Dalam satu abad terakhir, sains dan teknologi telah menjadi salah satu penggerak dominan perubahan sejarah umat manusia. Cara hidup, bekerja, berkomunikasi, berbelanja bahkan beragama difasilitasi oleh teknologi komunikasi dan informasi. Di sampingnya, ada juga agama yang bermain di wilayah kehidupan manusia: moral, psikologi dan spiritualitas.
Namun belakangan ini tak sedikit yang beranggapan bahwa agama sudah tidak relevan lagi dalam menjawab persoalan manusia. Agama hanya dianggap sebagai peninggalan masa lampau, ketika manusia belum mencapai kematangan rasional. Benarkah demikian?
Melalui buku ini, disajikan kumpulan esai-esai singkat Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla tentang anggapan kontradiksi sains terhadap agama seperti yang terjadi baru-baru ini. Isu mengenai relasi sains dan agama sebenarnya telah lama muncul. Tetapi, pandemi yang menggebrak kita akhir-akhir ini telah membuka lagi luka lama akibat konflik antara tafsir agama tentang musibah atau malapetaka dengan penjelasan sains.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Relasi Sains dan Agama
Maksud dari agama pada konteks ini adalah pengetahuan yang perolehannya bersumber dari wahyu (iman). Berbeda dengan sains diartikan sebagai pengetahuan yang bersumber dari studi empiris atau yang kita kenal dengan istilah metodologi ilmiah. Di beberapa buku populer sering kali kita temukan statement tentang perbedaan sains dan agama
Seorang saintis dituturkan akan sangat gembira ketika hasil penelitiannya dikoreksi oleh koleganya. Ia juga tidak akan menjustifikasi koleganya kafir dan sesat-menyesatkan. Sebaliknya, pengikut agama dituturkan mudah tersulut konflik, perbedaan madzhab atau sekte bisa dikafirkan dan diadili, bahkan perbedaan akidah dapat bemuara pada peperangan. (hlm 110).
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Harus kita akui memang demikian adanya, sejarah telah mencatat bahwa agama selalu saja mengarah kepada peperangan, khususnya dalam sejarah agama semitik (kristiani dan Islam) seperti yang diuturkan dalam buku field of bloods: Religions and the History of Violence. Hal ini yang menimbulkan pertanyaan di pikiran Ulil, “mengapa ajaran Tuhan yang damai bisa berujung seperti ini?”.
Tetapi ada perbedaan mendasar yang mesti dipahami, Ulil memiliki penjelasan tersendiri terkait hal itu. Jika agama dan sains ditinjau secara ontologis atau wujudiah, keduanya masuk dalam wilayah yang sama yaitu bagian dari aktivitas mental manusia, meskipun dasar-dasar legitimasinya berdeda, agama bersumber dari wahyu dan sains observasi dan data-data empiris. (hlm. 110).
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Bukan hanya itu, agama masuk dalam apa yang oleh teolog Lutheran Paul Tillich disebut sebagai the ultimate concern, hal-hal yang sangat mendalam yang memengaruhi psyche, jiwa dan emosi manusia karena menyangkut pertanyaan mendasar dalam hidup. Perbedaan apa saja jika memasuki ranah the ultimate concern akan rawan menimbulkan konflik, karena menyangkut emosi dan sisi terdalam pada diri manusia. (hlm. 111).
Baca Juga
Menilik Pemikiran Keislaman Bung Karno
Sementara watak sains berbeda, ia cenderung rasional dan tidak menyentuh emosi terdalam manusia. Karena itu tidak ada orang yang rela berjihad demi teori gravitasi atau mempertahankan persamaan Einstein, E=mc2. Juga, sains tidak mengandung high stake (pertaruhan tingkat tinggi) khususnya pembahasan setelah kehidupan.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Hal yang perlu juga digarisbawahi dalam buku ini juga adalah, bahwa asumsi tindakan beriman otomatis meninggalkan sains merupakan hal yang keliru, seolah-olah sains dan agama merupakan musuh bebuyutan bagi agama. hal ini dijelaskan Ulil secara sederhana menggunakan sifat Tuhan al-Ilm, pengetahuan. Ia menjelaskan bahwa setiap sesuatu akan memiliki makna dan martabat apabila terdapat al-ilm atau pengetahuan di dalamnya. Sedangkan manusia merupakan makhluk yang diciptakan memiliki kekuatan menerima pengetahuan.
