Surabaya, NU Online Jatim
Wakil Ketua Umum Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam (IKA PMII) Jawa Timur, Moh Syaeful Bahar, menekankan pentingnya semangat perubahan dan keberpihakan terhadap rakyat. Menurutnya, spirit ini perlu digaungkan pada momentum Hari Lahir (Harlah) ke-65 PMII.
“Kader PMII hendaknya kembali pada nilai-nilai perjuangan yang diwariskan oleh para tokoh pendahulu,” ujarnya dalam Jurnal Siang yang disiarkan di kanal Youtube TV9 Nusantara, Kamis (17/04/2025).
Ia menyebutkan, melawan otoritarianisme di era Orde Baru dulu dianggap sebagai ibadah. Pandangan ini, menurutnya, menjadi kekhasan PMII yang sulit ditemukan dalam organisasi mahasiswa lainnya. Ia melanjutkan, PMII tidak hanya harus mampu beradaptasi, tetapi juga terus memperkuat pola kaderisasi yang transformatif dan kritis.
“Karena di PMII kita dilatih untuk berpikir kritis. Kita tidak hanya sekadar diberi alternatif dogmatis sebagaimana kita dulu di pesantren, tapi di PMII kita dibiarkan bereksplorasi tetapi tetap dengan doktrin akademik ala pesantren,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa PMII memiliki tanggung jawab besar, tidak hanya untuk merawat organisasi, tetapi juga menjaga warisan intelektual dan moral Nahdlatul Ulama (NU). Ia pun menyampaikan pesan khusus bagi para kader yang saat ini memimpin PMII. Ia menyoroti pentingnya menjaga jarak dari kekuasaan dan tidak terjebak dalam euforia politik praktis.
“Saya berpesan kepada sahabat-sahabat yang sedang menjabat di PMII. Tolong jangan semua tertarik untuk menjadi bagian dari kekuasaan. Harus ada sebagian sahabat-sahabat ini mengambil pilihan seperti saya ini, menjadi akademisi,” tegasnya.
Dirinya menyampaikan bahwa semangat oposisi kritis yang dahulu melekat pada PMII harus dijaga. Namun, di sisi lain juga perlu diterjemahkan ulang dalam konteks masa kini agar tidak kehilangan arah gerakan.
“Saya kira, konteks kritis transformatif ini silakan diterjemahkan ulang sehingga teman-teman punya penilaian terhadap kekuasaan, menjaga jarak dengan kekuasaan, tetapi juga bisa menjadi bagian dari kekuasaan dengan lebih baik,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menilai bahwa pendekatan kaderisasi PMII tidak bisa disamaratakan, mengingat latar belakang dan kesibukan mahasiswa sangat beragam. Ia mencontohkan, mahasiswa kedokteran tentu memiliki keterbatasan waktu yang berbeda dibandingkan mahasiswa ilmu sosial atau filsafat, sehingga model pendekatan dalam proses kaderisasi harus lebih fleksibel dan adaptif terhadap konteks mereka masing-masing.
“PMII harus muncul di beberapa tempat seperti itu dengan model pendekatan yang berbeda. Biar anak FISIP dengan bukunya Das Kapital, biar anak filsafat dengan buku-bukunya Karl Marx. Tapi, harus ada beberapa tempat yang berbeda untuk mereka,” pungkasnya.
Penulis: Diky Kurniawan Arief