• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Rabu, 1 Mei 2024

Keislaman

Apakah Panitia Zakat di Masjid Tergolong Amil? Ini Penjelasannya

Apakah Panitia Zakat di Masjid Tergolong Amil? Ini Penjelasannya
Ilustrasi zakat fitrah (Foto:NOJ/islamiccenterofbothell)
Ilustrasi zakat fitrah (Foto:NOJ/islamiccenterofbothell)

Oleh: Rufaith Balya*


Ibadah zakat merupakan salah satu dari rukun Islam, dan merupakan penyempurna ibadah puasa kita di bulan Ramadhan. Dalam zakat sendiri ada istilah Muzakki (orang yang mengeluarkan zakat), Mustahiq (pihak yang menerima zakat), dan amil.


Di zaman sekarang, banyak sekali pihak-pihak baik di lingkup sekolah, perkantoran, maupun di masjid-masjid desa yang membuat kepanitian zakat. Tujuannya sebagai wadah pengumpulan zakat warga sekitar yang nanti akan diserahkan kepada para mustahiq. Dan banyak dari mereka yang menggolongkan kepanitian ini sebagai amil zakat, sehingga mereka berhak mengambil sebagian zakat yang sudah diserahkan oleh masyarakat. Lantas bagaimana pandangan syara' terkait problematika ini?


Menurut Ibnu Qosim Al-Ghazi amil adalah orang yang ditunjuk oleh kepala negara (imam) untuk mengambil dan menyalirkan zakat kepada para mustahiq (pihak yang berhak menerima).


والعَامِلُ مَنِ اسْتَعْمَلَهُ الإِمَامُ عَلى أخْذِ الصَّدَقَاتِ وَدَفْعِها لِمُسْتَحِقِّيْها


Artinya: Amil adalah orang yang ditunjuk imam (mendapatkan legalitas dari pemerintah) untuk memungut zakat dan mendistribusikan kepada pihak-pihak yang berhak atas zakat tersebut.


Dalam referensi lain seperti Syarh Al-Yaqut Al-Nafis 299 juga dijelaskan terkait amil zakat ini:


والعَامِلِيْنَ علَيْها) وَلَا يُعَيَّنُوْنَ إلَّا مِنْ جِهَّةِ الدَّولَةِ مِثْلُ الكَاتِبِ والحَاسِبِ والكَيَّالِ وغَيرِهِم فَيُعْطَى لَهُ أُجْرَةٌ أمَّا لو عُيِّنَ العامِلُ مِنْ قِبَلِ مَجْمُوعَةٍ مِنَ المُزَكِّيِيْنَ لا يُقَالُ عامِلٌ عَلَيْها


Artinya: Amil zakat tidak dibentuk kecuali dari pemerintah. Seperti sekretaris, tukang hitung, penimbang dll. Dan mereka semua digaji. Amil swasta yang dibentuk oleh kesepakatan masyarakat, tidak bisa dikategorikan sebagai amil yang berhak menerima zakat.


Sedangkan menurut Al-Qodhi Abdul Haq bin Ghalib Al-Andalusi Al-Maliki (481-543 H/1088-1147 M) dalam tafsirnya, Al-Muharrar Al-Wajiz, dijelaskan sebagai berikut:


وأمَّا العَامِلُ فَهُوَ الرَّجُلُ الّذِي يَسْتَنِيبُهُ الإمامُ في السَّعيِ في جَمْعِ الصَّدَقاتِ وكُلُّ مَنْ يَصْرِفُ مِنْ عَوْنٍ لا يُسْتَغْنَى عَنْهُ فَهْوَ مِنَ العَامِلِيْنَ


Artinya: Adapun amil adalah orang yang diangkat oleh imam untuk menjadi wakilnya dalam urusan memgumpulkan zakat. Setiap orang yang membantu amil yang mesti dibutuhkan maka ia termasuk amil.
 

Dari pengertian amil yang dikemukakan oleh para ulama di atas pada dasarnya adalah saling melengkapi. Maka dari itu,  dapat disimpulkan bahwa pengertian amil adalah orang yang diangkat oleh pemimpin (imam) untuk memungut, mengumpulkan, dan mendistribusikan zakat kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya. Jadi amil bisa dikatakan sebagai kepanjangan tangan dari imam dalam melaksanakan tugas yang terkait dengan zakat.


Imam Nawawi juga menjelaskan permasalah amil dalam kitabnya Al-Majmu' Syarh Muhadzab​​​​​​​


(الرَّابِعَةُ) فِي بَيَانِ الْأَفْضَلِ قَالَ أَصْحَابُنَا تَفْرِيقُهُ بِنَفْسِهِ أَفْضَلُ مِنْ التَّوْكِيلِ بِلَا خِلَافٍ لِأَنَّهُ عَلَى ثِقَةٍ مِنْ تَفْرِيقِهِ بِخِلَافِ الْوَكِيلِ وَعَلَى تَقْدِيرِ خِيَانَةِ الْوَكِيلِ لَا يَسْقُطُ الْفَرْضُ عَنْ الْمَالِكِ لِأَنَّ يَدَهُ كَيَدِهِ فَمَا لَمْ يَصِلْ الْمَالُ إلَى الْمُسْتَحِقِّينَ لَا تَبْرَأُ ذِمَّةُ الْمَالِكِ بِخِلَافِ دَفْعِهَا إلَى الْإِمَامِ فَإِنَّهُ بِمُجَرَّدِ قَبْضِهِ تَسْقُطُ الزَّكَاةُ عَنْ الْمَالِكِ قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَغَيْرُهُ وَكَذَا الدَّفْعُ إلَى الْإِمَامِ أَفْضَلُ مِنْ التَّوْكِيلِ لِمَا ذَكَرْنَاهُ


Artinya: Bahwa para ashabnya Imam Syafi'i berpendapat, bahwa menyerahkan zakat kepada mustahiq (pihak yang berhak menerima zakat) secara langsung itu lebih utama daripada mewakilkan kepad orang lain (Wakilu Al-Zakat) atau bisa disebut panitia zakat yang bukan amil dari pemerintah, dan pendalat ini tanpa adanya perkhilafan. Karena diri kita sendiri lebih terpercaya daripada diserahkan kepada wakil. Dan ketika wakil itu berkhianat (tidak menyerahkan zakat ke mustahiq), maka tidak gugur kewajiban orang yang berzakat dengan kata lain orang tersebut dihukumi sebagai orang yang belum membayar zakat. Berbeda dengan zakat yang kita salurkan kepada amil zakat maka gugurlah zakat kita. Imam Mawardi berkata, bahwasannya zakat yang kita serahkan pada imam atau disini amil itu lebih utama daripada kita wakilkan (diserahkan pada wakilu az-zakat).


Di samping itu juga ditegaskan dalam hasil Munas NU tahun 2017 bahwa panitia zakat yang dibentuk secara swakarsa oleh masyarakat, tidak termasuk amil yang berhak menerima bagian zakat. Hal ini karena mereka tidak diangkat oleh pihak yang berwenang yang menjadi kepanjangan tangan kepala negara dalam urusan zakat. 


​​​​​​​Lain halnya jika pembentukan tersebut sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku di mana minimal dicatatkan ke KUA untuk amil perseorangan atau amil kumpulan perseorangan. Hal ini berdasarkan Kitab Hasyiyah at-Tarmasi (Muhammad Mahfudl Termas, Hasyiyah at-Tarmasi, Jeddah-Dar al-Minhaj, cet ke-1, 1423 H/2011 M, juz, V, h. 404).


Keislaman Terbaru