Oleh: M. Fahmi Ashari*
Dalam Al-Qur’an disebutkan mengenai contoh pendelegasian wewenang oleh Nabi Musa kepada Nabi Harun. Sejumlah ahli tafsir berbeda pendapat tentang penyebab Nabi Musa kurang fasih dalam berbicara. Kisah ini terabadikan dalam (Q.S. Al. Qashash [28] : 34)
وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَانًا فَأَرْسِلْهُ مَعِيَ رِدْءًا يُصَدِّقُنِي ۖ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُكَذِّبُونِ
Artinya: Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku. (Q.S. Al. Qashash [28] : 34)
Dalam tafsir Al-Misbah menyebutkan Nabi Musa sama sekali tidak menolak kehormatan yang dianugerahi Allah untuk menyampaikannya kepada Fir’aun. Namun di sisi lain, beliau menyadari dirinya sebagai seorang yang sangat tegas sehingga beliau khawatir jangan sampai amarahnya memuncak sehingga tidak dapat menyampaikan penjelesan sebaik mungkin.
Berbeda dengan Nabi Harun yang dikenal dengan berbudi bahasa yang baik. Oleh karena itu, penjelasan dari Harunlah yang diharapkan oleh Nabi Musa untuk dapat memperjelas dalil-dalil yang disampaikan kepada Fir’aun dan rezimnya. Sehingga melalui penjelasan Nabi Harun mereka dapat mempercayai dan membenarkan Nabi Musa. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an [Jakarta, Lentera Hati: 1426 H], Volume X, halaman, 344-345)
Sedangkan dalam Tafsir Al-Munir dijelaskan Nabi Musa memohon kepada Allah untuk menjadikan Harun sebagai pendamping dan pembantunya yang dapat membenarkan apa yang ia katakan. Karena pada saat kecil Nabi Musa ketika disuruh memilih antara kurma dan bara, ia kemudian memilih bara dan meletakkan di lidahnya yang kemudian membuatnya cedal dan kaku pada lisannya.
Dalam keterangan kitab yang sama sebagian ulama salaf mengenai permintaan Nabi Musa agar mengutus saudaranya Harun, mengatakan tidak ada seorang pun yang mempunyai pemberian yang lebih besar terhadap saudaranya dibandingkan Nabi Musa kepada Nabi Harun.
Nabi Musa memberinya syafaat sampai Allah menjadikannya sebagai nabi dan rasul bersamanya untuk mengadapi fir’aun dan pembesar-pembesarnya. (Syekh Wahbah Az Zuhaili, Tafsir Al-Munir Fii Aqidah Was Syari’ah Wal Manhaj [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], Volume X, halaman 381-382).
Syekh Nawawi Al-Bantani dalam tafsirnya berkata:
“Suruhlah saudaraku bersamaku agar dia dapat membantuku dalam memberikan bukti. Barangkali apa yang dimaksud dengan beriman kepada Fir'aun dan apa yang dimaksud dengan beriman kepada Harun, akan tercapai dengan bahasa yang fasih dalam menyampaikan dalil, jawaban atas keragu-raguan, dan perdebatannya dengan orang kafir. Karena lidah Nabi Musa tidak dapat menyampaikan dengan baik karena penyakit glossitis.” (Muhammad bin Umar al-Nawawi al-Jawi, Marah Labid Li Kasyfi Ma’ani Al-Qur’an Al-Majid, [Beirut: Darul Kitab al-Ilmiyah: 1316 H], Volume 2, halaman 196)
Sementara itu, menurut Imam Abu Abdillah Syamsuddin Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya mengatakan
“Kalau saya tidak punya menteri atau orang yang ditunjuk, maka mereka sulit memahami saya”. (Abu Abdilah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr Al-Qurthubi, Al-Jami’u Li Ahkami Al-Qur’an Wa Al-Mubayyin Lima Tadhammanahu Mina Al-Sunnah Wa Ayi Al Furqan, [Beirut, Mu’assasah Ar-Risalah: 1427 H], Juz 16, halaman 281)
Penafsiran ini dapat diartikan bahwa Nabi Musa membutuhkan orang lain untuk membantu dakwahnya kepada Raja Fir’aun, dengan izin Allah ditunjuklah Nabi Harun sebagai pendamping Nabi Musa sekaligus yang menyampaikan risalah agama kepada Fir’aun.
Hal ini diminta oleh Nabi Musa karena Nabi Harun mempunyai tutur kata yang lebih baik daripada dirinya. Beliau mendelegasikan tanggungjawabnya kepada Nabi Harun karena untuk menyesuaikan dengan mitra dakwah yang dihadapi pada saaat itu yaitu Raja Fir’aun dan pengikutnya yang dikenal sombong dan dzolim.
Oleh karena itu, dalam perspektif manajemen, seorang pemimpin perlu mendelegasikan sebagian tugasnya kepada anggotanya apabila pemimpin tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Hal ini menjadi keharusan bagi pemimpin agar tujuan yang ditentukan dapat tercapai.
Di sisi lain pemimpin juga perlu memperhatikan kemampuan anggotanya dalam menjalankan tugas tersebut, apakah sesuai dengan wewenang yang akan didelegasikan atau tidak. Sehingga ini menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam pendelegasian wewenang, karena pendelegasian wewenang kepada yang bukan ahlinya akan mengakibatkan tidak tercapainya visi dan misi dari suatu kegiatan yang diinginkan, Rasulullah bersabda :
إذا ضُيِّعَتِ الأمانَةُ فانْتَظِرِ السَّاعَةَ قالَ: كيفَ إضاعَتُها يا رَسولَ اللَّهِ؟ قالَ: إذا أُسْنِدَ الأمْرُ إلى غيرِ أهْلِهِ فانْتَظِرِ السَّاعَةَ
Artinya: "Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya, “bagaimana maksud amanat disia-siakan?” Nabi menjawab; "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu." (HR. Bukhari–6015)
Dari penjelasan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa dalam proses pendelegasian wewenang
perlu melihat secara seksama wewenang yang didelegasikan dan pihak yang akan menerima delegasi, sehingga perlu menyesuaikan antara kemampuan penerima delegasi dengan objek. Begitu juga sebaliknya delegator perlu menyadari batas kemampuannya sendiri sehingga tidak memikul beban dan tanggung jawab melebihi kapasitas dirinya.
*Mahasiswa Program Studi Magister Manajemen Dakwah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta