• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 19 April 2024

Opini

Vaksinasi Virus Corona Perlu Diikuti Vaksinasi Radikalisme

Vaksinasi Virus Corona Perlu Diikuti Vaksinasi Radikalisme
Presiden Jokowi menerima vaksin virus Corona. (Foto: NOJ/Istimewa)
Presiden Jokowi menerima vaksin virus Corona. (Foto: NOJ/Istimewa)

Hari ini dimulai vaksinasi untuk melawan virus Covid-19. Jokowi akan maju sebagai pihak yang pertama kali divaksin. Tentu hal ini adalah langkah baik menuju Indonesia yang bebas Corona. Namun jangan dilupakan, perlu vaksinasi lain agar Indonesia lebih kebal lagi dari ‘virus' lain, yakni radikalisme.

 

Di Indonesia selama tahun 2020 terjadi penangkapan 228 tersangka terorisme oleh Densus 88. Densus juga membongkar satu dari 12 pusat latihan teroris kelompok jaringan Jamaah Islamiyah di Jawa Tengah. Kelompok ini telah merekrut generasi muda sejak tahun 2011 sampai tahun 2018 dengan total 96 orang anggota dari 7 angkatan. Hal yang cukup memprihatinkan karena mereka memilih santri atau pelajar cerdas ranking 1 hingga 10 untuk menjadi sasaran ajaran radikalnya.

 

Secara simpel, ajaran radikal dijelaskan dalam buku saya ‘Kontranarasi Melawan Kaum Khilafers: Bacaan Praktis bagi Gen Y dan Gen Z  (2020)’. Kriteria kelompok radikal di Indonesia yakni mereka adalah pihak yang anti-NKRI termasuk kelompok separatis, anti-Pancasila, dan aliran agama yang gampang memberi stigma kafir pada lian.

 

Sasaran empuk kelompok radikal adalah generasi Y dan Z. Alasannya, rasa curiosity yang tinggi, juga secara kuantitas relatif banyak. Dengan demikian, mereka berpeluang besar  ‘terinfeksi’ gagasan radikalisme.

 

Dengan alasan ini, wajar di situs arabnews.com (Februari 2020) diulas berita berjudul Indonesia Targets Virus of Religious Radicalization. Isinya penjelasan Mahfud MD bahwa pemerintah khawatir jika para kombatan dipulangkan, mereka bisa menjadi virus baru yang berbahaya bagi Indonesia. Kombatan yang hendak pulang ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bisa membawa virus radikalisme saat mereka berbaur dengan generasi muda.

 

 

Sebenarnya potensi menginfeksi tidak hanya lewat darat, saat ini kelompok radikal berekspansi di media sosial dengan berbagai strategi canggih. Situs nytimes.com pada November 2018 memuat opini berjudul The New Radicalization of the Internet. Intinya, media sosial memainkan peran kunci dalam kebangkitan ekstremisme sayap kanan di Amerika Serikat.Tentu hal ini juga terjadi di belahan negara lain. Pada Mei 2018, Kemkominfo mengungkap 143 juta pengguna media sosial berpotensi terkena virus radikalisme dan terorisme.

 

Karena media sosial sudah menjadi dunianya gen Y dan gen Z, maka cara terbaik untuk menyelamatkannya bukan dengan menghindarkan atau melarang mereka mengakses informasi dari kelompok radikal. Pencegahan seperti ini  adalah muskil karena seluruh informasi termasuk radikalisme pasti hinggap ke bilik privat gen Y dan gen Z karena faktor gawai yang mereka pegang.

 

Melarang mereka memegang gawai juga pelik. Apalagi saat pagebluk yang mengharuskan para pelajar (juga sebagian besar santri) untuk belajar secara daring. Problematisnya, disinyalir saat pandemi ini potensial dimanfaatkan kelompok radikal.

 

Vaksinasi Gen Y dan Gen Z

Ada beberapa strategi menghadapi kelompok radikal, salah satunya dengan menjaga dan merawat tradisi-budaya yang ada. Errol Louis dalam nydailynews.com (Agustus 2017) menyinggung  bahwa vaksin melawan ekstremisme adalah budaya dan faith.

