• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 19 April 2024

Keislaman

Adakah Panduan Taaruf atau Pacaran dalam Islam?

Adakah Panduan Taaruf atau Pacaran dalam Islam?
Islam mengatur bagaimana cara mengenal calon pasangan. (Foto: NOJ/KLi)
Islam mengatur bagaimana cara mengenal calon pasangan. (Foto: NOJ/KLi)

Islam memberikan panduan yang demikian lengkap kepada pemeluknya. Segala aturan menjadi jaminan bahwa dalam keseharian yang hubungannya dengan diri, keluarga, hingga tetangga maupun masyarakat terkawal dengan baik. Dan pada dasarnya segala macam muamalah dibolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya, begitu pula dengan taaruf atau pacaran.

 

Pada dasarnya pacaran sebagai sebuah bentuk sosialisasi dibolehkan selama tidak menjurus pada tindakan yang jelas-jelas dilarang oleh syara’. Yaitu pacaran yang dapat mendekatkan para pelakunya pada perzinahan. Hal itu sebagaimana disebut dalam surat al-Isra’ ayat 32:

 

وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً

 

Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.

 

Artikel diambil dariHukum dan Etika Pacaran dalam Islam

 

Hal ini sangat sinkron dengan hadits Rasulullah SAW yang seolah menjelaskan model tindakan yang dapat mendekatkan seseorang dalam perzinahan.  

 

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ ( رواه البخاري)

 

Artinya: Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW berkhutbah, ia berkata: Jangan sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali beserta ada mahramnya, dan janganlah seorang perempuan melakukan musafir kecuali beserta  ada mahramnya. (Muttafaq alaihi)

 

Rasulullah SAW secara tidak langsung telah memberikan rambu-rambu kepada umatnya mengenai model hubungan laki-laki dan perempuan yang terlarang. Pelarangan itu demi menghindarkan seseorang terjerumus dalam perzinahan. Karena pada umumnya perzinahan bermula dari situasi berduaan.

 

Demikianlah dasar hukum dilarangnya pacaran, jika yang dimaksud dengan pacaran itu adalah pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan, bersuka-sukaan mencapai apa yang disenangi mereka, sebagaimana yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karya Purwodarminto.

 

Akan tetapi berbeda hukumnya jika yang dimaksud dengan pacaran adalah upaya saling mengenal menjajaki kemungkinan untuk menjalin pernikahan dalam momentum khitbah melamar. Karena sesungguhnya hal itu sama seperti mendukung anjuran Rasulullah SAW terhadap generasi muda muslim untuk menikah, sebagai solusi menghindarkan diri dari perzinahan.

 

عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ * (رواه مسلم)

 

Artinya: Dari Ibnu Mas’ud ra berkata,  Rasulullah SAW bersabda kepada kami: Hai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kamu yang telah sanggup melaksanakan akad nikah, hendaklah melaksanakannya. Maka sesungguhnya melakukan akad nikah itu (dapat) menjaga pandangan dan memlihara farj (kemaluan), dan barangsiapa yang belum sanggup hendaklah ia berpuasa (sunah), maka sesunguhnya puasa itu perisai baginya. (Muttafaq alaih)

 

Begitu juga sebaliknya, Rasulullah SAW dengan gamblang mengancam siapapun yang tidak mengikuti sunahnya (termasuk di dalamnya menikah) sebagai keluar dari golongannya.

 

Demikian ketegasan Rasulullah SAW tercermin dalam hadits:

 

 عن أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: …لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي * (رواه البخاري)

 

Artinya: Dari Anas RA bahwasanya Nabi SAW bersabda: …tetapi aku, sesungguhnya aku salat, tidur, berbuka dan mengawini perempuan, maka barangsiapa yang benci sunnahku maka ia bukanlah dari golonganku.

 

Kedua hadits ini menjelaskan posisi pentingnya sebuah pernikahan bagi seorang. Sehingga Rasulullah sendiri membuat anjuran sekaligus ancaman. Oleh karena itulah pacaran dengan arti meminang atau melamar dalam upaya mencari kesepahaman demi menuju jenjang pernikahan dalam Islam dibolehkan. Karena kesempatan seorang muslim memandang muka dan telapak tangan perempuan lain bukan muhrim hanya dalam momen khitbah, tidak pada saat yang lain.

 

Demikian keterangan dalam At-Tahdzib fi Adillati Matnil Ghayah wat Taqrib:

 

والرابع النظر لاجل النكاح فيجوز الى الوجه والكفين  

 

Artinya: Keempat (dari tujuh macam pandangan laki-laki terhadap perempuan) melihat untuk maksud menikahi. Diperbolehkan memandang muka dan telapak tangannya.  

 

Demikian Rasulullah SAW juga mengajarkan perlunya perkenalan dan menganjurkannya walau dalam waktu yang singkat sebagaimana pengalaman Al-Mughirah bin Syu’bah ketika meminang seorang perempuan, maka Rasulullah berkomentar kepadanya:

 

انظر اليها فانه احرى ان يؤدم بينكما

 

Artinya: Lihatlah dia (perempuan itu), sesungguhnya melihat itu lebih pantas (dilakukan) untuk dijadikan lauknya cinta untuk kalian berdua.

 

Oleh karena itu, segala macam bentuk pacaran tidak dapat dibenarkan kecuali jika pacaran yang bermakna khitbah yang membolehkan seorang lelaki hanya memandang muka dan telapak tangan perempuan, tidak lebih. Artinya tidak melebihi dari muka dan telapak tangan, tidak melebihi saat khitbah, dan juga tidak melebihi dari memandang itu sendiri.


Editor:

Keislaman Terbaru