• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 19 April 2024

Opini

Upaya Memperkuat Posisi KPPU melalui Revisi Sanksi Hukum

Upaya Memperkuat Posisi KPPU melalui Revisi Sanksi Hukum
Keberadaan KPPU harus semakin diperkuat dengan melakukan sejumlah revisi undang-undang. (Foto: NOJ/Tir)
Keberadaan KPPU harus semakin diperkuat dengan melakukan sejumlah revisi undang-undang. (Foto: NOJ/Tir)

Keberadaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tidak saja untuk memenuhi amanat undang-undang, melainkan sebuah kemutlakan dalam sistem tata pemerintahan. KPPU dapat dikatakan lembaga superbodi, karena tugas dan wewenangnya sangat besar yang meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, menyidangkan, dan memutuskan perkara. Selain itu, juga mengawasi setiap pelaku usaha agar tidak melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

 

Meski lembaga superbodi, namun taji yang dimiliki KPPU masih dikatakan lemah. Karenanya, sudah saatnya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi UU No. 5 Tahun 1999 khususnya tentang sanksi pidana pelaku monopoli dan kartel. Karena sanksi yang berlaku selama ini sudah tidak relevan dan jauh dari memenuhi rasa keadilan, juga tidak memiliki efek jera, mengingat masih banyak kasus pelanggaran persaingan usaha tidak sehat.

 

Pemikiran yang demikian dilandasi oleh hasil analisis penulis tentang sanksi hukum dalam UU No. 5 Tahun 1999 perspektif hukum pidana Islam. Sejumlah sanksi hukum yang perlu direvisi adalah:

 

Pertama, sanksi pidana pokok, sebagaimana dalam pasal 48 ayat (1) UU No. 5 tahun 1999 adalah sanksi berupa denda. Sanksi tersebut sudah tepat bagi pelaku tindak kejahatan yang bersifat perdata sesuai kaidah fiqh jinayah yakni: Setiap orang yang merampas (ghasab) sesuatu, harus mengembalikannya atau mengembalikan senilai harganya.

 

Denda adalah jalan yang ditempuh untuk mengambil harta pelaku kejahatan dan atau pelanggaran tertentu yang didapatkannya melalui cara yang tidak baik (batil). Dalam hal ini, para pelaku mendapatkan keuntungan yang tidak wajar atas bisnisnya atau curang dalam berbisnis.

 

Sanksi denda merupakan bentuk mengembalikan harta milik konsumen secara luas yang masuk ke kas atau pendapatan negara dan digunakan untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Seperti membangun jalan, jembatan, mensubsidi kebutuhan pokok, memberikan bantuan layanan kesehatan dan pendidikan kepada masyarakat miskin dan lain sebagainya, sehingga bentuk sanksi denda menurut hukum pidana Islam sudah tepat.

 

Namun besar kecilnya denda yang jatuhkan jika mengacu pada UU No. 5 Tahun 1999, maka sanksi ini tidak tepat. Dalam hukum pidana Islam berlaku kaidah: Berat ringannya sanksi ta‘zir diserahkan kepada imam (hakim) sesuai dengan besar kecilnya kejahatan yang dilakukan). Juga harus mempertimbangkan daya preventif dan represif (al-radd wa al-jazr) serta daya edukatif dan rehabilitatif bagi yang bersangkutan.

 

Sanksi pidana pokok tersebut dalam pandangan hukum pidana Islam harus berupa denda yang jumlahnya disesuaikan dengan dampak kerugian yang ditimbulkan akibat persaingan tidak sehat serta mempertimbangkan keuntungan tidak wajar yang didapatkannya. Selain itu, perlu kiranya diberikan sanksi penguat selain sanksi denda kepada pelaku usaha untuk menambah jumlah CSR (Costumer Service Responsibility) sebagai wujud mengembalikan keuntungan tidak wajar yang didapat. Sanksi menambah jumlah CSR ini didasarkan pada kaidah hukum pidana Islam: Barangsiapa memperoleh keuntungan dari cara yang terlarang, maka bagi mereka wajib menyedekahkannya.

 

Kaidah tersebut dapat dipahami jika keuntungan yang diperoleh dengan cara terlarang oleh pelaku usaha berupa perorangan, maka sanksinya adalah menyedekahkan sejumlah keuntungan tersebut. Namun jika pelakunya adalah korporasi atau perusahaan, maka cara menyedekahkan adalah dengan jalan menambah jumlah CSR. Bahkan tidak hanya yang diperoleh dengan cara terlarang saja, keuntungan yang diperoleh yang mengandung unsur subhat juga harus disedekahkan. Hal yang demikian merupakan perwujudan dari salah satu tujuan syariat Islam berupa hifz al-mal (menjaga harta).

