• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Opini

Tiga Kenangan dari Wafatnya Prof Huzaemah Tahido Yanggo

Tiga Kenangan dari Wafatnya Prof Huzaemah Tahido Yanggo
Prof Huzaemah Tahido Yanggo kala dikonfirmasi insan media. (Foto: NOJ/BSy)
Prof Huzaemah Tahido Yanggo kala dikonfirmasi insan media. (Foto: NOJ/BSy)

Kenangan ini dimulai 10 tahun lalu. Tepatnya di tahun, 2011, saat harus mengikuti mata kuliah fiqih muqaran. Mata kuliah 3 semester di Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Diampu oleh Prof Dr Huzaemah Tahido Yanggo. Figur yang selama ini saya dengar sebagai ‘bukan sembarang’ dosen. Banyak kakak kelas yang menceritakan kepakaran lulusan al-Azhar Kairo ini. Beliau adalah perempuan Asia Tenggara pertama yang meraih gelar doktoral perbandingan madzhab di universitas negeri Kinanah pada tahun 1984. Universitas yang menjadi ‘kawah candradimuka’-nya sejak jenjang S1 dan S2. 

 

Setidaknya ada tiga kenangan yang hingga kini masih tertinggal. Menjadi secercah terang bagaimana saya memahami keilmuan dan praktik berislam. 

 

Pertama, terkait dengan diskursus perbandingan madzhab. Sedari awal mengikuti perkuliahan, saya menaruh prasangka. Fiqih perbandingan madzhab adalah mata kuliah yang akan ‘menggerus’ komitmen mahasiswa dalam berfiqih. Khususnya dalam mengamalkan fiqih madzhab Syafii. Lintas madzhab adalah langkah gegabah. Mendorong seseorang untuk memilih-milih pendapat yang ringan ataupun mencampur adukannya (talfiq). Prinsip inilah yang dulu, secara fanatik saya peganggi. Terbentuk dari forum-forum bahtsul masail se-Kawedanan Pare Kediri. Di mana pendekatan lintas madzhab adalah sesuatu yang tabu. 


Setelah sekali dua kali mengikuti pengantar perkuliahan dari Prof Huzaemah, perlahan saya menjadi tersadarkan. Perbandingan madzhab adalah niscaya bagi pengkaji fiqih tingkat lanjut. Tujuannya adalah untuk mematangkan penguasaan fiqih itu sendiri. Bukan sebaliknya. Fiqih perbandingan madzhab adalah kekayaan keilmuan yang telah banyak ditulis oleh ulama, klasik ataupun kontemporer. Sebagai misal kitab al-Mughni karya Imam Ibnu Qudamah (541-620 H), Bidayah al-Mujtahid karya Imam Ibnu Rusyd (520-595 H), al-Majmu’ karya Imam al-Nawawi (631-676 H). Dengan mengkaji perbandingan madzhab, kita dihantarkan untuk memahami keluasan fiqih, serta mengetahui corak kekuatan metodologi masing-masing madzhab. 

 

Kenangan kedua adalah terkait eksistensi ulama perempuan. Sebelum kuliah di UIN Jakarta, tidak terlintas di benak saya menjumpai seorang perempuan yang pakar dalam bidang fiqih. Selama nyantri di Pesantren Mahir Arriyadl Ringinagung, Pare, Kediri, saya tidak menjumpai seorang ustadzah ataupun ibu nyai yang membacakan kitab kuning untuk santri putra. Malah sebaliknya, banyak ustadz ataupun kiai yang mengampu pengajian untuk santri putri. 

 

Demikian halnya dalam forum bahtsul masail, baik dalam lingkup Kediri ataupun Jawa-Madura, belum saya jumpai ada perumus ataupun mushahih dari perempuan. Dalam bahtsul masail putripun, sering kali dewan perumus dan mushahihnya diambilkan dari ustadz ataupun kiai.


Kenyataan ini berbeda ketika saya mengenal Prof Huzaemah. Rekam sejarahnya, sejak 1987, ulama kelahiran Donggala Sulawesi Tengah 1946 ini sudah aktif menjadi anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, sehingga pandangan dan argumentasinya banyak mewarnai perumusan fatwa yang ada. Demikian pula, santri lembaga pendidikan al-Khairat ini juga aktif terlibat di forum-forum ilmiah tingkat internasional. Duduk sejajar dengan para pakar fiqih lintas negara, yang banyak didominasi oleh kaum laki-laki. Dalam beberapa kesempatan, hal ini saya temukan langsung ketika di UIN Jakarka mengadakan seminar ataupun konferensi internasional. Sebagai mahasiswa yang diajar beliau di ruang kelas, melihat kiprah ini adalah sebuah ‘kebaruan’ sekaligus kebanggaan tersendiri. 

 

Ketiga adalah terkait ‘role model’ emansipasi perempuan. Meskipun dengan segudang kesibukan dan keilmuan, Prof Huzaemah tetap tidak melupakan tugasnya sebagai seorang ibu rumah tangga. Dalam beberapa kesempatan, sebelum memulai perkuliahan, beliau menyatakan bahwa tidak mungkin meninggalkan rumah sebelum menyiapkan makanan dan kebutuhan bagi anggota keluarga. Sisi unik lainnya, saat mengajar ataupun di forum-forum resmi lainnya, satu hal yang mengundang tanda tanya dari saya pribadi adalah kekhasan gaya pakaian beliau. Selalu berpenampilan rapi dan anggun dengan selendang lebar. Melingkar dari pundak hingga terapit kedua tangannya. Warna selendang selalu serasi dengan warna kerudung dan gaun yang beliau kenakan. Selaras dengan ungkapan bahwa pakaian adalah cermin kepribadian.

 

Pada 23 Juli 2021 pagi, di hari Jumat yang mulia, Prof Huzaemah berpulang. Jelang Shubuh hingga pagi, tidak seperti biasanya, Ciputat diguyur hujan. Dua hari ini masih sejuk dengan mendung bergelayut. Mungkin saja isyarat mengiringi kepergian Prof Huzaemah. Tenang beristirahat di kompleks pemakaman para guru besar UIN Jakarta.

 

Muhammad Hanifuddin adalah Pengajar di Ma'had Darus Sunnah Jakarta

 


Editor:

Opini Terbaru