Opini

Eksploitasi Laut, Paradigma Ekoliterasi dan Gagasan Mahbub Djunaidi

Senin, 27 Januari 2025 | 20:00 WIB

Eksploitasi Laut, Paradigma Ekoliterasi dan Gagasan Mahbub Djunaidi

Ilustrasi eksploitasi laut. (Foto: Istimewa)

Oleh: Maksudi *)

 

Belakangan ini, masalah dan konflik terkait laut menjadi perbincangan hangat di berbagai wilayah Indonesia, baik skala lokal maupun nasional. Fenomena laut yang muncul bukan hanya menyoal lingkungan, tetapi juga membuka celah bagi eksploitasi yang tidak bertanggung jawab. Beberapa masalah laut misalnya seperti fenomena pemagaran laut sepanjang 30 kilometer di Tangerang Selatan. Warga setempat menyebut pemagaran ini sudah berlangsung sejak 2023 dan diduga sebagai langkah awal reklamasi untuk mengklaim lahan laut. 

 

Kasus serupa juga ditemukan di Sumenep, Jawa Timur, yang ramai di media tentang sertifikat laut. Lokasi laut seluas 21 Hektare yang telah mengantongi Sertifikat Hak Milik (SHM), bukan lagi Hak Guna Usaha (HGU), berada di Dusun Tapakerbau, Desa Gersik Putih, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep. SHM laut ini tercatat dengan nama perorangan. 

 

Menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN), SHM telah terbit sejak tahun 2009. Hal ini juga dikonfirmasi oleh Kasi Pendaftaran Hak pada ATR/BPN Sumenep, Suprianto. Wacana lain kemudian menyusul, bahwa laut seluas 21 hektare tersebut akan direklamasi dan rencana selanjutnya akan diproyeksikan sebagai tambak garam.

 

Tak kalah mengejutkan, kasus di Sidoarjo mencatat tiga sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang luasnya mencapai total 686,85 hektare. Nusron Wahid selaku Menteri ATR/BPN menjelaskan bahwa rincian tiga bidang itu luasnya 285,16 hektar, 219,31 hektar, dan 152,36 hektar. Sementara penerbitannya pada tanggal 2 Agustus 1996, 26 Oktober 1999, dan 15 Agustus 1996. Menurut Nusron, awalnya setifikat itu berupa tambak, tetapi kini area tersebut berubah menjadi laut -setelah sertifikat itu dicocokkan dengan peta before dan after.

 

Padahal, hukum Indonesia secara jelas melarang kepemilikan pribadi atas wilayah laut. Indonesia memiliki peraturan yang jelas mengenai pengelolaan sumber daya alam, termasuk wilayah laut. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, mengatur dengan tegas bahwa wilayah laut, termasuk dasar laut dan perairan di sekitarnya, merupakan milik negara. Sayangnya, eksploitasi terus berlanjut dengan dalih kapitalisasi, mengabaikan dampak ekologis yang mengancam keseimbangan alam.

 

Ekoliterasi sebagai Dasar Pelestarian Laut

Fenomena masalah laut yang belakangan terjadi, penting untuk mengenal konsep ekoliterasi. Istilah ekoliterasi yang diperkenalkan oleh Fritjof Capra ini menyoroti pentingnya kesadaran manusia dalam menjaga ekosistem alam secara berkelanjutan. Capra, melalui bukunya The Web of Life: A New Understanding of Living Systems, menekankan bahwa ekoliterasi berarti memahami dan menjaga hubungan timbal balik antara manusia dan alam. Konsep ini menolak pandangan kapitalistik yang memperlakukan alam sebagai objek eksploitasi.

 

Kerusakan lingkungan laut di Indonesia menunjukkan betapa gagalnya pemahaman masyarakat terhadap ekoliterasi. Pemagaran dan reklamasi laut di berbagai daerah seperti Tangerang, Sumenep, dan Sidoarjo hanyalah beberapa contoh nyata. Paradigma holistik yang ditawarkan Capra menegaskan bahwa manusia, makhluk hidup, dan alam merupakan bagian dari satu sistem yang saling terhubung. 

 

Oleh karena itu, langkah awal memperbaiki kondisi ini adalah mengubah cara pandang dan pola perilaku (manhajul fikr wal harokah) terhadap alam. Kesadaran ini tidak hanya penting bagi individu, tetapi juga untuk pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang berpihak pada lingkungan.

 

Gagasan Kelautan Mahbub Djunaidi

Gagasan tentang pentingnya menjaga laut bukanlah hal baru di Indonesia. Mahbub Djunaidi, seorang jurnalis sekaligus Ketua Pertama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), telah lama menyoroti isu ini. Dalam salah satu esainya yang terbit pada 2 Agustus 1992, Mahbub mengkritik ketiadaan kementerian khusus yang mengurus laut di era Presiden Soeharto. Sebagai negara maritim, menurutnya, Indonesia membutuhkan perhatian lebih terhadap sektor kelautan, setara dengan sektor agraris yang lebih dahulu diutamakan oleh pemerintah kolonial.

 

Mahbub juga mengingatkan bahwa Indonesia bukan bangsa agraris, melainkan bangsa bahari. Selama masa kolonial, bangsa ini dipaksa bercocok tanam demi memenuhi kebutuhan pasar Eropa. Pandangan ini tercermin dalam salah satu tulisannya yang terbit di kolom Esai berjudul “Pemikir”.

 

“Tapi kita kan memang bangsa agraris, Pak?”  “Tidak, kita bangsa bahari. Kolonial yang paksa kita bercocok tanam untuk pasaran Eropa Barat. Kebun gula merupakan gabus tempat negeri Belanda terapung, tanpa itu negeri itu akan amblas.” 

 

Gagasan kemaritiman Mahbub Djunaidi bukan dikampanyekan melaui tulisan. Mahbub juga aktif menyampaikan gagasan kelautan tersebut dalam beberapa kesempatan di pidatonya. Hal ini dikonfirmasi oleh teman sejawatnya, Said Budairy. Menurut Said Budairy, Mahbub selalu konsisten, konstan dan terus menerus menyampikan ide tentang laut. Banyak tulisan-tulisan, pidato dan percakan Mahbub dengan sahabatnya yang mengoal ihwal laut.

 

Jika Mahbub masih hidup, ia mungkin akan sangat prihatin melihat fenomena eksploitasi laut saat ini. Fenomena sertifikasi laut yang berujung pada reklamasi dan kerusakan ekosistem akan bertentangan dengan perjuangannya. Bagi Mahbub, laut adalah milik negara yang seharusnya dikelola untuk kesejahteraan bersama, bukan untuk keuntungan segelintir pihak.

 

Untuk mengatasi permasalahan ini, Indonesia membutuhkan paradigma baru dalam mengelola sumber daya alamnya. Prinsip ekoliterasi menawarkan solusi yang relevan, yakni melihat alam sebagai subjek yang harus dihormati. Pemerintah perlu mengintegrasikan nilai-nilai ini dalam setiap kebijakan kelautan untuk memastikan kelestarian ekosistem. 

 

Selain itu, gagasan Mahbub Djunaidi tentang pentingnya memprioritaskan sektor kelautan perlu dihidupkan kembali. Sebagai bangsa maritim, Indonesia harus memperjuangkan kedaulatan lautnya, tidak hanya dari segi kebijakan tetapi juga dalam membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga laut.

 

*) Pengurus PKC PMII Jawa Timur.