• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 28 April 2024

Keislaman

Mengapa Nabi Ibrahim Bergelar Khalilullah?

Mengapa Nabi Ibrahim Bergelar Khalilullah?
Nabi Ibrahim bergelar Khalilullah (Foto:NOJ/mauqi')
Nabi Ibrahim bergelar Khalilullah (Foto:NOJ/mauqi')

Nama besar Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidak bisa terlepaskan dari sejarah dan ajaran Islam dan umat Islam. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sosok yang memiliki tempat istimewa di sisi Allah, selain termasuk dari Ulul Azmi minarrusul, lima Rasul yang mempunyai tingkat kesabaran level tertinggi, ia juga dideklarasikan Allah sebagai Khalil, kekasih.


وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا


Artinya: Allah menjadikan Nabi Ibrahim sebagai kekasih. (QS. An-Nisa: 125)


Apa sebetulnya rahasia Nabi Ibrahim ‘alaihissalam hingga dapat mencapai kedudukan yang sangat tinggi sebagai khalilullah (kekasih Allah)? Pakar tafsir Al-Quran fenomenal asal Mesir, Syekh Muhammad Mutawalli As-Sya’rowi menuturkkan jawaban yang sangat memuaskan, yaitu karena Nabi Ibrahim berkali-kali menelan “pil pahit” dari Allah dengan penuh sabar, rido, dan baik sangka (positive thinking).


Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mendapat beberapa perintah dari Allah yang teramat berat (peristiwa pahit) dalam hidupnya namun seluruh titah itu bisa ia selesaikan dengan sempurna.


وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ 


Artinya: Dan ketika Nabi Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa perintah, ia melaksanakannya dengan sempurna… (QS. Al-Baqarah: 124)


Peristiwa pahit pertama yang harus ditelan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah pembakaran hidup-hidup. Sewaktu berdakwah di negerinya, Iraq, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mendapatkan penolakan dan perlawanan yang masif hingga pada puncaknya kaum Nabi Ibrahim menyiapkan kayu bakar bertumpuk-tumpuk dan menyalakan api dengan kobaran yang luar biasa.


Beberapa detik sebelum dilemparkan ke dalam api yang siap melumat tubuhnya, malaikat Jibril datang menawarkan bantuan namun Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menolaknya dengan halus dan tetap memasrahkan hidup dan matinya kepada Allah dengan ucapan zikir yang sangat populer:


حَسْبِيَ اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيل


Artinya: Cukuplah Allah bagiku (untuk segala hal) dan Dialah sebaik-baiknya tempat memasrahkan segalanya. (HR. Bukhari dari Abdullah bin Abbas)


Keajaiban muncul. Api yang menyala dan menganga tak mampu menyentuh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Tidak ada luka bakar sedikit pun dalam tubuhnya.


Peristiwa pahit lain yang harus diterima Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ketika Allah memerintahkannya hijrah ke Mekkah –yang saat itu merupakan- tempat sepi dan tak berpenghuni bersama sang istri yang baru melahirkan, Siti Hajar ‘alaihassalam dan anak bayinya yang bernama Ismail ‘alaihissalam. Sesampai tujuan, tanpa memberi alasan apapun, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam pergi meninggalkan keduanya di lembah padang pasir yang tak ada kehidupan sama sekali tersebut.


Ketika Sang istri bertanya, “Apakah Allah yang memerintahmu meninggalkan kami berdua di sini?” Nabi Ibrahim menjawab, “Ya.” “Baiklah, silahkan pergi Allah tidak akan menyia-nyiakan kami di sini.” Kemudian di balik bukit, Nabi Ibrahim berdoa:


رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ


Artinya:Duhai Tuhanku, aku tinggalkan sebagian keturunanku di lembah yang gersang, tak ada tanaman sedikitpun di dekat rumah-Mu yang mulia. Duhai Allah, semoga mereka selalu mendirikan salat dan jadikan hati sebagian manusia cenderung kepada mereka, berilah mereka rezeki buah-buahan agar mereka bersyukur.”(QS. Ibrahim:37)


Setelah air dan perbekalan habis, Siti Hajar mencari mata air dari bukit Shafa ke bukit Marwah kembali ke bukit Shafa lalu ke Marwah lagi hingga 7 kali, namun tak setetes air pun ia temukan. Tak lama kemudian keajaiban muncul, malaikat mengepakkan sayapnya lalu mata air zam-zam mengalir deras. Kehebatan air suci itu telah dirasakan dan dinikmati manusia berjuta-juta tahun lamanya. Kedua kalinya “peristiwa pahit” berbuah keajaiban.


