• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 19 April 2024

Opini

Mengenang Kepergian Almaghfurlah KH A Hasyim Muzadi

Mengenang Kepergian Almaghfurlah KH A Hasyim Muzadi
Almaghfurlah KH A Hasyim Muzadi.
Almaghfurlah KH A Hasyim Muzadi.

Oleh: HM Misbahus Salam*

 

Pada 15 Desember 2019,  tepat 1000 hari wafatnya KH A Hasyim Muzadi. Mengenang wafatnya, tentu tidak sekadar menggelar acara kirim doa, diskusi dan sebagainya. Namun yang sangat penting adalah mengambil hikmah dan teladan dari ketokohannya sebagai ulama maupun negarawan. 

 

Kiai Hasyim merupakan tokoh Nahdlatul Ulama yang berangkat dari organisasi paling bawah, yaitu Ranting NU. Ia merasakan kepengurusan NU di semua level, hingga akhirnya menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dua periode. Kiai kelahiran Tuban, Jawa Timur itu juga pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam di Malang Jawa Timur dan Depok, Jawa Barat.

 

Tidak bisa dipungkiri bahwa perannya cukup besar dalam mengawal perjuangan NU sekaligus sebagai tokoh bangsa yang pemikirannya  kerap menjadi rujukan nasional. Dalam hidup sampai akhir hayatnya, Kiai Hasyim selalu berpikir dan bergerak untuk Islam Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) an-Nahdliyah dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). 

 

Kiai Hasyim memiliki peran utama dalam membangun institusional building NU. Sejak menjadi Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur hingga menjadi Ketua Umum PBNU, organisasi NU termenej dengan baik, sesuai dengan perkembangan zaman. 

 

Kiai Hasyim membangun NU dengan tiga sistem. Pertama, dengan organizational development. Yaitu mengembangkan kerangka struktur organisasi yang mampu menjawab kebutuhan internal dan eksternal organisasi. Kedua, dengan institutional development. Yakni kemampuan organisasi dalam merespons berbagai dinamika perubahan eksternal dan internal secara cepat. Dan ketiga, dengan capacity building. Yaitu kemampuan organisasi dalam menjadikan proses-proses internalnya sebagai arena pembelajaran sehingga semakin terberdayakan dan kapasitasnya terup-grade.

 

Gerakan Kiai Hasyim sangat dirasakan manfaatnya bagi kemajuan NU secara organisasi. Kantor-kantor PW (pengurus wilayah), PC (pengurus cabang) dan MWC (majelis wakil cabang),  juga dibangun, tumbuh bak jamur di musim hujan. Komunikasi Kiai Hasyim dengan para tokoh politik dan pengusaha bermuara pada kepentingan organisasi. Tidak hanya itu, amat sering mengeluarkan uang pribadi untuk disumbangkan kepada pembangunan kantor NU dan pondok pesantren. 

 

Saya yang sering mendampingi, tahu persis betapa dermawannya tokoh yang satu ini. Pernah suatu ketika dalam sebuah perjalanan, Kiai Hasyim diberi uang oleh seseorang, nilainya lumayan banyak. Lalu uang itu disuruh hitung dan dibagi ke dalam 5 amplop. Ternyata uang tersebut semuanya disumbangkan untuk para kiai yang sedang membangun pesantren.

 

Perjuangan Kiai Hasyim tidak hanya untuk dunia pesantren dan NU, namun tegaknya NKRI juga menjadi perhatian serius. Aliran Islam transnasional , gerakan pengusung negara khilafah, indikasi bangkitnya paham komunis di Indonesia selalu dikritisi dalam setiap ceramahnya.  

 

Kiai Hasyim juga menjalin hubungan dan kerja sama dengan lintas agama. Bahkan bila ada konflik antaragama, selalu hadir untuk ikut memberikan solusi. Sehingga para tokoh lintas agama, suku dan golongan, bahkan ormas di Indonesia menganggapnya sebagai orang tua yang amat didengar dan diikuti petuah-petuahnya. 

 

Gerakan Islam rahmatal lil’alamin yang diusung NU, tidak hanya dibumikan di dalam negeri, namun juga merambah ke luar negeri. Melalui ICIS (Internasional Conference of Islamic Scholar), Kiai Hasyim aktif merespons perkembangan dunia dan mengkampanyekan Islam rahmatal lil’alamin. Dalam kapasitasnya sebagai tokoh NU dan ICIS, kerap kali menjadi juru damai di beberapa negara, misalnya konflik yang terjadi di Provinsi Pattani, Thailand Selatan, konflik di Moro, Mindanao, Filipinia Selatan, dan konflik di Afghanistan, Iran dan Lebanon. 

 

Hampir seluruh hidupnya dipergunakan untuk perjuangan. Dirinya juga tak jarang membantu para aktivis dan membiayai kegiatan-kegiatan perjuangan. Saya sendiri sering melihat dengan mata kepala sendiri bahwa dompetnya kosong karena sudah disedekahkan. Sering juga saya menyaksikan datang ke ATM hanya ingin mentransfer uang kepada orang yang membutuhkan. 

 

Tanda-tanda Kiai Hasyim mau wafat sebenarnya sudah terbaca jauh sebelumnya, namun saya baru menyadarinya setelah tokoh flamboyan itu menghadap ke haribaan ilahi.

 

Suatu ketika, kira-kira setengah tahun sebelum wafat, pagi-pagi Kiai Hasyim mengajak keliling saya di sekitar Pondok Al-Hikam, Depok. Dalam jalan-jalan santai itu sembari menghirup udara segar, ia mengatakan: “Saya ini sudah tidak punya apa-apa, tanah yang ada ini sudah saya wakafkan semua, kecuali rumah. Rumahpun akan ditempati anak-anak saya yang mau mengurus pesantren." 

 

Tidak hanya itu, Kiai Hasyim juga sempat menunjukkan calon maqbarah (kuburan) yang akan ditempatinya kelak. Seakan-akan mengabarkan bahwa tak lama lagi dirinya akan pergi untuk selamanya, meninggalkan dunia yang fana ini. Ternyata betul, tepat tanggal 16 Maret 2017, Kiai Hasyim  pulang ke pangkuan Allah. NU kehilangan putra terbaiknya. Indonesia kehilangan sosok moderat yang petuah-petuahnya sangat menyejukkan.

 

Semoga Allah SWT senantiasa menerima segala amal ibadah dan perjuangan, dan mengampuni segala kekhilafannya. Dan para pecintanya dan segenap warga NU, semoga diberi kekuatan untuk meneladani kehidupannya. Oh, selamat jalan wahai jiwa yang tenang.

 

*Penulis adalah A’wan Syuriyah PCNU Jember dan mantan komunikator KH A Hasyim Muzadi.


Editor:

Opini Terbaru