Oleh: Zidna Faradiba*)
Sebelum kedatangan agama Islam, bangsa Arab telah mempunyai berbagai macam agama, adat istiadat, akhlak, dan peraturan-peraturan hidup. Bangsa Arab menganut agama yang bermacam-macam atau dikenal dengan penyembahan terhadap berhala-berhala atau paganisme. Mereka percaya bahwa menyembah berhala-berhala itu bukan menyembah kepada wujud berhala itu akan tetapi hal tersebut dimaksudkan sebagai perantara untuk menyembah Tuhan. Sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an surat al-Zumar ayat 3.
Namun masyarakat Arab juga memiliki sifat dermawan, pemberani, setia, ramah, sederhana, dan pandai bersyair. Sayang, semua sifat itu menjadi tenggelam, dikarenakan masyarakat Arab pada saat itu tidak mampu menampilkan moralitas yang tinggi yang dipengaruhi oleh keadaan sosial-kultur pada masa mereka saat itu, yaitu kemusyrikan, kekafiran, ketidakadilan, kejahatan, fanatisme kesukuan, dan menghalalkan segala cara demi untuk mencapai tujuannya.
Dari sinilah arti jahiliyah dapat dipahami. Dengan kata lain, masyarakat Arab pra-Islam bukanlah orang-orang bodoh (jahil) dalam arti buta huruf dan tidak mengenal pengetahuan sama sekali atau lawan dari al-ilm, tetapi mereka tidak mengetahui hakikat dan sumber kebenaran, dan tidak mengenal Tuhan yang semestinya mereka sembah.
Sedangkan jika memaknai kata Jahiliyah dalam Al-Quran dengan perspektif semantik. Maka, perlu diketengahkan terlebih dahulu apa itu semantik? kata semantik berasal dari bahasa Yunani, semantikos (berarti), semainein (mengartikan) dari akar kata sema (nomina) yang berarti tanda; atau dari verba samaino yang berarti menandai; berarti. Sebagai istilah teknis, semantik mengandung pengertian studi tentang makna.
Ini artinya, semantik berhubungan dengan simbol-simbol linguistik dengan mengacu kepada apa yang mereka artikan dan apa yang mereka acu. Jadi, semantik merupakan cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti.
Makna Jahiliyah dalam analisis Semantik
1. Makna dasar kata jahiliyah
Kata jahiliyah berasal dari ja-ha-la yang artinya; tolol, bodoh, naik darah. Sinonim dari kata jahala adalah al-khoffah (kekurangan berfikir) atau istikhaffah (meremehkan) fasakha (bodoh/lemah akal) dan masih banyak yang lainnya. Adapun menurut Ibn Faris, kata jahiliyah sendiri berasal dari lawan kata al-ilm yaitu al-khiffah (kurang berpikir) karena sesuatu hal yang tidak memiliki ilmu disebut majhul.
Sedangkan bagi Al-Asfahani makna al-jahl ada tiga. Pertama kosongnya jiwa dari ilmu, kedua meyakini sesuatu yang tidak sesuai kenyataan, ketiga melakukan sesuatu yang tidak salah dengan sadar. Maka bangsa arab pra islam sudah menggunakan kata Jahiliyah, karena keadaan bangsa arab pra islam yang kemudian dikaitkan dengan keadaan masa kedatangan Islam.
Pada masa-masa pra Islam, kata jahl sama sekali tidak mempunyai konotasi religius, jahl semata-mata hanyalah sifat pribadi manusia, hanya saja sifat tersebut sangat khas. Sifat tersebut sesungguhnya merupakan ciri khas Arab pra Islam. Dari data historis dan syair di atas menjelaskan bahwa jahl adalah tidak mengetahui atau lawan dari kata al-‘ilm. Selain itu, jahl diartikan dengan kondisi seseorang yang berdarah panas dan tidak sabar yang cendrung kehilangan kontrol, dan ini merupakan ciri khas orang Arab pra Islam.
Pada periode Makkîyah, al-Qur’an cendrung menggunakan kata jahiliyah untuk arti tidak mengetahui jahil, tidak mengetahui (lawan kata ‘ilm), bodoh, dan tidak berpengetahuan. Sedangkan pada periode Madaniyah menunjukkan arti jahil atau orang yang tidak tahu, seperti terungkap dalam QS. al-Baqarah [2]: 67 dan 273, QS. al-Nisa’ [4]: 17, dan QS. Al-Hujurat [49]: 6. Pada ayat ini menurut Qutb, jahil adalah orang-orang bodoh yang tidak mengerti kekuasaan Allah, serta tidak mengerti tentang adab dan sopan santun. Selain itu digunakan untuk arti tentang sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama atau menggambarkan suatu kondisi masyarakat Arab yang mengabaikan nilai-nilai agama dikarenakan atas dorongan nafsu (QS. Ali Imrân [3]: 54, QS. al-Ahzab [33]: 33, QS. al-Maidah [5]: 50, QS. al-Fath [48]: 26.
Dari uraian di atas, kata jahl sebelum Islam telah ada dengan mengacu kepada syair dan data historis yaitu digunakan dengan makna “tidak mengetahui” atau “lawan dari kata al-‘ilm. Selain itu, jahilîyah juga bermakna suatu kondisi yang dilakukan bangsa Arab sebelum datangnya Islam atau tabiat seseorang seperti orang-orang bodoh yaitu menyembah berhala, emosi, cepat marah, dan melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan ajaran ilahi atas dorongan nafsu.