 

Dengan demikian, sanksi denda harus disesuaikan dengan kerugian yang ditimbulkan, sehingga memberikan efek jera dan pelaku usaha lain akan berhati-hati agar tidak terkena denda yang berat.

 

Kedua, sanksi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha atau larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun. Atau penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain. Sanksi yang demikian menurut hukum pidana Islam sudah tepat. Selain itu, sanksi pidana tambahan merupakan wujud dari kaidah fiqh bahwa kebijakan pemimpin atas rakyatnya harus berdasarkan pada kemaslahatan.

 

Pencabutan izin dan atau penghentian kegiatan usaha merupakan bentuk kebijakan pemerintah melindungi masyarakat agar tidak menjadi korban persaingan usaha tidak sehat. Demikian pula perusahaan lain dapat masuk ke pasar yang sama, sehingga pasar berjalan baik karena persaingan usaha yang sehat.

 

Namun demikian, jika dicermati lebih terkait sanksi yang ada, seharusnya tidak termasuk sanksi pidana tambahan, melainkan menjadi sanksi pidana pokok. Hal ini didasarkan pada ilmu hukum modern yang membagi subyek hukum menjadi dua, yaitu subyek hukum berupa orang (manusia) dan subyek hukum berupa badan hukum atau korporasi.

 

Korporasi sebagai subyek hukum, seharusnya juga mendapat sanksi pidana berupa pencabutan izin usaha; penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain; dan atau pembubaran korporasi yang diikuti likuidasi seharusnya menjadi sanksi pidana pokok. Sanksi pidana tersebut identik dengan sanksi pidana mati pada sanksi pidana pokok untuk orang sebagai subyek hukum.

 

Ketiga, sanksi pidana penjara. Sanksi penjara sebagai pelengkap atau tambahan dari sanksi sebelumnya, bukan merupakan sanksi pilihan sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1999. Sanksi pidana penjara harusnya diberikan kepada pelaku persaingan usaha tidak sehat yang mengakibatkan kerugian sangat besar dan sektor yang dikuasai berupa barang kebutuhan pokok dan atau kepada orang maupun korporasi (dalam hal ini pengurus, atau direksi atau komisaris).

 

Namun sayangnya, terkait masalah pidana penjara bukan menjadi domain dari KPPU. Bersifat pidana ketika yang berperkara tidak kooperatif dan ketika yang berperkara tidak menjalankan putusan KPPU. Kewenangan KPPU masih sebatas sanksi administratif seperti menjatuhkan sanksi denda, pembatalan perjanjian, penghentian dan atau penutupan kegiatan usaha, hingga memberikan ganti rugi kepada korban. Sedangkan pidana penjara menjadi kewenangan pengadilan negeri.

 

Tujuan pemidanaan terhadap badan hukum adalah untuk mencari keadilan bagi pelaku usaha lain maupun korban, dan untuk suatu ketertiban umum. Tetapi yang lebih menonjol dalam tindak pidana korporasi adalah tujuannya untuk menimbulkan efek jera (deterrent effect). Jadi, apabila yang dihukum pidana hanya pengurusnya, maka hal ini tidak membuat jera, karena perusahaan tersebut dapat mengganti pengurus lama dengan pengurus baru.

 

Pidana adalah tuntutan keadilan, sebagai suatu keharusan logis sebagai konsekuensi dari kejahatan. Karena kejahatan adalah suatu pengingkaran terhadap ketertiban hukum dan negara yang merupakan perwujudan dari cita susila. Sanksi pidana dijatuhkan oleh penguasa untuk suatu pembalasan terhadap pelaku yang melanggar aturan. Juga sebagai upaya menjaga ketentraman dan kontrol dari masyarakat terhadap prevensi umum dan khusus.

 

Sanksi pidana yang ringan dalam UU No. 5 Tahun 1999 akan memudahkan pelaku usaha membuat badan hukum (perusahaan) baru. Meski perusahaan lama terkena sanksi administratif maupun sanksi tambahan, karena keuntungan besar yang didapatkan dari praktik persaingan usaha tidak sehat, mampu untuk membuat perusahaan baru.

 

Dengan demikian, langkah memperkuat KPPU adalah dengan merevisi sanksi hukum yang ada di dalam UU No. 5 Tahun 1999.

 

 

Alumnus program doktor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, kini dosen Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (Unipdu) Peterongan, Jombang. 


Editor:

Opini Terbaru