• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 28 Maret 2024

Opini

Memaknai Politik secara Holistik

Memaknai Politik secara Holistik
Hendaknya memaknai politik secara holistik. (Foto: NOJ/LKo)
Hendaknya memaknai politik secara holistik. (Foto: NOJ/LKo)

Politik secara holistik menarik untuk menjadi sebuah framing, sebuah pemikiran, bahkan sebuah analisa tajam bagi siapapun yang mencoba atau sedang berada dalam wadah perpolitikan.  Pandangan penulis tentang politik secara holistik setidaknya merupakan buah dari membaca kritis pemikiran Duta Besar Republik Indonesia untuk Austria dan Slovenia, Darmansja Djumala. Bahwa yang bersangkutan pernah menyampaikan bahwa politik adalah art of life beberapa waktu berselang.  Sedangkan jauh sebelumnya, Otto von Bismarck, Kanselir Jerman yang hidup dalam rentang tahun 1815-1898 pernah menjabarkan quote bahwa ‘Politics is the art of the possible.’ Dan akhirnya dapat digeneralisasikan bahwa politik memang sebuah art, sebuah seni.

 

Berbicara politik sebagai seni, tentunya harus memandang politik secara holistik, secara menyeluruh. Ibarat seorang seniman yang menggoreskan setiap alat secara detail setiap bagian hingga menjadi sebuah keseluruhan lukisan yang penuh makna. Memandang secara holistik dalam sebuah politik, maka tidak cukup jika merasa memiliki sense of politics tapi tidak tahu apa sebenarnya visi dari sebuah bangunan politik.

 

Pada 2016 lalu, setelah menghadapi serangkaian ‘serangan’ (yaaah, mungkin secara smooth-halus, bisa diartikan serangkaian ujian) dari sekelompok orang yang sedang mengincar jabatan yang mungkin dinilai politis oleh mereka saat itu. Penulis pun berkesimpulan bahwa sejatinya politik adalah bangunan strategi.

 

Ragam istilah bahwa politik adalah seni, yaitu seni dalam kehidupan, seni dalam menyusun kemungkinan, seharusnya dapat dirangkai dengan makna politik secara holistik, yaitu politik memang sebuah strategi.

 

Harry Yarger, Consultant National Security USA sekaligus penulis buku Teori Strategi Abad 21, menjelaskan bahwa ‘Strategy is viewed as both and art of science’. Bahwa strategi adalah how to think about strategy, not what to think for a strategy. Maka sangat jelas, bahwa politik seharusnya menjadi strategi, yaitu bagaimana rencana atau misi mewujudkan, bukan mengutamakan apa yang menjadi ambisi atau obsesi yang ingin diraih.

 

Apalagi, Yarger menajamkan bahwa sesungguhnya power is a means, not an end. Maka sebuah kekuasaan yang diraih dalam sebuah proses politik, seyogyanya hanyalah sarana, bukanlah akhir. Ketika politikus hanya terhenti untuk mendapatkan sebuah jabatan, namun tidak berpikir jabatan tersebut untuk apa saja dan bagaimana mendatangkan manfaat. Maka seratus persen, jabatan dalam politik seseorang itu tidak akan menjadikan dirinya dicintai publik.

 

Kembali pada politik secara holistik, politik merupakan seni dan merupakan bangunan strategi. Maka di sinilah penting untuk memanusiakan penonton maupun aktor politik sebagai manusia sejati. Aktor dalam berpolitik jika ingin memiliki jaringan yang mengakar dan melekat di benak publik, maka jadikan seni dan strategi adalah bagian menganalisa politik secara holistik, secara menyeluruh.

 

Sebaliknya, bagi penonton ataupun pihak yang cenderung memilih sebagai ‘tim penilai’, maka tontonlah politik secara utuh, jangan separuh-separuh. Ibarat menonton sinetron, drama Korea, maupun telenovela, maka tontonlah secara obyektif dan jangan terjebak framing subyektifitas diri. Hal ini penting agar penonton maupun tim penilai tidak terbelenggu sisi emosional yang ternyata hanya menguras pikiran dan emosi. Sedangkan tanpa disadari, sisi emosional tersebut tidak perlu dimilikinya karena ketidakpahaman secara utuh, apa yang sebenarnya terjadi dalam sebuah perpolitikan.

 

Pada akhirnya, pandanglah politik secara utuh. Hindari kemudlaratan dan dekatkan kemaslahatan. Seperti halnya spirit Islam, bahwa maslahat (manfaat, keberkahan) harus selalu diutamakan daripada unsur kemudlaratan (kesia-siaan). Jika tidak ingin terjebak dalam kenihilan menilai pilihan politik orang lain, maka hargailah pilihan politik orang lain.

 

Lia Istifhama adalah Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Taruna, Surabaya.


Editor:

Opini Terbaru