“Peristiwa pahit” ketiga yang harus diterima Nabi Ibrahim‘alaihissalam, ia harus kehilangan anak semata wayangnya yang selama berpuluh-puluh tahun ia nantikan. Melalui mimpi, Allah subhanahu wata’aala menitahkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menyembelih Ismail.


فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ


Artinya: Ketika Ismail mencapai usia yang sanggup membantu ayahnya, Nabi Ibrahim berkata, “Nak, aku bermimpi menyembelihmu. Bagaimana pendapatmu?” Ismail menjawab, “Ayah, lakukan apa yang diperintahkan Allah. Insya Allah aku termasuk orang yang sabar. (QS. As-Saffat: 102)


Mimpi seorang Nabi adalah wahyu dan kebenaran, maka perintah yang menyayat hati seorang ayah mana pun itu harus dilaksanakan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Pisau yang telah diasah dan begitu tajam siap memisahkan kepala Nabi Ismail dari tubuhnya. Tatkala mereka berdua pasrah dan benar-benar menyerahkan segala hidup – mati kepada Allah; seorang ayah akan kehilangan anaknya dan sang anak tak akan lagi berjumpa dengan ayahnya, Allah mengutus malaikat untuk menebus Nabi Ismail dengan domba besar.


وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ 


Artinya: Dan Kami tebus Ismail dengan sesembelihan yang besar. (QS. As-Saffat: 107)


Mantan Grand Syekh Al-Azhar dan Mufti Mesir, Alm. Syekh Muhammad Sayyid Thantawi dalam tafsirnya Al-Wasith menyertakan pendapat sebagian ulama tentang ayat tersebut, bahwa sesembelihan yang dimaksud yaitu domba bertanduk, berwarna putih dan berukuran besar. Keajaiban ketiga dalam kehidupan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam terjadi setelah menelan “pil” yang sangat pahit dalam kehidupannya. Nabi Ismail ‘alaihissalam tetap hidup dan tidak jadi disembelih setelah digantikan dengan seekor domba.


Dalam kehidupan ini, tentu kita pernah merasakan dan melalui takdir yang tidak memihak kepada kita. Memang sangat pahit, bahkan lebih pahit dari obat pil manapun, seperti di masa pandemi virus Covid 19. Sebagian dari kita ada yang kehilangan orang-orang tersayang. Sebagian lain harus rela kehilangan pekerjaan dan bisnis. Sebagian lainnya juga harus legowo tidak jadi pergi haji dan hanya bisa menyaksikan video pelaksanaan haji live/secara langsung dari tanah suci. Itu semua merupakan pil pahit yang akan menjadi ajaib, apabila kita bersikap seperti Nabi Ibrahim dan keluarganya; bersabar, rido menerima takdir dan selalu berbaik sangka kepada Allah. Siapa yang berbaik sangka kepada Allah, Allah akan berikan takdir-takdir terbaik dalam kehidupannya. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman:


أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ


Artinya: Aku tergantung prasangka hamba-Ku. Jika ia berbaik sangka kepada-Ku, maka baginya takdir baik. Apabila ia berburuk sangka kepada-Ku, maka baginya takdir yang buruk. (HR. Ahmad dari Abu Hurairah r.a)


Mari terus belajar bersabar, rido, dan berbaik sangka kepada Allah atas apapun takdir yang digariskan untuk kita. Semoga pil pahit yang kita telan menjadi ajaib sehingga dapat merubah masa depan kita menjadi masa depan gemilang, cerah, dan membahagiakan. Keajaiban-keajaiban akan bermunculan, jika kita mampu menelan pil pahit dalam kehidupan ini. Semoga dengan sabar, rido dan baik sangka kepada Allah, kita menjadi hamba-hamba yang dicintai dan menjadi kekasih Allah sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.


Referensi:
[1] Khalid Shalah, Al-Qashas Al-Qurani (Damaskus: Darul Qalam, 1998) p.375. [2] Muhammad Mutawalli Sya’rowi, Tafsir AsSya’rowi  (Kairo: Akhbar al-Yaum, 1997) v.05, p. 2666. [3] Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari (Kairo: Dar Thuq An-Najah, 1422 H) v.03, p.39. [4] Abdul Karim Zaidan, Al-Mustafad min Qashasil Quran (Beirut: Muassasah Risalah, 1998) v.01, p. 221. [5] Muhammad Sayyid Thantawi, Tafsir Al-Wasith (Kairo: Darun Nahdloh, 1998) v.12, p.102. [6] Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad (Beirut: Muassasah Risalah, 2001) v.15, p.36.

  
 


Keislaman Terbaru