Sudah menjadi tradisi, pada setiap penghujung Ramadhan umat Islam berbondong-bondong untuk menunaikan zakat. Banyak cara yang dilakukan umat Islam untuk menunaikan ibadah zakat ini, adakalanya dengan menyerahkan atau mewakilkan zakatnya melalui badan amil zakat resmi, atau dikumpulkan kepada panitia pembagian zakat, bahkan ada yang diserahkan langsung kepada mustahiq (penerima zakat).
Akan tetapi, terdapat beberapa realita yang terjadi di masyarakat umum yang membutuhkan ketegasan hukum fikih, di antaranya terkait pengalokasian zakat fitrah pada beberapa golongan yang berhak menerima zakat. Sebab jika penyaluran atau pemberian zakat ini tidak tepat sasaran sesuai aturan syara', maka dapat berakibat zakat fitrah yang ditunaikan menjadi tidak sah.
Termasuk salah satu isu yang kerap mencuat menjelang akhir bulan Ramadhan adalah polemik mengenai hukum pemberian zakat fitrah kepada tokoh agama, seperti kiai atau ustadz. Kontroversi ini muncul ketika mereka yang secara finansial tergolong mampu akan tetapi tetap diberi zakat fitrah dari masyarakat dengan alasan bahwa tokoh agama termasuk dalam kategori Sabilillah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an bahwa Sabilillah termasuk golongan yang berhak menerima zakat.
Namun, jika ditelaah lebih dalam, mayoritas ulama menafsirkan Sabilillah secara lebih spesifik, yakni merujuk pada para pejuang Muslim yang berperang secara sukarela tanpa menerima imbalan berupa gaji. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Zakaria Al-Anshori dalam kitab Fathul Wahhab:
وَلِسَبِيْلِ اللهِ وَهُوَ غَازٍ مُتَطَوِّعًا بِالْجِهَادِ فَيُعْطَى وَلَوْ غَنِيًّا إعَانَةً لَهُ عَلَى الْغَزْوِ
Artinya: “Dan (zakat) untuk Sabilillah, yaitu orang yang berperang jihad (di jalan Allah SWT) secara sukarela. Maka ia berhak diberikan zakat fitrah walau statusnya kaya. Hal ini bertujuan untuk sebagai bentuk dukungan kepadanya dalam berperang.” (Lihat: Zakaria Al-Anshori, Fath Al-Wahhab, [Beirut: Dar Al-Fikr, 1994] II/34)
Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa kategori Sabilillah dalam zakat, adalah orang-orang yang benar-benar berperang jihad di jalan Allah secara sukarela. Lantas apakah bisa seseorang tokoh, seperti ustadz atau kyai dianggap sebagai orang yang berjihad di jalan Allah layaknya berperang, sedangkan mereka jihadnya melalui pendidikan dengan tujuan mencerdaskan serta membimbing umat.
Senada dengan pendapat di atas, Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Minhajul Qowim juga menjelaskan,
وَ الصِّنْفُ السَّابِعُ: "الغُزَاةُ الذُّكُورُ المُتَطَوِّعُونَ" بِالجِهَادِ بِأَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ رِزْقٌ فِي الفَيْءِ، وَهُمُ المُرَادُ بِـ "سَبِيلِ اللهِ" فِي الآيَةِ، فَيُعْطَى كُلٌّ مِنْهُمْ وَإِنْ كَانَ غَنِيًّا كِفَايَتَهُ وَكِفَايَةَ مَمُونِهِ إِلَى أَنْ يَرْجِعَ مِنْ نَفَقَةٍ وَكِسْوَةٍ ذَهَابًا وَإِيَابًا وَإِقَامَةٍ فِي الثَّغْرِ وَنَحْوِهِ إِلَى الفَتْحِ وَإِنْ طَالَتْ إِقَامَتُهُ، مَعَ فَرَسٍ إِنْ كَانَ يُقَاتِلُ فَارِسًا، وَمَعَ مَا يَحْمِلُهُ فِي سَفَرِهِ إِنْ عَجَزَ عَنِ المَشْيِ أَوْ طَالَ السَّفَرُ، وَمَا يَحْمِلُ زَادَهُ وَمَتَاعَهُ إِنْ لَمْ يُطِقْ حَمْلَهُمَا.
Artinya: "Golongan ketujuh adalah para pejuang laki-laki yang berperang secara sukarela dalam jihad, yaitu mereka yang tidak memiliki gaji dari harta rampasan perang (al-fai’). Mereka inilah yang dimaksud dengan 'fi sabilillah' dalam ayat tersebut. Setiap dari mereka berhak menerima (bagian dari zakat), meskipun ia seorang yang kaya, sejumlah yang cukup untuk kebutuhannya dan kebutuhan orang yang ditanggungnya, hingga ia kembali. Ini mencakup biaya perjalanan, pakaian, baik saat pergi maupun pulang, serta biaya tinggal di perbatasan dan tempat sejenisnya hingga tercapainya kemenangan, meskipun ia harus tinggal dalam waktu yang lama."
Oleh karena itu, para ulama madzab (kecuali Madzab Maliki) melarang pemberian zakat fitrah kepada tokoh agama yang mampu secara finansial. Akan tetapi kebolehan memberikan zakat fitrah kepada tokoh agama (karena dianggap sebagai sabilillah) meskipun kaya, ini hanya sebatas zakat mal bukan zakat fitrah.
Adapun zakat fitrah dalam Mazhab Maliki hanya diperuntukkan kepada fakir miskin saja, tidak yang lain. Sebagaimana ditegaskan Ibnu Rusyd dalam karya monumentalnya yang berjudul Bidayah Al-Mujtahid berikut:
فَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ تُصْرَفُ لِفُقَرَاءِ الْمُسْلِمِينَ
Artinya: “Para ulama (Madzhab Maliki) sepakat bahwa zakat fitrah hanya diberikan pada golongan fakir umat muslim.” (Lihat: Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid, [Kairo: Dar Al-Hadits, 2004] II/44)
Dengan demikian, tidak sah memberikan zakat fitrah kepada tokoh agama semisal kiai atau ustadz yang terbilang mampu secara finansial atas nama Sabilillah. Namun jika memang yang bersangkutan terbilang tidak mampu (fakir atau miskin), maka boleh menerima zakat fitrah atas nama golongan fakir atau miskin bukan atas nama sabilillah. Wallahu A'lam