• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 20 April 2024

Opini

Antara Pesantren dan Pendidikan Nahdlatul Ulama

Antara Pesantren dan Pendidikan Nahdlatul Ulama
Sejumlah santri bersiap mengikuti kajian kitab kuning. (Foto: NOJ/Komp)
Sejumlah santri bersiap mengikuti kajian kitab kuning. (Foto: NOJ/Komp)

Oleh: Firdausi*

 

Lembaga pendidikan yang asli senafas dengan Nahdlatul Ulama adalah pesantren. Bahkan merupakan model pendidikan tertua dan terkuat di negeri ini. Hal tersebut dapat dibuktikan adanya hubungan baik antara pelajar dengan pusat agama Islam di pantai utara Jawa. 

 

Kecenderungan ini juga didukung oleh semakin meningkatnya jumlah jamaah haji pada pertengahan abad. Sebagian dari mereka menggunakan kesempatan untuk menuntut ilmu, hingga akhirnya meneruskan jejak para wali yakni pengembangan pesantren. Mereka sangat berpengaruh terhadap kelangsungan syiar Walisongo yang memiliki misi dakwah Islam di Nusantara (du'at ilallah) melalui pendekatan beraneka ragam, mulai pendekatan ekonomi, sosial, politik, kebudayaan, dan lainnya.

 

Sebelum madrasah Nahdlatul Wathan, Nahdlatu Tujjar, dan Tashwirul Afkar, pesantren telah bediri. Fungsinya adalah membentuk para anggotanya agar bertakwa kepada Allah, sebagaimana didirikannya masjid yang berfungsi untuk membangun ketakawaan bagi setiap individu muslim (KH Hasani Nawawie, 1430 H). Yang dimaksud pribadi bertakwa adalah bahwa pesantren yang dirintis Walisongo dan dikembangkan ulama sebagai media pengabdi kepada Allah SWT untuk menjunjung tinggi agama-Nya (li i'la'i kalimatillah). Di sini pesantren melakukan pengelolaan secara intens dalam rangka membentuk pribadi yang bertakwa dan mengikuti petunjuk Nabi Muhammad, berpedoman pada al-Quran dan hadits, mengikuti jejak langkah ulama salaf shaleh, dan mengikuti jejak kiainya guna membangun peradaban Islam yang tinggi.

 

Secara prinsip, pesantren berbeda dengan lembaga pendidikan lain yang kendati dibangun atas embel-embel Islam, namun telah lepas dari frame ini. Lembaga yang dibentuk hanya untuk kemakmuran dunia secara materi tidak sesuai dengan konsep dasar Islam dan melenceng secara historis. Nilai dan spirit gerakan kependidikan ala pesantren tidak bisa disepelekan. Karena merupakan sombol klasik tapi tidak dikategorikan konservatif.

 

Pesantren adalah institusi pendidikan klasik yang cukup tangguh dalam memelihara dan mempertahankan keluhuran nilai tradisi. Ia sangat khas dan mempunyai keunikan tersendiri. Hal tersebut ditunjukkan dengan ghirah mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Pesantren turut melakukan pemberontakan kepada penjajah dengan memberikan semangat kepada segenap bangsa untuk berani mengangkat senjata. Kharisma kiai menjadikan pesantren diperhitungkan para penjajah.

 

Bukti lainnya juga ditunjukkan dengan pola kepemimpinan yang feodal tapi juga aspiratif, metode pelajarannya tidak terlalu kaku tetapi efektif, manajemen sosialnya lentur dan tidak terlalu administrarif. Ciri inilah yang membedakan pesantren dengan lembaga lain yang mulai modern. 

 

Kalau lembaga pendidikan modern faktanya tidak terlalu akrab dengan dinamika sosial masyarakat, pesantren justru menjadi rumah sosial bagi umat atau masyarakat. Kalau lembaga pendidikan modern hanya berfungsi sebagai lingkungan belajar, pesantren lebih maju yakni menjadi istana pematangan spiritual dan pemupukan akhlakul karimah. Wajar jika almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyebut pesantren sebagai sub kultur yang merakyat dan bermartabat.

 

Dalam konteks Madura, pesantren sangat multi peran, baik sebagai lembaga dakwah, pengembangan karakter dan pengetahuan, serta memberdayakan masyarakat ke arah yang lebih baik. Analisa dan asumsi ini didasarkan pada beberapa nilai yang dimiliki pesantren, yaitu:

1. Sejak awal berdirinya, sudah mandiri dan menyatu dengan masyarakat serta selalu berinteraksi lantaran pesantren didirikan oleh dan untuk umat.

2. Ketergantungan masyarakat Madura dan ketaatan serta penghormatan kepada pimpinan pesantren sangat besar. Sehingga hampir semua kegiatan berdasarkan pertimbangan dan petunjuk dari pimpinan pesantren, baik yang bersifat pribadi maupun dalam rangka masyarakat, bangsa, dan bernegara.

3. Pesantren dapat menjadi motivator, mediator, fasilitator, katalisator, dan konseptor dalam menyukseskan pembangunan yang diprogramkan oleh pemerintah pusat dan daerah.

4. Pesantren dapat menjadi penyedia sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan profesional dalam segala tingkatan dan profesi yang diperlukan dalam pembangunan Madura. Karena pesantren memiliki sarana dan prasarana yang cukup untuk itu.

 

Sampai saat ini pesantren menjadi agen utama modal sosial NU. Kalau saja pesantren tidak eksis seperti sekarang, maka NU di Madura akan keropos. NU di Madura masih tampak besar, kuat dan tangguh, sebenarnya karena keberadaan dan kontribusi pesantren. Pendidikan pesantren menjadi pilar terakhir bagi masa depan gerakan sosial NU.

 

Meskli demikian, pendidikan pesantren menuai gangguan dan tantangan. Hal ini dapat dilihat dari desakan pressure eksternal. Perlakukan diskriminatif dan tidak adil, terutama dari politik-birokrat pemerintah. Karena keberadaannya dianggap tidak sejalur dengan teori pendidikan umum.

 

Dalam perjalanannya, banyak pesantren dan madrasah mengubah arah dan metodogi pendidikannya. Banyak lembaga yang tadinya MI mengubah menjadi SD Islam, MTs menjadi SMP Islam Terpadu, MA menjadi SMA Plus dan sejenisnya. Dominasi modernitas telah menciptakan pesimisme atau mengajarkan skeptisisme berlebihan. Potensi dan akar keagamaan hanya jadi bumbu penyedap bagi hegemonisasi birokrasi pendidikan.

 

Saat ini pemerintah menyikapi dan memberikan empati kepada pesantren, bahkan presiden menetapkan Hari Santri Nasional. Pembuktian lainnya adalah disahkannya UU Pesantren, sehingga pesantren bisa leluasa menggunakan kedua kurikulum, yakni pesantren dan pemerintah atau disebut dengan istilah kurikulum terpadu. Maksudnya modernisasi pendidikan ala pemerintah diterima, tapi materi keagamaan tetap dijalankan sebagaimana konsep awal dengan berbagai strategi. 

 

Hal ini merujuk pada sikap KHM Hasyim Asy'ari yang memotori perumusan kurikulum pendidikan pesantren dan didukung oleh NU sejak tahun 1970an. Sikap ini ditunjukkan untuk mengantisipasi dan mencegah santri pindah ke sekolah umum yang di bawah pemerintah atau sekolah yang didirikan Ormas Islam lain. Inilah bukti bahwa pesantren, madrasah, dan kiai NU tidak negatif thinking dan antipati terhadap imajinasi dominatif modernisasi pendidikan cara pemerintah. Dan pesantren NU saat ini menjadi institusi pendidikan yang sangat kreatif dan produktif tanpa membuang karakter dasarnya.

 

*Adalah Wakil Sekretaris Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Pragaan, Sumenep.
 


Editor:

Opini Terbaru