Menurut para ushulliyun (ulama pengkaji filsafat hukum Islam) ada dua jalan dalam memperoleh pengetahuan. Yang pertama jalan dharuri, ilmu yang didapat secara spontan tanpa menalar (istidlal) dan jalan iktisabi, ilmu yang diperoleh melalui usaha penalaran. Dengan pemahaman seperti ini para filsuf muslim tidak pernah mempertentangkan antara ilmu yang berbasis wahyu dan observasi. (hlm 160).
Ketika pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu menyerang, ada yang berteriak kegirangan: sains telah mengalahkan agama. buktinya semua ritus keagamaan tunduk pada ilmu-ilmu sains dan kedokteran. Hal ini menurut Ulil amat keliru, sebab seakan akan tindakan beriman otomatis meninggalkan sains, seolah-olah keduanya musuh bebuyutan. Padahal kenyataanya tidak demikian.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Kepongahan Sains dan Trauma Masa Lalu
Bermula dari diskusi zoom oleh Haidar Bagir sebagai pemateri dan Ulil Abshar Abdalla sebagai tamu, bertajuk agama dan sains. Ia memaparkan, berdasarkan data-data sejarah interaksi Islam dan sains, tidak ada sama sekali fenomena konflik para ahli agama dengan temuan-temuan sains. Namun, muncul audiens yang memperolok-olok agama. Bahwa, kira-kira, pernyataan tidak adanya konflik tersebut merupakan “sopan santun” belaka.
Olok-olokan sainstis terhadap agama sebenarnya sudah tersulut sejak berabad-abad lalu di barat. Tepatnya sejak dominasi gereja terhadap segala aspek negara. Sehingga aliran sains yang berkembang adalah jenis Aristotelian (melibatkan Tuhan). Dan Penganut sains Demokritos (Tidak melibatkan Tuhan) menjadi termaljinalkan. Baru ketika kekuatan gereja runtuh, sains Demokritos mulai menyebar dan menjadi acuan utama dalam metode penelitian saat ini.
Ulil mengistilahkan sains yang radikal dengan Quthbisme. Istilah Quthbisme merujuk pada Sayyid Qutb, seorang ideolog Ikhwanul Muslimin yang mati digantung oleh Presiden Mesir, Jamal Abdul Nasser, pada 1966 karena pandangan-pandangannya yang menghasut umat Islam untuk melawan pemerintah yang dianggapnya kafir dan thagut.
Quthbisme –seperti yang diistilahkan Ulil– merupakan cara pandang terhadap segala sesuatu yang ditandai banyak hal, tetapi dua diantaranya sangat menonjol, pertama kepongahan yang yang terbit sebab seseorang telah “merasa” memegang kebenaran mutlak. Kedua, self–rightheousness, yaitu perasaan merasa paling “saleh” sendiri, sementara orang lain berada dalam “jurang kesesatan” sehingga harus diselamatkan.
Fenomena ini bukan semata-mata merupakan gejala keagamaan, tetapi dapat mengambil dalam bentuk sekuler seperti yang terjadi saat ini. Bahkan Richard Dawkins menyusun buku Outgrowing God yang menganggap orang yang masih percaya Tuhan merupakan orang yang gagal dewasa,
Jika meminjam istilah David Berlinski, cara pandang yang melihat sains merupakan satu satunya penjelas yang tepat terhadap kehidupan sementara yang lain terutama agama, termasuk khurafat serta merupakan sisa-sisa dari masa kanak-kanak manusia merupakan sebuah kepongahan saintifik (scientific boasting).
Menurut Haidar Bagir, metodologi sains empiris masih mempunyai titik kelemahan sebab tidak mampu menjangkau hal-hal selain fenomena empiris. Hal-hal mistik yang sering terjadi, selalu luput dijelaskan oleh sains. jadi, sains bukanlah satu-satunya metodologi terbaik dalam menemukan pengetahuan. Menafikan hal-hal diluar fenomena empiris merupakan sebuah kepongahan besar. Gejala-gejala ini merupakan sebuah turunan dari trauma masa lalu sains demokritos terhadap agama.
Identitas Buku:
Judul buku: Sains Religius, Agama Saintifik
Penulis: Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla
Penerbit: PT Mizan Pustaka
Tebal: 181 halaman
Tahun Terbit: 2020
Peresensi: M. Daviq Nuruzzuhal, mahasantri YPMI Al-Firdaus UIN Walisongo Semarang.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND