• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 28 April 2024

Pendidikan

Prof Haris Kupas Perkawinan Beda Agama, Begini Pemikirannya

Prof Haris Kupas Perkawinan Beda Agama, Begini Pemikirannya
Guru Besar UIN KHAS Jember, Prof Dr HM Noor Harisudin MFilI, saat ‘Kuliah Umum’ di Fakultas Syariah UIN Mataram, Senin (02/10/2023). (Foto: NOJ/ Dok. Fak. Syariah UIN KHAS)
Guru Besar UIN KHAS Jember, Prof Dr HM Noor Harisudin MFilI, saat ‘Kuliah Umum’ di Fakultas Syariah UIN Mataram, Senin (02/10/2023). (Foto: NOJ/ Dok. Fak. Syariah UIN KHAS)

Jember, NU Online Jatim

Guru Besar Universitas Islam Negeri UIN Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember, Prof Dr HM Noor Harisudin SAg SH MFilI menyampaikan, perkawinan beda agama tidak melihat sebelum maupun sesudah akad. Jika dalam akad dua mempelai beda agama, lalu setelah akad, seorang pindah agama yang sama dengan pasangannya, maka tetap dianggap beda agama.

 

“Sebaliknya, jika dalam akad dua mempelai dalam sama agama, dan setelah akad, seorang mempelai pindah beda agama, maka dianggap bukan pernikahan beda agama,” ujar Prof Haris dalam ‘Kuliah Umum’ di Fakultas Syariah UIN Mataram, Senin (02/10/2023).

 

Menurut Prof Haris, perkawinan beda agama adalah perkawinan dua orang yang berlainan jenis dan berlainan agama dalam sebuah akad yang disepakati bersama. Saat ini, ada banyak praktik perkawinan beda agama yang dilakukan oleh sejumlah kalangan artis. Misalnya, Titi Kamal dengan Kristian Sugiono, Rinto Harahap dan Lily Kuslolita, Marcell Siahaan dan Rima Melati Adams, Bob Tutupoly dan Rusmayati Nasution dan masih banyak lainnya.

 

“Tahun 2020 ada 147, tahun 2021 ada 169, tahun 2022 ada 177 a dan Tahun 2023 ada 89 pernikahan beda agama. Hingga Juli 2023 total terdapat 1.655 pernikahan beda agama,” jelas Prof Haris yang juga Sekretaris Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum PTKIN Se-Indonesia.

 

Prof Haris pun mengungkapkan, jika dilihat dari agama pasangan yang menikah, pasangan Islam-Kristen menjadi yang paling banyak, porsinya mencapai 68 persen. Diikuti oleh Islam-Katolik, yaitu 30 persen. Oleh karena itu, Surakarta dikenal sebagai kota yang plural dalam hal agama. Di kota ini, masyarakatnya memeluk berbagai agama. Mulai dari Islam, Kristen Katolik, Protestan, Buddha, Hindu, Konghuchu dan kepercayaan lainnya.

 

“Berdasarkan data Disadmindukcapil Surakarta Agustus 2022, pemeluk agama Islam di kota ini merupakan yang paling banyak. Pemeluk agama Islam itu berjumlah 458.660 (79,1 persen), disusul Kristen dengan jumlah 78.873 pemeluk (13,6 persen) , dan Katolik sebanyak 39.909 (6,89 persen),” tuturnya.

 

Prof Haris yang juga Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur itu menjelaskan, Islam dalam Al-Qur’an dan Hadist telah melarang perkawinan beda agama. Namun, para ulama berbeda pandangan dalam hal ini.

 

Pertama, ulama yang mengatakan bahwa nikah beda agama (musyrik dan ahli kitab), semuanya dilarang. Kecuali pernikahan seorang laki muslim dengan perempuan ahli kitab. Kedua, ulama yang mengatakan bahwa nikah beda agama (musyrik dan ahli kitab), semuanya dilarang tanpa perkecualian. Termasuk seorang laki-laki muslim yang menikahi perempuan ahli kitab, hukumnya haram dan tidak sah. Ketiga, ulama yang mengatakan bahwa nikah beda agama (musyrik dan ahli kitab), semuanya dilarang. Kecuali kondisi darurat maupun hajat yang membolehkan.

 

Sejumlah Ormas Islam, lanjut Prof Haris, juga telah menetapkan larangan pernikahan beda agama. Seperti Fatwa MUI tentang Perkawinan Beda Agama dalam Musyawarah Nasional ke-VII MUI pada tanggal 26-29 Juli 2005 di Jakarta. Hasil Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama dalam Muktamar ke-28 tahun 1989 di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta. Muktamar Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ke XXII, tanggal 12-16 Februari 1989 di Malang Jawa Timur.

 

“Secara normatif, perkawinan beda agama atau ‘perkawinan campur’ sebagaimana diatur pertama kali dalam Regeling op de gemengde Huwelijken, Staatblad 1898 No. 158, bahwasanya perbedaan agama tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah terjadinya perkawinan. Begitu pun dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur sedikitpun tentang pasal perkawinan beda agama, termasuk dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI),” jelas Prof Haris.

 

Tidak hanya itu, hasil Putusan Mahkamah Konstitusi No.24/PUU-XX/2022 tentang Pernikahan Beda Agama dijelaskan bahwa keabsahan perkawinan, merupakan domain agama melalui lembaga atau organisasi keagamaan yang berwenang atau memiliki otoritas memberikan penafsiran keagamaan.

 

Bahkan, Mahkamah Agung melalui SEMA No. 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Yang Berbeda Agama Dan Kepercayaan, hakim harus berpedoman Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan, serta menjelaskan bahwa pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.

 

Karenanya, Prof Haris menegaskan bahwasanya peran negara hanyalah menindaklanjuti hasil penafsiran yang diberikan lembaga atau organisasi agama terkait penafsiran nikah beda agama. Soal pencatatan adalah dalam rangka memberikan kepastian dan ketertiban administrasi kependudukan sesuai Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

 

“Ke depan, fakta-fakta tentang pernikahan beda agama akan semakin dinamis dan menjadi bahan pertimbangan ius constitendum dalam berbagai regulasi di Indonesia,” pungkasnya.


Pendidikan Terbaru