• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 29 Maret 2024

Opini

Hak-hak Perempuan yang Terabaikan ketika Terjadi Perceraian

Hak-hak Perempuan yang Terabaikan ketika Terjadi Perceraian
Suasana sidang cerai di pengadilan agama. (Foto: NOJ/BDj)
Suasana sidang cerai di pengadilan agama. (Foto: NOJ/BDj)

Pandemi yang terjadi di Indonesia memberikan dampak besar pada hampir semua sektor kehidupan. Salah satu sektor yang mendapatkan dampak besar adalah keluarga. Hal ini dapat dilihat dari jumlah perceraian yang meningkat pada masa pandemi, yang pada tahun 2020 tercatat ada 18.334 perkara cerai di Jawa Timur.

 

Masalah yang lebih mendasar dari sekadar angka itu adalah banyak hak perempuan yang diabaikan ketika terjadi perceraian. Dalam ketentuan hukum, baik hukum positif atau hukum Islam, ketika terjadi perceraian ada hak-hak perempuan yang masih menjadi kewajiban suami. Hak-hak itu adalah memperoleh nafkah, baik berupa nafkah iddah, mut’ah, dan nafkah madhiyah.

 

Nafkah iddah adalah nafkah dalam bentuk pangan, pakaian, dan tempat tinggal, yang diberikan suami kepada istri pada masa iddah yang dicerai dalam bentuk talak raj’i. Sedangkan mut’ah adalah pemberian materi dari suami kepada istri yang dicerai, dengan tujuan untuk menyenangkan hati istri dan mengganti rasa sakit akibat perceraian tersebut. 

 


Nafkah madhiyah adalah nafkah yang telah lewat waktu, yang belum dibayarkan suami ketika dalam ikatan pernikahan. Saat terjadi perceraian, istri diperbolehkan menuntut nafkah tersebut. Nafkah madhiyah merupakan istilah yang digunakan pada putusan pengadilan agama untuk menetapkan nafkah lampau.  

 

Ketiga hak tersebut juga dilindungi oleh aturan perundang-undangan, seperti pada Undang-Undang no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 41 huruf c, menyebutkan bahwa: ‘pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.’ 

 

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 149 juga disebutkan bahwa jika perkawinan putus karena cerai talak, maka ada empat kewajiban yang harus ditanggung oleh suami. Pertama, mut’ah yang layak kepada bekas istri, bisa berupa uang atau barang, dalam hal ini mut’ah boleh tidak dibayarkan jika perceraian terjadi sebelum terjadi hubungan suami istri. Kedua memberikan nafkah iddah, yaitu uang belanja, pakaian, dan tempat tinggal dalam jangka waktu masa iddah. Ketiga, melunasi mahar yang belum terbayar secara penuh, tapi jika perceraian itu terjadi sebelum hubungan suami istri maka cukup membayar separuh saja. Keempat, memberikan biaya hadhanah bagi anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

 

Lebih jelas lagi dalam surat edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2018, menyempurnakan apa yang telah tercantum pada Surat Edaran Mahkamah agung No 07 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa: ‘Hakim dalam menetapkan nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut’ah dan nafkah anak, harus mempertimbangkan rasa keadilan dan kepatutan dengan menggali fakta kemampuan ekonomi suami dan fakta kebutuhan dasar hidup istri atau anak.’ Yakni dengan memberikan kewenangan pada istri menuntut ketiga hak tersebut melalui cerai gugat, karena pada aturan sebelumnya ketiga hak itu hanya dapat didapatkan melalui cerai talak. 

 

 

Karenanya, setelah adanya aturan ini, sejumlah hak bisa diperoleh baik melalui cerai talak yaitu permohonan cerai dari pihak suami atau cerai gugat yang diajukan oleh istri dengan syarat istri tidak melakukan nusyuz. 


Akan tetapi jika melihat praktiknya di tengah masyarakat, hak-hak tersebut sulit terpenuhi. Mengapa demikan? Menurut penulis, setidaknya ada dua faktor. Pertama, banyak perempuan yang tidak memiliki pengetahuan tentang sejumlah hak tersebut, sehingga tidak meminta hak yang ada ketika terjadi perceraian. Kedua, perempuan tahu tentang hak-hak itu, tetapi tidak bisa atau tidak mampu mendapatkannya dari pihak suami. Hal ini dikarenakan perceraian terjadi di luar pengadilan.

 

Perceraian yang dilakukan di luar persidangan berakibat pada tidak terpenuhinya hak-hak perempuan karena posisinya  yang lemah. Perempuan cenderung akan mendapatkan perlakuan diskriminatif dari laki-laki karena tidak bisa membela diri. Banyak kasus perempuan ditinggalkan suami tanpa tanggung jawab, sehingga harus menanggung beban hidupnya sendiri. Atau bahkan menanggung biaya anak-anak yang ikut bersamanya, tanpa mendapatkan hak dari suami. 

 

Pertanyaan selanjutnya apakah perempuan bisa mendapatkan sejumlah hak ketika bercerai di pengadilan agama?
 

Jawabannya tentu bisa, dengan syarat pihak perempuan memasukkan tuntutan hak-hak tersebut dalam gugatan yang didaftarkan ke pengadilan. Tetapi sayangnya hal itu tidak dilakukan, Sebagai gambaran sederhana, ketika penulis memberikan layanan hukum di pos bantuan hukum pengadilan agama, banyak perempuan yang tidak mau menuntut hak yang ada. Mereka beralasan tidak mau mendapatkan kesulitan dalam proses perceraian yang dijalani di pengadilan. Padahal hak-hak tersebut dilindungi oleh undang-undang. 


Oleh karena itu walaupun secara hukum hak itu bisa didapatkan oleh istri ketika bercerai, tetapi lagi-lagi pada praktiknya tidak bisa dipenuhi, walaupun telah melalui proses pengadilan. Hal ini dikarenakan dari pihak istri tidak mau menuntut hak tersebut. 

 

Untuk memenuhi hak-hak perempuan ini, jelas membutuhkan kerja sama banyak pihak. Yang pertama adalah pihak perempuan itu sendiri, yakni harus menyadari bahwa dirinya memiliki hak tertentu yang bisa dituntut ketika bercerai dengan suami. Kedua, tentunya adalah itikad baik dari suami. Sebagai kepala rumah tangga seharusnya memahami kewajiban terhadap istri, baik ketika masih berstatus sebagai istri sah, ataupun saat bercerai. Pada realitanya banyak istri yang tidak paham atau enggan meminta hak tersebut, di sisi lain juga tidak sedikit suami yang meninggalkan kewajiban.

 

Untuk menyelesaikan permasalahan ini butuh peran serta hakim di pengadilan agama untuk memberikan perlindungan hukum seadil-adilnya kepada pihak perempuan yang sampai hari ini belum bisa mendapatkan beragam haknya secara penuh. Dengan keberanian seorang perempuan menuntut hak, dan putusan hakim yang adil, maka diharapkan beragam hak perempuan dapat terpenuhi dengan baik. 

 

Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Hasanuddin, Kediri. 


Editor:

Opini Terbaru