Keislaman

Bolehkah Membatalkan Puasa saat Disuguhi Makanan maupun Minuman?

Senin, 21 Februari 2022 | 10:30 WIB

Bolehkah Membatalkan Puasa saat Disuguhi Makanan maupun Minuman?

Suguhan makanan ketika mengunjungi saudara maupun kolega. (Foto:NOJ/Istimewa)

Puasa merupakan salah satu ritual kerohanian umat manusia sejak dulu kala, baik dari kalangan Yahudi Nasrani dan Islam. Puasa secara etimologi berarti menahan (imsak), sedangkan secara terminologi Islam merupakan upaya penempaan diri dengan cara menahan makan minum serta perbuatan yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Ā 

Dalam ajaran Islam, puasa menjadi bagian penting dari rukun Islam, sehingga banyak ditemukan literatur yang berisi anjuran maupun perintah untuk menjalani puasa pada waktu-waktu tertentu, seperti puasa sunah dan puasa wajib satu bulan penuh di bulan Ramadhan.
Ā 

Melaksanakan ibadah puasa bukan perkara yang mudah, karena godaannya sangat berat, bahkan terkadang seseorang mendapatkan suguhan makanan atau minuman dari orang lain yang tidak mengetahui bahwa ia sedang berpuasa. Apalagi suguhan itu dalam rangka untuk makan bersama pemilik rumah (shahibul bait). Keadaan itu sering dilema, apakah membatalkanĀ  atau tetap melanjutkan puasa sunahnya.
Ā 

Dalam menghadapi keadaan demikian, maka langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
Ā 

1. Apabila melaksanakan puasa wajib, maka ia harus tegas mengatakan bahwa sedang berpuasa wajib;Ā 
Ā 

2. Apabila ia melaksanakan puasa sunah seperti puasa hari Senin atau Kamis dan muncul kekhawatiran menyinggung perasaan orang yang menyuguhi makanan, maka lebih utama membatalkan puasa dan ia sudah mendapatkan pahala puasa yang telah dilakukannya.
Ā 

Namun apabila tidak ada kekhawatiran menyinggung perasaan orang tersebut, maka lebih baik untuk tetap berpuasa dan mengatakan secara halus bahwa ia sedang berpuasa.
Ā 

Berikut hadis terkait bolehnya membatalkan puasa sunah yang diriwayatkan Mahmud bin Ghaylan bersumber dari salah satu putera Umi Hani’:
Ā 

Ų£Ł†Ł‘ŁŽ Ų±ŁŽŲ³ŁŁˆŁ„ŁŽ اللهِ ļ·ŗ ŲÆŁŽŲ®ŁŽŁ„ŁŽ Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁŠŁ’Ł‡Ų§ ŁŁŽŲÆŁŽŲ¹Ų§ ŲØŁŲ“ŁŽŲ±Ų§ŲØŁ ŁŁŽŲ“ŁŽŲ±ŁŲØŁŽŲŒ Ų«ŁŁ…Ł‘ŁŽ Ł†Ų§ŁˆŁŽŁ„ŁŽŁ‡Ų§ ŁŁŽŲ“ŁŽŲ±ŁŲØŁŽŲŖŁ’ŲŒ ŁŁŽŁ‚Ų§Ł„ŁŽŲŖŁ’: يا Ų±ŁŽŲ³ŁŁˆŁ„ŁŽ Ų§Ł„Ł„Ł‡ŁŲŒ أما Ų„Ł†Ł‘ŁŁŠ ŁƒŁŁ†Ł’ŲŖŁ ŲµŲ§Ų¦ŁŁ…ŁŽŲ©Ł‹ŲŒ ŁŁŽŁ‚Ų§Ł„ŁŽ Ų±ŁŽŲ³ŁŁˆŁ„Ł اللهِ ļ·ŗ: Ų§Ł„ŲµŁ‘Ų§Ų¦ŁŁ…Ł Ų§Ł„Ł…ŁŲŖŁŽŲ·ŁŽŁˆŁ‘ŁŲ¹Ł Ų£Ł…ŁŁŠŁ†Ł Ł†ŁŽŁŁ’Ų³ŁŁ‡ŁŲŒ ؄نْ Ų“Ų§Ų”ŁŽ ŲµŲ§Ł…ŁŽŲŒ ŁˆŲ„Ł†Ł’ Ų“Ų§Ų”ŁŽ Ų£ŁŁ’Ų·ŁŽŲ±ŁŽ.
Ā 

Artinya:Ā Rasulullah SAW datang ke rumah Umu Hani’, kemudian nabi diundang untuk jamuan minuman, maka Nabi meminumnya. Kemudian Nabi menawarkan minuman kepadanya (Umu Hani’) dan ia berkenan untuk meminumnya. Selanjutnya, ia berkata kepada Nabi, ā€œYaa Rasulullah sesungguhnya saya orang yang berpuasaā€. Maka Rasulullah SAW menjawab, ā€œOrang yang puasa sunah itu mempercayakan dirinya. Jika berkehendak puasa maka berpuasalah dan jika berkehendak membatalkan maka batalkanlah. (HR. Tirmidzi)
Ā 

Syekh Zainuddin al-Malibari al-Fanani menjelaskan dalam kitab Fath al-Mu’in:
Ā 

ŁŠŁŁ†Ł’ŲÆŁŽŲØŁ Ų§Ł„Ł’Ų£ŁŽŁƒŁ’Ł„Ł فِي ŲµŁŽŁˆŁ’Ł…Ł Ł†ŁŽŁŁ’Ł„Ł ŁˆŁŽŁ„ŁŽŁˆŁ’ Ł…ŁŲ¤ŁŽŁƒŁŽŁ‘ŲÆŁ‹Ų§ Ł„ŁŲ„ŁŲ±Ł’Ų¶ŁŽŲ§Ų”Ł ذِي Ų§Ł„Ų·ŁŽŁ‘Ų¹ŁŽŲ§Ł…Ł ŲØŁŲ£ŁŽŁ†Ł’ Ų“ŁŽŁ‚ŁŽŁ‘ Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁŠŁ’Ł‡Ł Ų„ŁŁ…Ł’Ų³ŁŽŲ§ŁƒŁŁ‡Ł ŁˆŁŽŁ„ŁŽŁˆŁ’ Ų¢Ų®ŁŲ±ŁŽ Ų§Ł„Ł†ŁŁ‘Ł‡ŁŽŲ§Ų±Ł Ł„ŁŁ„Ł’Ų£ŁŽŁ…Ł’Ų±Ł بِالْفِطْرِ ŁˆŁŽŁŠŁŲ«ŁŽŲ§ŲØŁ Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁ‰ Ł…ŁŽŲ§ Ł…ŁŽŲ¶ŁŽŁ‰ ŁˆŁŽŁ‚ŁŽŲ¶ŁŽŁ‰ Ł†ŁŽŲÆŁ’ŲØŁ‹Ų§ ŁŠŁŽŁˆŁ’Ł…Ł‹Ų§ Ł…ŁŽŁƒŁŽŲ§Ł†ŁŽŁ‡Ł ŁŁŽŲ„ŁŁ†Ł’ Ł„ŁŽŁ…Ł’ ŁŠŁŽŲ“ŁŁ‚ŁŁ‘ Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁŠŁ’Ł‡Ł Ų„ŁŁ…Ł’Ų³ŁŽŲ§ŁƒŁŁ‡Ł Ł„ŁŁ…Ł’ ŁŠŁŁ†Ł’ŲÆŁŽŲØŁ Ų§Ł„Ł’Ų„ŁŁŁ’Ų·ŁŽŲ§Ų±Ł ŲØŁŽŁ„Ł Ų§Ł„Ł’Ų„ŁŁ…Ł’Ų³ŁŽŲ§ŁƒŁ Ų£ŁŽŁˆŁ’Ł„ŁŽŁ‰ Ł‚ŁŽŲ§Ł„ŁŽ Ų§Ł„Ł’ŲŗŁŽŲ²ŁŽŲ§Ł„ŁŁŠ: ŁŠŁŁ†Ł’ŲÆŁŽŲØŁ Ų£ŁŽŁ†Ł’ ŁŠŁŽŁ†Ł’ŁˆŁŁŠŁŽ بِفِطْرِهِ Ų„ŁŲÆŁ’Ų®ŁŽŲ§Ł„ŁŽ Ų§Ł„Ų³ŁŁ‘Ų±ŁŁˆŁ’Ų±Ł Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁŠŁ’Ł‡Ł

 

Artinya:Ā Disunahkan membatalkan dengan makan ketika puasa sunah meskipun puasanya sangat dianjurkan dalam rangka melegakan pemberi makanan. Hal itu dilakukan ketika ia merasa sulit untuk tetap melanjutkan puasanya, meskipun telah di penghujung hari. Membatalkan itu adalah perintah dan ia akan mendapatkan pahala puasa yang telah dilakukannya. Ia juga dianjurkan untuk menqadlai di lain hari. Namun apabila ia tidak merasa sulit mempertahankan puasanya, maka tidak dianjurkan membatalkan puasa dan hal itu lebih utama. Imam al-Ghazali menambahkan, saat membatalkan puasanya disunahkan berniat membahagiakan orang yang memberikan makanan.
Ā 

Perlu dicatat kembali bahwa keutamaan membatalkan puasa sunnah di atas dengan catatan bila memang dikhawatirkan dapat menyinggung perasaan tuan rumah (bila tetap berpuasa), dan dia akan mendapatkan pahala puasa yang telah ia lakukan. Jika tidak menyebabkan tersinggung akibat menolak suguhan tersebut, maka disunahkan tidak membatalkan puasanya. WallahuĀ a’lam