• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 4 Mei 2024

Rehat

UMRAH RAMADHAN 2023

Perjalanan menuju Makkah dan Refleksi Perjuangan Nabi Muhammad

Perjalanan menuju Makkah dan Refleksi Perjuangan Nabi Muhammad
Suasana di Masjid Bir Ali, Madinah tempat mengambil miqat menuju Makkah. (Foto: NOJ/Syaifullah)
Suasana di Masjid Bir Ali, Madinah tempat mengambil miqat menuju Makkah. (Foto: NOJ/Syaifullah)

Madinah, NU Online Jatim

Perjalanan dari Madinah al-Munawwarah menuju Makkah al-Mukarramah untuk keperluan mengambil miqat di Bir Air dan selanjutnya melakukan ibadah umrah bukan perjalanan biasa. Karena kalau hal tersebut direnungkan, maka sebenarnya dapat dijadikan refleksi dan merenungi perjalanan Nabi Muhammad SAW khususnya saat melakukan Fathu Makkah.


Karena peristiwa fathu Makkah atau pembebasan Makkah memiliki kesamaan saat melaksanakan umrah Ramadhan. Karena fathu Makkah lahir dari pelanggaran kaum Quraisy Makkah terhadap kesepakatan dalam perjanjian Hudaibiyah. Salah satu poin yang mereka langgar yaitu yaitu gencatan senjata selama 10 tahun.


Peristiwa bersejarah berkenaan dengan perdamaian besar ini terjadi di bulan Ramadhan, tepatnya pada tahun kedelapan hijriyah. Akan tetapi pada tahun tersebut terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh kubu Quraisy setelah salah satu koalisinya yaitu Kabilah Bani Bakr, diketahui membunuh seseorang dari Kabilah Khuza’ah yang berkoalisi dengan kubu Rasulullah.

 

Kedatangan Utusan Quraish ke Madinah
Setelah Rasulullah mendapat informasi pelanggaran yang dilakukan oleh Bani Bakr terhadap Kabilah Khuza’ah, selang beberapa waktu datang utusan Quraisy datang ke Madinah yaitu Abu Sufyan untuk memperbaharui perjanjian Hudaibiyah dengan kaum muslimin. Akan tetapi kedatangan Abu Sufyan ke Madinah tidak membuahkan hasil kesepakatan dengan kaum muslimin. Akhirnya ia pulang tanpa membuahkan hasil yang diharapkan.


Dalam Shahih al-Sirah an-Nabawiyah, Ibrahim al-Ali menjelaskan bahwa Rasulullah menyiapkan 10.000 pasukan untuk bertolak ke Makkah. Kala itu ditunjuklah Abu Raham al-Ghifari sebagai penguasa sementara yang memimpin Madinah. Setelah kedatangan Abu Sufyan, Rasulullah memulai menyusun berbagai strategi dan meminta pendapat dari para sahabatnya. Kemudian Nabi juga mengeluarkan perintah kepada muslimin untuk bersiap bertolak ke Makkah.


Setelah melakukan diplomasi dengan para pembesar Makkah, Rasulullah memasuki Kota Makkah bersama 10.000 pasukan pada tanggal 20 Ramadan 8 H atau 11 Januari 630 M. Kedatangan Rasulullah ini untuk menagih komitmen perjanjian Hudaibiyah yang telah disepakati. Di tengah jalan, ketika Rasulullah mengabarkan bahwa pasukan akan berangkat ke Makkah, mereka bersorak gembira. Sebab, mereka akan memasuki dan menaklukkan Makkah, sehingga salah satu pemimpin pasukan bernama Sa’d bin Ubadah yang pembawa bendera berkata dengan lantang: Hari ini adalah hari pembalasan dan penghabisan mereka (al-yaum yaum al-malhamah) dengan bersemangat.


Mana kala Rasulullah mendengar hal tersebut, Nabi meminta Ali bin Thalib untuk menegur Sa’d bin Ubadah serta memerintahkan pencopotannya sebagai panglima pembawa bendera yang digantikan oleh anaknya, Qays bin Sa’d bin Ubadah. Rasulullah pun mengganti kalimat yang diserukan oleh Sa’d bin Ubadah dengan kalimat: Hari ini adalah hari kasih sayang (al-yaum yaum al-marhamah), tegas Rasulullah kepada pasukan.


Rasulullah membawa pasukan yang tengah dalam keadaan tegang dan panas, agar tidak mudah terprovokasi. Di sisi lain, melihat banyaknya pasukan yang datang, kaum Quraisy di Kota Makkah merasa gelisah. Kendati terdapat kesepakatan gencatan senjata dengan kaum muslimin selama 10 tahun, tetapi mereka sadar telah melanggar perjanjian tersebut.


Fathu Makkah berbeda dengan perang Badar, sebab kali ini umat Islam mengambil alih Makkah dari kafir Quraisy tanpa adanya perlawanan dan perang. Tidak ada pertumpahan darah di dalamnya. Kawasan sekitar Ka’bah dan Masjidil Haram disucikan dari patung dan berhala sesembahan kafir Quraisy. Ketika menghancurkan berhala yang berada di sekitar Ka’bah dan Masjidil Haram, Rasulullah membaca surat Al-Isra’ ayat 81: 


وَقُلْ جَاۤءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۖاِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا


Artinya: Katakanlah: Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu pasti lenyap.

 

Kemudian Rasulullah menyuruh Bilal bin Rabah, untuk mengumandangkan adzan. Semua tertunduk khusyuk mendengarkannya penuh makna mendengarkan kumandang adzan yang dilantunkan Bilal bin Rabah, bekas seorang budak yang dihinakan oleh kafir Quraish karena keislamannya.


Selanjutnya, Rasulullah memberikan amnesti kepada penduduk Makkah, meski mereka dahulu memusuhi umat Islam. Beliau mengutip surat Yusuf ayat 92 


قَالَ لَا تَثْرِيْبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَۗ يَغْفِرُ اللّٰهُ لَكُمْ ۖوَهُوَ اَرْحَمُ الرّٰحِمِيْنَ


Artinya: Dia (Yusuf) berkata: Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni kamu. Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.

 

Demikianlah Rasulullah mengutip ucapan Nabi Yusuf pada ayat di atas. Pembersihan Ka’bah dan sekitarnya dari berhala dan simbol-simbol kemusyrikan lainnya dilakukan dengan damai. Oleh sebab itu, fathu Makkah menjadi salah satu peristiwa penting yakni perdamaian besar di bulan Ramadan dalam sejarah umat Islam.

 

Sebuah Refleksi

Seperti disebutkan bahwa jarak antara Kota Madinah menuju Makkah adalah sekitar 453 kilo meter. Demikian pula jalan yang dilewati bukanlah seperti kondisi di Tanah Air yang sarat dengan hutan rimbun. Melainkan sepanjang perjalanan adalah padang pasir yang panas dan bebatuan cadas. Sungguh hal ini memberikan pesan bahwa perjalanan tersebut demikian berat dan sarat tantangan.   


Selama perjalanan tersebut, penulis bersama rombongan cukup duduk manis di bus berpendingin dan fasilitas yang cukup menyenangkan. Nyaris tidak ada kesulitan berarti yang dihadapi rombongan selama perjalanan, bahkan cuaca panas hanya dinikmati sesekali saja saat mengambil miqat di Bir Ali. Sisanya? Hanya duduk tenang di dalam bus yang bersuspensi empuk dan sejuk selama perjalanan. Sungguh, sebuah perjalanan yang sebenarnya sarat makna dan dinikmati dengan sangat nyaman.


Dalam suasana seperti ini, tidak terasa sebagian jamaah meneteskan air mata. Merenungi berapa berat perjuangan Nabi Muhammad SAW saat hijrah dari Makkah ke Madinah yang diselingi dengan aneka drama. Demikian pula kondisi nyawa yang terancam saat di Goa Tsur dan diselamatkan laba-laba dan burung dara. Demikian pula perjalanan dari Madinah menuju Makkah khususnya pada peristiwa fathu Makkah kali ini.


Sungguh, kendati perjalanan ini bisa dinikmati dengan fasilitas yang demikian mewah, sejatinya dapat dijadikan refleksi atas betapa berat perjuangan Nabi Muhammad SAW. Tugas umat Islam saat ini boleh jadi ringan bila dibandingkan dengan zaman Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, kondisinya bisa berbeda kalau melihat betapa berat tantangan dakwah saat ini sesuai dengan kondisi zaman yang ada. Dari rihlah mulai Kota Madinah menuju Makkah ini sejatinya umat Islam khususnya mereka yang melaksanakan ibadah umrah di bulan Ramadhan bisa mengambil pelajaran penting. Bukan semata perjalanan biasa tanpa makna. Wallahu a’lam.


Rehat Terbaru