• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 28 April 2024

Keislaman

Memahami Hadits tentang Bid’ah

Memahami Hadits tentang Bid’ah
Tradisi tahlilan di tengah masyarakat bukanlah bid'ah (Foto:NOJ/karomi)
Tradisi tahlilan di tengah masyarakat bukanlah bid'ah (Foto:NOJ/karomi)

Di dalam memahami teks agama, idealnya setiap muslim wajib memahami teks agama secara teoritis, menghubungkan (mengkorelasikan) teks yang satu dengan teks yang lainnya. Cara ini menyebabkan seseorang tidak terjebak pada kesalahan fatal dalam memahami teks tersebut.


Kenyataannya, masih ada seseorang yang pemahamannya hanya berdasar pada satu teks (nash) tertentu dan melupakan teks yang lainnya. Misalnya memahami hadits di bawah ini:


كل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار


Artinya: Setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan masuk neraka.


من احدث في أمرنا هذا ماليس منه فهو رد


Artinya: Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan kami yang bukan bersumber darinya, maka ia akan tertolak. 


Pemahaman yang hanya mencukupkan pada hadits ini di dalam memahami perkembangan ragam tradisi di Nusantara, bisa menjadi fatal. Karena semuanya bisa menjadi bid'ah. Segala yang tidak pernah dilakukan dan ada di masa Nabi Muhammad Saw adalah bid'ah dan sesat serta akan tertolak.


Para ulama sepakat bahwa أمرنا itu adalah في أمر ديننا. Artinya, siapapun yang mengagamakan sesuatu yang bukan agama atau menganggap sesuatu yang bukan ajaran agama Islam, maka itu perbuatan bid'ah.


Tradisi yang berlaku di tengah masyarakat seperti tahlilan, shalawatan, maulid Nabi dan sejenisnya adalah wadah, bukan ajaran agama yang bersifat wajib, sunnah atau dianjurkan dilakukan dan tidak dicontohkan oleh Nabi.

​​​​​​​
Amaliah tersebut sama halnya dengan perintah Allah وشاورهم فى الأمر yang secara eksplisit musyawarah menjadi ajaran Islam. Sementara berkelompok untuk bermusyawarah dan membentuk lembaga permusyawaratan itu bukan ajaran Islam, tapi lembaga ke-dunia-an yang baru ada (bid'ah duniawiyah) yang hanya menjadi sarananya.


Kendati lembaga permusyawaratan itu tidak ada di masa Nabi dan sekarang ada di masa kini, maka jangan katakan bid'ah munkarah, tapi bid'ah duniawiyah. Karena lembaga tersebut bukan ajaran agama dan tidak diyakini sebagai ajaran agama.


Demikian pula tahlilan, maulidan, manaqiban, selametan, itu hanya media atau kulit dari ajaran agama. Sementara bacaan tahlil yaitu kalimat tauhid, shalawat Nabi, membaca Al-Quran, semuanya itu ajaran Islam, karena memang ada perintahnya.


Oleh karena itu, wadah itu tidak dianggap ajaran, tidak bid'ah seperti yang dimaksud dalam hadits di atas tadi. Walaupun tidak ada di masa Nabi, itu berdasar pada kaidah ushul fiqh, yakni عدم الدليل ليس بدليل Maksudnya, tiadanya dalil bukan berarti menjadi dalil.


Dengan demikian, instrumen untuk membaca kalimat tahlil yaitu tahlilan; bershalawat yaitu maulidan; membaca surat Yasin yaitu selametan atau yasinan dan dzikir. Walaupun tak ada di masa Nabi, bukan berarti tidak boleh atau larangan yang harus dijauhi. Benang merahnya adalah tidak setiap yang baru bid'ah, tapi yang dianggap ajaran agama dan baru itu, itu bid'ah. Wallahu a'lam.


Keislaman Terbaru