawan Republik Indonesia yang fotonya diabadikan di mata uang Lima Ribu Rupiah itu, menjadi sosok penting mengingat posisi beliau kala itu adalah Ketua Umum Partai NU. Partai yang bersanding dengan PKI dalam koalisi pemerintahan Bung Karno.

 

Ada kejadian menarik ketika menjelang dekrit Presiden pada tahun 1959. Kiai Idham dipanggil ke Istana oleh Bung Karno, karena NU masuk tiga besar partai peserta pemilu. Bung Karno menginginkan negara ini didukung oleh empat komponen yaitu nasionalis, agamis, komunis dan tantara. 

 

Sebagai Ketua Partai NU, Kiai Idham ditawari masuk dalam partai koalisi pemerintah. Bung Karno memberikan batas waktu tiga hari, jika tidak ada jawaban, NU akan ditinggal. Itu artinya NU tidak bisa masuk ke dalam pemerintah. 

 

Bagi Kiai Idham, tawaran posisi yang dijulurkan Bung Karno itu tidak mudah. Harus diperhitungkan secara matang. Dilema, itulah yang dirasakan Kiai Idham kala itu. Sangat berat baginya untuk memutuskan, terlebih situasi negera juga tidak menentu. 

 

Bersama Rais Am KH Abdul Wahab Hasbullah dan Sekjend PBNU Kiai Saifuddin Zuhri, tiga tokoh itu bermusyawarah, dan akhirnya menghasilkan kesepatakan bahwa NU menerima tawaran Bung Karno.


Dikutip dari wawancara khusus di majalah Aula edisi Agustus 2020, Muhammad Aunul Hadi, putra terakhir Kiai Idham mengatakan, saat itu Kiai Idham sempat kepikiran untuk mengumpulkan seluruh cabang NU. Pengurus NU tingkat Kabupaten itu dimintai pendapat bersama dengan para kiai dan ulama se-Indonesia. Namun Kiai Wahab Hasbullah menyakinkan koleganya itu bahwa “keluar itu gampang, yang penting masuk dulu, sebab masuknya itu susah”. Kiai Wahab juga mengatakan, “Kalau kita sudah masuk baru kita kumpulkan para ulama, nanti kita jelaskan kenapa harus masuk”. 

 

Salah satu alasan mengapa NU harus masuk dalam kabinet dikemukakan Kiai Wahab. Beliau memberikan alasan bahwa seandainya NU tidak menerima tawaran Bung Karno, keterwakilan Islam akan ditinggal. Di kursi parlemen partai Islam akan dilibas habis oleh komunis dan PNI (Partai Nasional Indonesia), golongan partai Islam tidak ada yang mewakili. Begitu juga di kabinet kalau NU tidak masuk, jatah menteri akan dibagi ke PNI dan komunis serta tentara, termasuk Menteri Agama. Karena tidak ada yang mewakili Islam. 

 

Pilihan Kiai Idham dan Kiai Wahab Hasbullah sangat tepat berjuang di dalam gelanggang. NU bisa berbicara dengan suara lantang dari dalam. Sebaliknya, jika posisi di luar, maka sekeras apapun berbicara tidak akan terdengar. Apakah NU mau menyerang mereka? tidak bisa. Ini negara hukum. Lebih baik bertarung di dalam gelanggang dari pada di luar. 

 

Dari kesepakatan masuk sebagai bagian Nasakom akhirnya NU mendapatkan kursi Menteri Agama. Kalau seandainya NU tidak masuk mungkin Menteri Agama dipengang bukan ahlinya. Begitu juga di parlemen, seadainya NU tidak ada di dalam, perumusan undang-undang, tidak ada yang bisa menyuarakan kepentingan Islam. Mereka akan membuat undang-undang seenaknya sendiri, dan mungkin merugikan umat Islam.

 

Inilah cara bijak tokoh NU dalam menyikapi ujung tengkar. Mereka bukan sekedar keras, tetapi perhitungan politik benar-benar jadi landasan langkah. Sikap ini bertolak belakang dengan Masyumi. Mereka sangat keras menentang Bung Karno. Mengambil jarak, dan  memilih menjadi oposisi. Sebenarnya sikap itu tanpa guna. Menjadi oposisi berarti peluang memperjuangkan kepentingan Islam sangat kecil. Perang saudara bisa dengan angkat senjata, tapi ketika bicara masalah kebangsaan dan kenegaraan tidak bisa seperti itu, ada aturan mainnya. 


NU tidak minder dengan situasi politik kala itu, yang mengancam NU akan dilibas atau dihabiskan. NU itu dinamis. Meski saat ini isu komunis berhembus kembali, terlebih saat RUU Haluan Ideologi Pancasila muncul ke permukaan beberapa bulan kemarin. 
 

Sejatinya ideologi komunis itu sudah tidak laku di dunia ini. Negara-negara yang mengklaim dirinya komunis, justru sangat liberal dalam sistem ekonominya. Tapi anehnya, ide-ide komunis terus dijajakan sebagai isu musiman. Padahal secara nyata negara komunis sendiri sudah runtuh. Bahkan ruh komunis sudah tidak ada lagi. Di China dan Rusia yang menjadi basis komunis saja sudah hilang dan sekarang jadi liberal. Terkadang terdengar aneh kalau ada orang yang mengatakan dia komunis, cucunya PKI, atau deretan tuduhan lainnya yang diidentikan dengan partai palu arit itu. Apakah mereka tidak bisa move on dari isu ini? 

 

*Dosen STAI Al Azhar Menganti Gresik
 


Opini Terbaru