• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 7 Desember 2024

Keislaman

Perbedaan Zakat dalam Islam dan Agama Lainnya Menurut Yusuf Qardhawy

Perbedaan Zakat dalam Islam dan Agama Lainnya Menurut Yusuf Qardhawy
Ilustrasi zakat. (Foto: NOJ/NU Online)
Ilustrasi zakat. (Foto: NOJ/NU Online)

Perhatian Islam terhadap penanggulangan kemiskinan tidak dapat dibandingkan dengan agama samawi dan aturan ciptaan manusia manapun, baik dari segi pengarahan maupun dari segi pengaturan dan penerapan.

 

Memberi makan orang miskin yang juga meliputi memberi sandang, papan dan kebutuhan pokok lainnya merupakan realisasi dari keimananan seseorang. Al-Quran tidak hanya mengimbau untuk memperhatikan dan memberi makan orang miskin, dan mengancam bila mereka dibiarkan terlunta-lunta, tetapi lebih dari itu mendorong setiap orang mukmin untuk memperhatikan orang-orang miskin dan menjatuhkan hukuman kafir kepada orang-orang yang tidak mengerjakan kewajiban itu serta pantas menerima hukuman Allah di akhirat.

 

Umat Muslim yang mampu diwajibkan berzakat sebagai upaya mensucikan harta dan menolong orang-orang yang berhak menerimanya. Dalam praktiknya, zakat berfungsi sebagai alat redistribusi kekayaan dari mereka yang berkecukupan kepada yang kurang beruntung di masyarakat.

 

Pengertian Zakat

Zakat dari segi etimologi memiliki beberapa arti, antara lain adalah "pengembangan". Harta yang diserahkan zakatnya, memberi berkah terhadap sisa harta sehingga secara kualitatif lebih bernilai guna meskipun secara kuantitatif berkurang.

 

Dan juga berarti "penyucian" dengan pengertian harta yang telah dikeluarkan zakatnya menjadikan sisanya suci dari hak orang lain yang oleh Al-Qur'an dilarang memakainya. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 188:

 

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ۝١٨٨

 

Artinya: "Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui."

 

Dalam terminologi fikih, secara umum zakat didefinisikan sebagai bagian tertentu dari harta kekayaan yang diwajibkan Allah untuk sejumlah orang yang berhak menerimanya

 

Beberapa pengertian di atas terkandung makna bahwa zakat memiliki dua dimensi yaitu dimensi ibadah yang dilaksanakan dengan perantara harta benda dalam rangka mematuhi perintah Allah SWT dan mengharap pahala dari-Nya, dan dimensi sosial yang dilaksanakan atas dasar kemanusiaan.

 

Sejarah Awal Zakat

Pada awal kelahiran Islam di Makkah, kewajiban zakat senantiasa disampaikan Allah SWT dengan ungkapan anfiqu fi sabilillah atau berinfaklah kamu di jalan Allah SWT. Dan saat itu belum ditentukan jenis-jenis harta kekayaan yang wajib diinfakkan, demikian juga nisab dan persentase yang harus diserahkan untuk kepentingan fi sabilillah.

 

Dalam hal ini, Allah tidak menentukan batasan infak, dan memberi kebebasan kepada mereka untuk menentukan apa saja dan berapa saja yang mereka infakkan. Yang intinya sesuatu yang diinfakkan itu melebihi dari kebutuhan, seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 219:

 

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ ەۗ قُلِ الْعَفْوَۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَ

 

Artinya: "Mereka (juga) bertanya kepadamu (tentang) apa yang mereka infakkan. Katakanlah, “(Yang diinfakkan adalah) kelebihan (dari apa yang diperlukan).” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu berpikir."

 

Berdasarkan sejumlah hadits dan atsar para shahabat, diketahui bahwa urutan rukun Islam setelah shalat lima waktu (setelah Isra' dan Mi'raj) adalah puasa (diwajibkan pada tahun 2 H) yang bersamaan dengan zakat fitrah. 

 

Baru kemudian perintah diwajibkannya zakat kekayaan. Namun demikian Yusuf Al-Qaradhawy menegaskan bahwa zakat adalah rukun Islam ketiga berdasarkan banyak hadits shahih, misalnya hadits peristiwa yang diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khatab,

 

عن عبد الله بن عمر بن الخطاب رضي الله عنهما قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إله إلا الله ، وأن محمدا عبده ورسوله ، وإقام الصلاة ، وإيتاء الزكاة ، وحج البيت ، وصوم رمضان ، رواه البخاري ومسلم .

 

Artinya: "Aku mendengar dari Nabi SAW: beliau mengucapkan bahwa Islam dibangun atas lima dasar (rukun Islam) yakni, syahadat (bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah RasulNya), mendirikan shalat, membayar zakat, pergi haji ke Baitullah, dan berpuasa pada bulan Ramadhan." (Bukhari Muslim)

 

Pada tahun kedua hijriyah ini, Allah memerintahkan kewajiban zakat dengan menggunakan ungkapan atu al-zakat yaitu tunaikanlah zakat. Seiring dengan perintah itu, Nabi SAW memberi penjelasan mengenai ketentuan zakat, seperti jenis zakat, kadar nisab, dan persentesanya. Jadi pensyariatan zakat di Madinah merupakan pembaruan terhadap perintah zakat yang diturunkan di Mekkah dengan ungkapan infak.

 

Perbedaan Zakat dalam Islam dan Agama Lainnya

Berdasarkan pembahasan yang sudah dipaparkan dapat dimengerti bahwa zakat adalah asasi sekali dalam Islam, dan dapat dikatakan bahwa orang yang mengingkari zakat itu wajib adalah kafir dan sudah keluar dari Islam (murtad). 

 

Adapun beberapa perbedaan mendasar antara zakat dalam Islam dengan zakat dalam agama-agama lain menurut pengamatan Yusuf Al-Qaradhawy sebagai berikut:

 

1. Zakat dalam Islam bukan sekedar suatu kebajikan yang tidak mengikat, tapi merupakan salah satu fondamen Islam yang utama dan mutlak harus dilaksanakan. 

 

2. Zakat dalam Islam adalah hak fakir miskin yang tersimpan dalam kekayaan orang kaya. Hak itu ditetapkan oleh pemilik kekayaan yang sebenarnya, yaitu Allah SWT. 

 

3. Zakat merupakan "kewajiban yang sudah ditentukan" yang oleh agama sudah ditetapkan nisab, besar, batas-batas, syarat-syarat waktu dan cara pembayarannya.

 

4. Kewajiban ini tidak diserahkan saja kepada kesediaan manusia, tetapi harus dipikul tanggungjawab memungutnya dan mendistribusikannya oleh pemerintah. 

 

5. Negara berwenang menghukum siapa saja yang tidak membayar kewajibannya, baik berupa denda, dan dapat dinyatakan perang atau dibunuh. 

 

6. Bila negara lalai menjalankan atau masyarakat segan melakukannya, maka bagaimanapun zakat bagi seorang Muslim adalah ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah serta membersihkan diri dan kekayaannya. 

 

7. Penggunaan zakat tidak diserahkan kepada penguasa atau pemuka agama (seperti dalam agama Yahudi), tetapi harus dikeluarkan sesuai dengan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan Al Quran. Pengalaman menunjukan bahwa yang terpenting bukanlah memungutnya tetapi adalah masalah pendistribusiannya. 

 

8. Zakat bukan sekedar bantuan sewaktu-waktu kepada orang miskin untuk meringankan penderitaannya, tapi bertujuan untuk menaggulangi kemiskinan, agar orang miskin menjadi berkecukupan selama-lamanya, mencari pangkal penyebab kemiskinan itu dan mengusahakan agar orang miskin itu mampu memperbaiki sendiri kehidupan mereka. 

 

9. Berdasarkan sasaran-sasaran pengeluaran yang ditegaskan Quran dan Sunnah, zakat juga mencakup tujuan spiritual, moral. sosial dan politik, dimana zakat dikeluarkan buat orang-orang mualaf, budak-budak, orang yang berhutang, dan buat perjuangan, dan dengan demikian lebih luas dan lebih jauh jangkauannya daripada zakat dalam agama-agama lain.


Keislaman Terbaru