Salah satu hal yang saya syukuri adalah bisa mencicipi kehidupan pesantren. awalnya tidak pernah terpikirkan untuk menempuh pendidikan di pesantren. Karena sepanjang ingatan saya, ketika lulus dari jenjang Sekolah Menengah Pertama, di hari pengumuman itu, setelah puas corat-coret seragam saya dan beberapa teman dekat sudah bersepakat untuk mendaftar di salah satu Sekolah Menengah Atas Negeri.
Tapi sebelum waktu pendaftaran tiba, kebetulan ada saudara yang sedang pulang dari pesantren karena libur. Ia bercerita tentang pengalamannya mondok di sebuah pesantren, dan di akhir cerita ia pun mengajak saya untuk ikut belajar di pesantren. Ajakan itu kemudian didukung oleh bapakku sendiri, dan tidak tahu kenapa saya juga langsung mengiyakan ajakan tersebut.
Ditempa di Tremas
Perguruan Islam Pondok Tremas, itulah pesantren yang akhirnya aku pilih. Sebuah pesantren yang didirikan oleh KH Abdul Manan Dipomenggolo pada tahun 1830 M, hampir bersamaan dengan berakhirnya Perang Diponegoro.
Kedekatan waktu itu memang bukan kebetulan, tetapi menurut penuturan Gus Milal Bizawi, beberapa pondok pesantren di Jawa khususnya Jawa Timur memang berdiri setelah Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda, yang bekas pengikutnya menyebar ke berbagai daerah dan mendirikan pesantren, salah satunya adalah Pondok Tremas.
Pondok Tremas terletak di Desa Tremas, Kecamatan Arjosari, Kabupaten Pacitan. Posisi pondok tersembunyi di balik bukit kapur yang berjajar hampir di seluruh daerah Pacitan. Tetapi di balik bukit gersang tersebut tersembunyi berbagai pantai yang indah, gua yang eksotis, dan sagam batu akik yang kilauannya memesona.
Bagi saya, Pondok Tremas telah memberikan bekal hidup yang lebih dari cukup. Tidak hanya memberikan bekal keilmuan keagamaan yang mendalam, tetapi juga bekal kemampuan untuk mengarungi kehidupan bermasyarakat. Kemampuan itu adalah beradaptasi dengan berbagai macam kondisi masyarakat, kemampuan mengikuti perkembangan zaman, dan kemampuan bertahan hidup dalam kondisi apapun.
Ketiga kecakapan itu adalah modal besar yang saya miliki ketika sudah purna dari pesantren. Ketika lulus, sebenarnya saya tidak merasakan memiliki bekal tersebut. Tetapi setelah lama mengalami berbagai fase kehidupan, akhirnya sadar bahwa cara saya menghadapi berbagai macam tantangan dan persoalan kehidupan itu sudah terbentuk sejak ada di Pondok Tremas, hanya tempat dan medannya saja yang berbeda dan lebih luas.
Contoh kecilnya adalah usai saya lulus dan masuk dunia kampus. Waktu itu saya sebagai alumni pondok salaf yang mungkin dalam pandangan orang masih kaku dan kolot ternyata mampu beradaptasi dengan berbagai macam organisasi mahasiswa. Bahkan saya bisa menjadi peserta Masa Penerimaan Anggota Baru (Mapaba) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) terbaik saat itu. Dan akhirnya saya juga ikut terlibat dalam organisasi ekstra kampus tersebut sampai lulus.
Kemampuan untuk beradaptasi dalam sebuah organisasi itu bukanlah sesuatu yang tiba-tiba, karena dulu di Pondok Tremas saya sudah ikut organisasi sejak kelas dua madrasah salafiyah tingkat tsanawiyah. Dan di Pondok Tremas sendiri organisasi itu sudah menjadi hal yang mendarah daging pada diri santri.
Sejak kelas 2 jenjang madrasah tsanawiyah sampai kelas 3 tingkat madrasah aliyah, tiap tingkatan kelas memiliki organisasinya masing-masing. Seingat saya dulu ketika kelas dua madrasah tsanawiyah saya ikut kegiatan Pramuka, walaupun hanya jadi peserta, baru setelah kelas tiga, saya menjadi panitia perkemahan yang harus menyiapkan berbagai macam kegiatan dan puncaknya adalah perkemahan sekaligus sebagai dakwah.
Di jenjang madrasah aliyah, di kelas harus mengelola dua organisasi, yaitu mengelola perspustakaan, menyelenggarakan seminar dan menerbitkan majalah pondok. Selain itu kita juga harus mengelola organisasi yang mengurus semua kebersihan pondok yang disebut Tazaayun. Tugasnya mengatur dan menjadwal kegiatan bersih pondok yang petugasnya semua kelas 1 aliyah secara bergiliran.
