Keislaman

Bolehkah Merayakan Hari Kemerdekaan menurut Pandangan Islam?

Ahad, 10 Agustus 2025 | 13:00 WIB

Bolehkah Merayakan Hari Kemerdekaan menurut Pandangan Islam?

Ilustrasi Peringatan 17 Agustus sebagai Hari Kemerdekaan Indonesia. (Foto: NOJ/Wikipedia)

Bagi warga negara Indonesia, peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus menjadi ajang perayaan tahunan. Bahkan, seolah-olah tanggal 17 Agustus menjadi hari raya bagi warga Indonesia. Akan tetapi, di satu sisi warga Indonesia yang beragama Islam juga memiliki hari rayanya sendiri yang telah ditetapkan oleh syariat, yakni hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

 

Walau berbeda latar —yang satu bernuansa religius, yang lain berlandaskan sejarah bangsa, tetapi keduanya sama-sama menjadi ajang syukur, refleksi, dan perayaan bersama. Dan pada dasarnya, Hari Kemerdekaan lebih pada momentum nasional yang dibangun oleh kesepakatan rakyat.

 

Lalu, apakah seorang Muslim boleh memaknai dan merayakan keduanya dengan semangat yang sama? Mari kita bahas secara jernih, dengan melihat titik temu dan titik beda di antara keduanya.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Perlu diketahui, bahwa peringatan hari kemerdekaan tidak hanya sebuah euforia dan peringatan tahunan semata. Ini menjadi momen dimana kita sebagai warga Indonesia mengingat dan mensyukuri nikmat-nikmat yang telah Allah berikan berupa kemerdekaan, dengan tegas Allah Ta'ala berfirman:


وَإِذ تَأَذَّنَ رَبُّكُم لَئِن شَكَرتُم لَأَ زِيدَنَّكُم وَلَئِن كَفَرتُم إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Artinya: Ketika Tuhan memberi izin kepada kalian, seandainya kalian bersyukur maka benar-benar akan saya tambahka nikmat kalian dan apabila kalian kufur sesungguhnya siksaku sangatlah pedih. (QS. Ibrahim [14]: 7)


Tak hanya mensyukuri nikmat kemerdekaan, peringatan 17 Agustus juga menjadi pengingat akan pentingnya jiwa nasionalisme terhadap bangsa dan negara. Hal ini telah diajarkan oleh Rasulullah SAW ketika bersabda kepada Kota Makkah,

ADVERTISEMENT BY OPTAD


وَاللَّهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ وَأَحَبُّ أَرْضِ اللَّهِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلَوْلَا أَنِّي أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ


Artinya: Demi Allah, sesungguhnya kamu (kota Makkah, pent) adalah bumi Allah yang terbaik, dan tanah yang paling dicintai oleh Allah, kalau bukan karena aku diusir, maka aku tidak akan keluar darimu. (HR. Ahmad)

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Memang dalam Islam terdapat perayaan yang memang ditetapkan secara syariat, seperti Idul Fitri dan Idul Adha, sebagaimana hadits Nabi SAW riwayat An-Nasa'i dan Ibnu Hibban berikut,


أَنَّ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: «قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ، وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا، فَقَالَ: قَدْ أَبْدَلَكُمُ اللَّهُ تَعَالَى بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْفِطْرِ، وَيَوْمَ الْأَضْحَى.»


Artinya: Sesungguhnya Anas bin Malik RA. berkata, Nabi Saw datang ke Madinah, dan mereka (penduduknya) memiliki dua hari yang biasa mereka gunakan untuk bermain-main. Maka Rasulullah SAW bersabda: "Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha".

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Dari hadits di atas, terjadi perbedaan pendapat antar ulama. Ada yang melarang perayaan hari selain Idul Fitri dan Idul Adha, setiap hari yang dirayakan selain dua ini adalah bid‘ah. Akan tetapi ulama yang lain membantah pendapat ini, karena hadits ini tidak membatasi hari raya hanya pada dua hari tersebut. Hadits ini hanya menyebutkan keutamaan Idul Fitri dan Idul Adha dibandingkan dengan hari raya masyarakat Madinah pada masa itu, yang mereka warisi dari bangsa Persia, seperti: Hari Nairuz, yaitu awal tahun baru di musim semi, dan Hari Mihrijan, di musim gugur. Sebagaimana dijelaskan oleh an-Nuwairi dalam kitab Nihayaat al-Arab. (Lihat, Fatawa Darul Ifta' al-Misriyah, Maktabah Syamilah, tanpa tahun, juz 10, halaman 160)


Sebagai penutup para ulama Mesir menyimpulkan terkait perayaan selain hari raya yang telah disyariatkan Islam adalah tidak masalah (diperbolehkan) dan bukan termasuk bid'ah yang tercela selama cara dan tujuannya tidak melanggar syariat, seperti keterangan berikut ini:


فَالْخُلَاصَةُ: أنَّ الاحتفالَ بأيَّةِ مُنَاسَبَةٍ طَيِّبَةٍ لا بأسَ به ما دامَ الغرضُ مشروعًا، والأسلوبُ في حدودِ الدين، ولا ضيرَ في تَسْمِيَةِ الاحتفالاتِ بالأعياد، فالعِبْرَةُ بالمسمياتِ لا بالأسماءِ.


Kesimpulannya: Merayakan suatu peringatan atau momen yang baik tidak mengapa, selama tujuannya dibenarkan secara syariat dan caranya tetap dalam batasan-batasan agama. Tidak masalah juga menyebut perayaan itu sebagai 'hari raya' (‘īd), karena yang menjadi tolok ukur adalah hakikat (isi) perayaan tersebut, bukan namanya. (Lihat, Fatawa Darul Ifta' al-Misriyah, Maktabah Syamilah, tanpa tahun, juz 10, halaman 160).


Maka dari itu, perayaan kemerdekaan 17 Agustus dibolehkan dan tidak dihukumi tasyabbuh (menyerupai orang kafir), selama bentuk dan tujuannya tidak menyerupai ritual keagamaan non-Islam. Karena perayaan nasional seperti ini bersifat budaya dan sejarah, bukan agama. Dan tentunya perayaan semacam ini diniatkan sebagai bentuk syukur kepada Allah, serta arus diisi dengan kegiatan positif yang tidak melanggar nilai-nilai syariat.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND