• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Senin, 29 April 2024

Rehat

Di Balik Anjuran untuk Giat Bekerja dan Larangan Menganggur

Di Balik Anjuran untuk Giat Bekerja dan Larangan Menganggur
Islam sangat menganjurkan untuk giat bekerja dan larangan menganggur. (Foto: NOJ/depoedu.com)
Islam sangat menganjurkan untuk giat bekerja dan larangan menganggur. (Foto: NOJ/depoedu.com)

Islam sangat menghargai hamba yang memiliki etos kerja tinggi. Dengan demikian, segala upaya harus dilakukan demi memastikan bahwa dalam keseharian tidak menganggur, apalagi menggantungkan kebutuhan harian kepada kalangan lain.


Kalau diperhatikan di sekitar kita, banyak juga orang yang sebenarnya tidak diberikan keterampilan lebih. Akan tetapi dengan segala cara, dia tetap berupaya serius walau hanya dibekali kemampuan seperti kalangan kebanyakan.


Apalagi tidak sedikit mereka yang memiliki keterbatasan fisik namun tetap memiliki semangat hidup demikian mengagumkan. Bagi kalangan ini, sejumlah kekurangan yang ada jangan sampai menjadi alasan untuk menyerah. Bahkan tidak jarang kita dengar bahkan saksikan sendiri kelompok difabel justru mempunya kemampuan yang demikian memukau.


Secara fitrah, manusia adalah makhluk sempurna yang memiliki kompetensi diri yang unik, beragam, dan sesuai dengan bidang pekerjaan tertentu. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, manusia memiliki potensi yang bisa digunakan untuk bekerja. Berpangku tangan bukan hanya membuat orang tak mendapat penghasilan, tapi bisa juga menjerumuskannya pada perilaku buruk meminta-minta, bahkan merugikan orang lain, demi memenuhi kebutuhan hidupnya.


Dalam kitab Kanzul Ummal no. 9858 diriwayatkan bahwa Umar bin Khatab Radliyallahu Anhu mengatakan: 


إِنِّيْ لَأَرَى الرَّجُلَ فَيُعْجِبُنِيْ، فَأقُوْلُ: لَهُ حِرْفَةٌ؟ فَإِنْ قَالُوا: لَا؛ سَقَطَ مِنْ عَيْنِي

 

Artinya: Sungguh kadang aku melihat seorang lelaki yang membuatku terkagum. Lalu aku tanyakan: Dia punya pekerjaan? Jika mereka menjawab: Tidak. Lelaki itu langsung jatuh wibawanya di mataku.

 

Ibnu Mas’ud Radliyallahu Anhu dalam kitab Mujam al-Kabir no. 8539 mengatakan: 


 إِنِّي لأَمْقُتُ أَنْ أَرَى الرَّجُلَ فَارِغًا، لا فِي عَمِلِ دُنْيَا، وَلا آخِرَةٍ

 

Artinya: Sungguh aku marah kepada orang yang nganggur, yang tidak melakukan amal dunia maupun amal akhirat. (HR at-Thabrani).

 

Bahaya Menganggur

Menurut Yusuf Qaradhawi, pengangguran itu terbagi menjadi dua macam, yakni pengangguran jabariyah, yaitu menganggur karena tidak ada pilihan lain sebab tidak mempunyai ilmu dan keterampilan sehingga terpaksa menjadi pengangguran. Kedua, adalah pengangguran khiyariyah, yaitu orang yang lebih memilih menganggur dan bergantung kepada orang lain padahal mempunyai kemampuan untuk bekerja mencari nafkah.


Pengangguran bisa berdampak negatif, baik pada diri sendiri, keluarga, maupun lingkungan sekitar. Efek personal itu bisa berupa efek fisik, misalnya sakit kepala, sakit perut, masalah tidur, kekurangan energi, hipertensi, penyakit jantung, dan penyakit ginjal. Bisa pula efek psikologis, misalnya timbulnya perasaan malu, depresi, sensitif, kecemasan, kemarahan, ketakutan, keputusasaan, penurunan harga diri, kesepian dan isolasi sosial, hingga peningkatan permusuhan. 


Dalam lingkup keluarga, menganggur bisa memicu gesekan perkawinan, depresi pasangan, konflik keluarga, pelecehan anak dan penelantaran keluarga yang seharusnya dinafkahi.  Mengabaikan kewajiban menafkahi keluarga adalah perbuatan dosa, sebagaimana hadits Rasulullah SAW: 


 كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ

 

Artinya: Seseorang cukup dikatakan berdosa jika ia melalaikan orang yang wajib ia beri nafkah. (HR Abu Daud).


Sementara itu, untuk menghindari pengangguran, dalam Al-Qur’an Allah telah memerintahkan kita untuk memberi nafkah menurut kemampuan masing-masing. 


 لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا

 

Artinya: Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) apa yang Allah berikan kepadanya. (QS. Ath-Thalaq: 7)


Namun demikian, urutan mendahulukan nafkah pada istri daripada kerabat lainnya tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Hal ini disebutkan dalam hadits Nabi SAW bahwa dari Jabir Radhiyallahu Anhu, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 

 ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا، بَيْنَ يَدَيْكَ، وَعَنْ يَمِينِكَ، وَعَنْ شِمَالِكَ

 

Artinya: Mulailah dari dirimu sendiri. Sedekahkanlah untuk dirimu. Selebihnya dari itu untuk keluargamu (anak dan istrimu). Selebihnya lagi dari itu untuk kerabat dekatmu. Selebihnya lagi dari itu untuk tujuan ini dan itu yang ada di hadapanmu, yang ada di kanan dan kirimu. (HR Muslim).


Islam senantiasa mendorong umatnya untuk berikhtiar. Menjadi pengangguran bagi orang yang mampu bekerja adalah perbuatan yang hina dengan berbagai mudarat dan dampak negatifnya. Kewajiban seseorang adalah berusaha, sedangkan soal mencapai target pendapatan tertentu adalah hal lain. Besaran nafkah bisa disesuaikan dengan kemampuan maksimal yang ada dan dengan skala prioritas pemenuhan kebutuhan yang telah digambarkan Rasulullah dalam haditsnya.


Jadi, utamakan nafkah diri, keluarga, karib kerabat, dan pemenuhan kebutuhan tujuan dan cita-cita hidup agar sukses dengan berusaha dan bekerja keras tentunya. 


 وَقُلِ ٱعْمَلُوا۟ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُۥ وَٱلْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

 

Artinya: Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS At-Taubah:105).


Dengan bekerja keras, ikhlas, dan memohon ridha Allah semata maka Allah, Rasul dan orang-orang beriman akan menilai dan mengapresiasi pekerjaan kita dengan ganjaran materi yakni syahadah maupun nonmateri atau ghaib. Wallahu a’lam.


Rehat Terbaru