Di jenjang kelas dua aliyah, juga mengelola dua organisasi yaitu dibaiyah wal khitabiah sebagai penyelenggara kegiatan pembacaan shalawat diba dan pelatihan khitabah. Dan organisasi jaga malam, yang bertugas sebagai penjaga pondok di malam hari.
Di jenjang terakhir, diberi amanah untuk mengelola kegiatan hari besar Islam pondok. Jadi semua kegiatan besar yang mengelola dan melaksanakan adalah santri-santri kelas tiga aliyah. Selain itu masih ada organisasi daerah, atau organisasi pengembangan bakat dan seni. Jadi, sebenarnya watak organisatoris itu sudah ada pada diri, dan itu berkat berbagai macam organisasi yang saya ikuti di pondok.
Hidup di Tiga Kota
Contoh lain dalam menghadapi hal-hal besar, saya merasa cara berpikir juga sudah terbentuk ketika waktu di pesantren. Salah satu fase krusial dalam hidup adalah ketika akan memutuskan menikah. Waktu itu saya masih mengabdi di pesantren karena sebagai konsekuensi mendapatkan beasiswa dari kementerian agama. Kemudian saya juga berkeinginan melanjutkan strata dua. Tidak hanya itu, saya juga ingin segera menikah.
Akhirnya dengan nekat, saya memutuskan mendaftar strata dua, menikah, dan tetap melanjutkan pengabdian. Padahal pengabdian masih dua tahun lagi. Setelah itu saya harus hidup di tiga daerah dalam sepekan, yaitu Pacitan tempat pengabdian, Jombang tempat tinggal dengan istri, dan Surabaya sebagai tempat kuliah magister.
Saya punya hobi baru naik bus tiga kota setiap pekan dalam dua tahun. Banyak teman yang mengatakan gila, gendeng, dan tidak waras atas keputusan yang saya ambil. Mungkin karena terkesan nekat. Tapi setelah saya merenung dan kembali memikirkan pengalaman di pesantren, ada satu pengalaman berat yang benar-benar membuat saya harus pasrah total, menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT.
Waktu itu kondisi ekonomi keluarga benar-benar di titik nadir, saya harus pulang dan sempat tidak kembali ke pondok selama satu bulan. Tapi akhirnya dengan bekal secukupnya saya bisa ke pondok dengan terus bertawakal kepada Allah SWT karena dengan bekal yang sangat pas-pasan. Singkat cerita, saya bisa melalui fase berat itu dan malah bisa mendapatkan beasiswa untuk kuliah. Padahal sebelumnya sudah patah semangat untuk melanjutkan kuliah di perguruan tinggi.
Ada satu cerita lagi yang masih sangat melekat dalam benak saya. Waktu itu sedang sakit dan tidak memiliki uang untuk sekadar membeli makan atau obat. Pagi hari ketika bangun tidur, kepala masih terasa pusing, badan panas dingin, dan saya belum makan. Mau pinjam uang teman, malu karena mungkin mereka juga tidak punya uang. Akhirnya saya mencoba tidur lagi. Dan setiap bangun, saya tidur lagi, dan sambil berdoa agar segera diberi kesembuhan.
Menjelang siang pukul 10.00, tiba-tiba ada kakak kelas yang membangunkan saya. Dan ketika saya bangun, sudah ada nasi bungkus dengan beberapa jajan, dan obat di dekat saya tidur. Ia Cuma bilang: Mangan sek, terus diombe obate/makan dulu terus obatnya diminum. Dan hati saya langsung basah dengan ucapan syukur, tanpa henti-henti mengucapkan hamdalah. Dari kejadian itu saya memiliki keyakinan Allah pasti akan menolong hamba-Nya dalam kesulitan yang dihadapi.
Itulah keyakinan yang selalu saya pegang teguh dalam keadaan apa pun, dalam situasi apa pun, termasuk ketika memutuskan untuk menikah, mengabdi, sekaligus melanjutkan studi magister. Satu keyakinan yang saya dapatkan di pesantren, satu nilai yang menjadikan saya mampu bertahan dalam kondisi apapun, tahan banting, dan tetap optimis menghadapi berbagai macam tantangan hidup. Karena saya yakin bahwa Allah SWT lebih besar dari masalah apapun yang dihadapi di kehidupan ini.
Pesantren dengan segala aktivitas kehidupan di dalamnya, pada hakikatnya telah membentuk jiwa dan mental sebagai santri. Yakni untuk siap hidup dalam keadaan apa pun, dengan berbagai macam lingkungan dan masyarakat, serta menjadikan pribadi yang bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Zaman bisa saja terus berubah, tapi santri dengan nilai luhur dari pesantren akan mampu menghadapi, menyesuaikan diri, dan menaklukkannya. Terima kasih pondok tercinta Perguruan Islam Pondok Tremas Pacitan dan selamat hari santri.
Ustadz Mustaufikin adalah Alumnus Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.