2. Makna relasional
Pemaknaan kata dalam struktur kalimat dipengaruhi oleh kata yang berada di dekatnya dan keseluruhan sistem di mana kata tersebut berada. Dalam konteks ini, kata jahiliyah berelasi dengan kata Allah, iman, ‘amal al-salih, dan tawbah.
a. Relasional kata Allâh
Ketika berbicara konsep-konsep tertentu yang terdapat dalam al-Qur’an, seseorang tidak bisa meninggalkan dan mengabaikan begitu saja terhadap kata fokus tertinggi yang terdapat dalam al-Qur’an. Kata fokus tertinggi itu adalah Allah. Fakta sejarah membuktikan bahwa Allah telah ada dalam konsepsi orang-orang Arab pra Islam, namun orang-orang Arab jahiliyah cenderung mengabaikan penyembahan terhadap Allah, kecuali mereka berada dalam situasi yang sulit.
Ini artinya, masyarakat Arab sebelum Islam datang bukan berarti mereka bodoh dan tidak tahu sama sekali, mereka sangat pandai sehingga mereka menantang Allah dengan hukum yang mereka buat, yaitu hukum jâhilîyah. Sebagaimana dalam surat al-Ma’idah ayat 50. Jadi, yang dimaksud dengan hukum jâhilîyah dalam ayat di atas adalah hukum yang dibuat manusia, dan hukum itu bertentangan dengan hukum Allah.
b. Relasional kata iman
Iman berasal dari akar kata amana. Makna dasar dari akar kata tersebut adalah al-amn (aman), lawan kata dari al-khawf (takut). Berhubungan dengan kasus jahl, masyarakat arab pra Islam melakukan kejahilan atau melakukan tingkah laku jahiliyah dikarenakan mereka tidak memiliki iman. Mereka bersumpah beriman dengan syarat melihat dengan mata kepala mereka sendiri tentang kesaksian para malaikat bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah dan orang yang telah mati dihidupkan kembali dan segala sesuatu baik berupa al-Qur’an dan kebenaran Nabi dan mukjizatnya telah ditampakkan, namun mereka masih tidak beriman dan menganggap itu adalah sihir.
Hal tersebut disebabkan oleh minimnya keimanan mereka sehingga mudah berpaling dari Allah. Iman dan jahl saling berkaitan, dimana dengan keimanan yang kuat seseorang tidak akan terjerumus kepada kejahilan.
c. Relasional kata ‘amal al-salih
Kalimat ‘amal al-salih terdiri dari dua kata, yaitu ‘amal dan al-salih. Kata ‘amal biasanya menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan dengan sengaja dan dengan tujuan tertentu. Kata ini tidak selalu mengharuskan adanya pekerjaan dalam bentuk nyata. Bahkan niat atau tekad untuk melakukan suatu perbuatan, meskipun belum terlaksana, juga disebut amal. Karena itu, dikenal istilah perbuatan hati (‘amal al-qalb) dan perbuatan anggota tubuh (‘amal al-jawarih).
Dengan demikian, kata amal mencakup segala macam perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan mempunyai tujuan tertentu, meskipun hanya berupa niat atau tekad. Ini mencakup daya fisik, daya pikir, daya kalbu, dan daya hidup manusia. Kata al-salih berasal dari akar kata saluha yang berarti lawan dari rusak atau fasid. Dari sini, ‘amal al-salih dapat mengantarkan seseorang yang jahil kepada kebaikan asalkan ia benar-benar memperbaiki kesalahannya dan tidak mengulanginya.
Dengan kata lain, Allah akan mengampuni dosa orang-orang yang melakukan kesalahan karena ketidaktahuan, kemudian mereka bertaubat dan memperbaiki diri dengan melakukan ‘amal al-salih.
d. Relasional kata tawbah
Kata tawbah berasal dari kata ta’-waw-ba’ yang berarti raja‘a dan anaba (kembali). Kata al-tawbah ini telah diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi tobat. Secara istilah, tobat berarti kembali dari keadaan yang lain. Jika manusia bertobat, artinya ia kembali dari keadaan maksiat kepada Allah.
Jadi, dapat dipahami bahwa taubat memberikan dampak positif kepada orang yang jahil. Jika seseorang melakukan kejahatan karena ketidaktahuannya, Allah menerima taubat orang tersebut dengan syarat ia menyadari dan menyesali perbuatannya serta berjanji sepenuh hati tidak akan mengulanginya. Taubat yang diterima Allah mensyaratkan: (a) menyesali dengan sungguh-sungguh perbuatan yang telah dilakukan; (b) meninggalkan perbuatan tersebut dan melaksanakan ketaatan-ketaatan; dan (c) bertekad dengan kuat untuk tidak mengulanginya.
Dari keseluruhan uraian, dapat disimpulkan bahwa makna "jahiliyyah" dalam konteks Al-Qur'an lebih dari sekedar ketidaktahuan; ia mencakup tindakan dan kondisi yang bertentangan dengan ajaran ilahi, serta penolakan terhadap keimanan yang sejati. Melalui pemahaman dan perbuatan baik, serta taubat yang tulus, seseorang dapat keluar dari kondisi jahiliyyah menuju jalan yang benar sesuai dengan ajaran Islam.
*Mahasiswi IAT UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Terpopuler
1
Innalillahi, KH M Syafi’ Misbah Pengasuh Pesantren Al Hidayah Tanggulangin Sidoarjo Wafat di Makkah
2
Amalan-amalan Sunnah Hari Tasyrik, di Antaranya Makan dan Minum
3
MI Aswaja Besole Tulungagung Juara Favorit Festival Balon Udara
4
Hukum Shalat Makmum di Depan Imam, Sahkah?
5
PCINU Rusia dan Lazawa Darul Hikam Sinergi Adakan Kurban di Moskow-Kazan
6
LAZISNU Nganjuk Tebar Manfaat Kurban pada 1.100 Penerima
Terkini
Lihat Semua