• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 27 April 2024

Metropolis

Cerita Nyantri Ning Uswah Pengasuh Pesantren Al-Azhar Mojokerto

Cerita Nyantri Ning Uswah Pengasuh Pesantren Al-Azhar Mojokerto
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Ning Uswah Hasanah. (Foto: NOJ/Boy Ardiansyah)
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Ning Uswah Hasanah. (Foto: NOJ/Boy Ardiansyah)

Mojokerto, NU Online Jatim

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Ning Uswah Hasanah lahir dari pasangan Mas Ahmad Cholil Said dan Saidah. Ning Uswah mulai nyantri tahun 1996. Ia tidak pernah dipondokkan di luar kota, sebab Buya Ning Uswah dulu berkeyakinan bahwa Sidoresmo Surabaya adalah lautan ilmu. Selain berguru langsung kepada Buya, Ning Uswah juga dikirim ke beberapa pesantren di desa tempat kelahirannya Sidoresmo, yakni di Pesantren Salaf An-Najiah dan PPTQ Raudlatu Hubbil Qur’an.


Selama nyantri, Ning Uswah menjadikan Allah Yarham Ibu Nyai Hj Mas Fatimah Muhajir Basyaiban. Menurutnya, Bu Nyai Mas Tim sosok yang alimah, selalu tampak cantik, rapi, dan wangi.


“Inilah yang mendasari beliau mencintai santri-santrinya jika tampak rapi dan menjaga kebersihan. Selalu perhatian pada para santri, kalau menjelaskan ngaji kitab sangat mudah dipahami, disertai dengan guyonan-guyonan sehingga santri betah ngaji dengan beliau,” katanya kepada NU Online Jatim, Rabu (27/12/2023).


Dijelaskan, Bu Nyai Mas Tim ngaji dengan gaya suara yang khas nyaring meliuk-liuk. Pesannya yang selalu teringat adalah tirakat terbaik bukan wirid, bukan puasa atau shalat yang panjang. Tirakat terbaik adalah tidak membicarakan keburukan orang lain. Pesantren yang mengajarkan Ning Uswah ini ilmu agama sebagai bekal hidup selama-lamanya, dan teman-teman santri yang luar biasa saling support, susah senang bareng, pesantren yang mengedepankan adab.


Ning Uswah kemudian melanjutkan ilmunya dengan nyantri di PPTQ Raudlatu Hubbil Qur’an (RHQ) Surabaya, asuhan Bu Nyai Hj Mas Farochah Dimyati. “Pesantren sebelumnya fokus pada kajian kitab turots. Sedangkan pesantren PPTQ RHQ fokus pada tahfidz Al-Qur’an,” ujarnya.


Diceritakan, Nyai Hj Mas Farocha punya kebiasaan unik dalam menyimak hafalan santri-santrinya, ketika santri setoran hafalan, Bu Nyai Hj Mas Farocha memutar kaset lagu gambus dengan volume yang cukup tinggi, tentu saja para sebagai santri kelimpungan, terutama yang memiliki daya konsentrasi rendah seperti Ning Uswah. Akan tetapi memang hal tersebut bagian dari gemblengan Nyai Hj Mas Farocha terhadap santri-santrinya.


“Dengan begitu sebenarnya beliau memiliki maksud agar para santri terbiasa menghafalkan Qur’an tidak hanya menunggu waktu sepi, tapi juga di waktu ramai. Tidak heran meskipun beliau berada di tengah pasar yang berisik atau di tengah acara kondangan dengan musik keras sekalipun, beliau tetap tidak berhenti lisannya dalam ngaji,” kisahnya.


Nyai Hj Mas Farocha bisa menyimak tandem 3 sampai 4 santri setoran barsama. Bahkan di tengah-tengah berbicara atau telfon dengan seseorang bisa mengingatkan santri yang salah setoran hafalannya, meskipun tampak santai tapi memiliki daya konsentrasi yang luar biasa tinggi. Nyai Hj Mas Farocha tegas namun penuh kasih sayang. Sosok bu nyai yang modern, dimana pernah mengajak santri-santrinya menonton film ayat-ayat cinta.


“Beliau bisa menyetir mobil sendiri, santri-santri juga dibolehkan membaca buku-buku selain kitab atau buku pelajaran. Asalkan bukan novel percintaan, karena bisa melenakan kami yang masih butuh banyak waktu untuk merasakan ‘sakitnya’ mencari ilmu dan menghafal Al-Qur’an,” ujarnya.


Ning Uswah lantas menceritakan pengalaman unik lainnya, ia dulu suka membaca komik ketika zaman masih MTs dan MA. Ada persewaan komik dengan harga 500-1000 rupiah. Ning Uswah mengaku kesulitan untuk leluasa membaca komik karena komik termasuk salah satu ‘barang haram’ di pesantren. Maka komik-komik itu disembunyikan agar tidak ketahuan pengurus dan bu nyai.


Ia mengaku, jika tidak nyantri di PPTQ RHQ dirinya tidak akan pernah tahu bahwa kiainya, KH Mas Mahmud adalah penganut tasawuf yang memiliki semacam mihrab yang waktunya dihabiskan untuk berdzikir dan mengkaji kitab di dalam mihrab.


Selebihnya adalah untuk mengajar para santri, KH Mas Mahmud tidak pernah membatasi gerak bu nyai dalam berdakwah di luar. KH Mas Mahmud juga sosok yang wira’i, tidak menatap perempuan. Meskipun bu nyai aktif di luar, tidak membuat KH Mas Mahmud merasa terintimidasi dengan tugas-tugas publik perempuan.


“Kiai dan bu nyai kami adalah role model pernikahan monogami. Setelah bu nyai kami wafat, kiai kami memilih untuk beruzlah dan tidak menikah lagi. Kiranya lingkungan pesantren inilah yang berhasil mengubah pola pikir saya hingga hari ini,” tandasnya. 


Metropolis Terbaru