 

Memang budaya mampu menangkal radikalisme. Dalam konteks radikalisme dari splinter  muslim, pelakunya rata-rata adalah mereka yang anti budaya. Sudah banyak bukti saat kelompok radikal baik ISIS maupun Taliban berkuasa, maka situs budaya menjadi tidak berharga, bahkan dihancurkan. Dengan demikian, bilamana banyak orang merawat dan mencintai budaya, secara otomatis radikalisme akan terkikis.

 

Hanya saja Louis belum begitu jelas terkait korelasi faith yang dianggap bisa melawan radikalisme. Kalau faith dimaknai beragama, maka kelompok radikal juga beragama. Kalau faith  dimaknai  keimanan, maka kelompok radikal juga mempunyai  keimanan.

 

Selain budaya, ada strategi lain yang satu aras dengan model nalar gen Y dan Z yang punya rasa curiosity, yakni mengenalkan sekaligus melakukan kontranarasi atas gagasan radikal. Hal ini saya sebut dengan vaksin radikalisme.

 

Dalam dunia medis dikenal upaya menanggulangi penyakit dengan menguatkan antibodi yang ada dalam tubuh. Juga diciptakan vaksin yang salah satu caranya dengan diambilkan dari virus atau bakteri yang dilemahkan. Dengan cara ini, tubuh bisa mengatasi penyakit yang masuk.

 

 

Melawan kontaminasi ideologi radikal perlu mereplikasi treatment di dunia medis. Dalam diri manusia terdapat benteng pertahanan dari masuknya agen baru ke memori kita. Benteng itu adalah sikap kritis. Sikap kritis inilah sebenarnya  ‘antibodi’ yang bisa  menolak gagasan radikal dan sejenisnya yang menyusup ke dalam memori manusia.

 

Akan tetapi, di era post truth dengan masifnya penyebaran firehouse of falsehood yang satu sisi mampu menciptakan sesuatu yang salah dianggap benar, juga bisa menjadikan individu mudah termakan hoaks karena enggan melakukan penelusuran sebagai komparasi info yang beredar. Kesemuanya potensial menjadikan daya kritis manusia melemah.

 

Untuk itu perlu diperkuat dengan  ‘menyuntikkan’ gagasan radikal yang telah dilemahkan. Melemahkan gagasan radikal yang akhirnya menjadi vaksin diproduksi melalui kontranarasi dari narasi yang disebarkan kelompok radikal. Kontranarasi ini lalu  ‘diinjeksikan’ kepada gen Y dan gen Z.

 

Semisal, mereka menebar narasi stigmatik terhadap lawan politik dengan label munafik, zalim, kriminalisasi dan sebagainya. Atau mereka membuat jebakan nalar bahwa kitab suci lebih tinggi dari Pancasila, lalu digiring untuk memilih kitab suci dan mencampakkan Pancasila.

 

Atau penyebaran wacana bahwa nomenklatur  NKRI atau republik tidak ada dalam  hadits, beda dengan khilafah, selanjutnya digiring sebagai umat beragama yang taat harus  memilih  khilafah. Pun mereka mengatakan khilafah adalah ajaran Islam yang tertulis dalam kitab kuning, beda dengan NKRI yang tidak dijumpai redaksinya dalam khazanah Islam.

 

Tidak ketinggalan sebaran gagasan demokrasi bertentangan dengan Islam, ataupun pembelokan makna hijrah. Mereka menebar  narasi itu, tentu harus kita jawab dengan kontranarasi. Kontranarasi inilah vaksin ideologi yang selaras dengan aras nalar gen Y dan Z untuk melawan dan melemahkan ideologi radikal.

 

 

Di awal 2021 sudah seharusnya memulai menutup seluruh pintu-pintu gagasan radikal dalam masyarakat dengan kontranarasi berupa memberikan vaksinasi anti radikal. Mengutip Ribka Tjiptaning, ada yang harus diapresiasi bahwa negara tidak boleh berbisnis dengan rakyatnya. Hal itu sebagaimana kita memulai vaksinasi virus Corona bagi rakyat Indonesia. Jayalah NKRI, baldatun tayyibatun warabbun ghafur

 

Ainur Rofiq Al-Amin adalah dosen di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya dan pengasuh di Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang.


Editor:

Opini Terbaru