• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 19 April 2024

Opini

Menjadikan Pesantren sebagai Penggerak Ekonomi Umat

Menjadikan Pesantren sebagai Penggerak Ekonomi Umat
Sejumlah pedagang di pesantren. (Foto: NOJ/TJ)
Sejumlah pedagang di pesantren. (Foto: NOJ/TJ)

“Mohon maaf gus, tahun ini jumlah peserta didik baru di madrasah kami mengalami penurunan dibanding tahun lalu,” kata Pak Amak, kepala madrasah di sebuah pesantren di Jawa Timur.

 

“Tidak apa-apa pak. Yang sudah mondok saja belum tentu kembali ke pondok, apalagi yang belum mondok,” jawab Gus Wafa, ketua yayasan di pesantren tersebut.

 

Mendengar percakapan itu, saya hanya bisa tertunduk dan diam sambil menangkap ada rasa pesimistis yang keluar dari ucapan ketua yayasan. Tapi bagi saya itu wajar, karena sebagai orang nomor satu di pesantren, Gus Wafa pasti cemas jika para santri tidak lagi kembali ke pesantren setelah terpaksa dipulangkan sejak bulan Maret lalu untuk menghindari penyebaran Covid-19 di lingkungan pesantren.

 

Di lain kesempatan, saya bertemu Pak Ali, pengurus pesantren yang mengatur masalah keuangan. Ia bercerita bahwa pesantren sedang mengalami masalah keuangan, karena para santri berada di rumah dan hanya sedikit orang tua yang membayar biaya bulanan. Padahal gaji para ustadz, pengurus pesantren, pegawai seperti tukang masak, cuci baju, bersih-bersih sampai keamaan tetap harus dibayar.

 

Sebagai perbandingan di beberapa pesantren yang lain, para ustadz dan pegawai sudah tidak bisa mendapatkan hak mereka, karena keuangan sudah kolaps. Tidak mampu lagi membayar gaji ustadz dan pegawai.

 

Selain itu, biaya listrik, kebutuhan pokok seperti beras dan isi dapur lainnya sudah didatangkan walaupun masih utang. Biasanya akan dibayar setelah para santri membayar uang bulanan. Akhirnya sebagai penaggung jawab keuangan, ia meminjam koperasi. Meskipun koperasi pesantren pun dalam keadaan tidak stabil karena banyak nasabah yang tidak bisa membayar cicilan akibat pandemi.

 

Di akhir obrolan, ia berkata: “Saya tidak tahu bisa bertahan sampai kapan.” Sebuah ungkapan bernada pesimistis akan keberlangsungan kehidupan pesantren.

 

Imbas Pandemi di Pesantren

Saya juga membayangkan penjual bakso, pentol, nasi bungkus dan puluhan pedagang kecil lain, yang saban hari menggantungkan penghasilan dari santri. Setelah dua belas ribu santri itu pulang ke rumah masing-masing, seketika itu usaha mereka mandek, dan itu berarti sumber pendapatan utama untuk keluarga juga hilang. Terus siapa yang memikirkan nasib mereka?

 

Tidak hanya itu, orang tua santri juga mengalami masalah yang tidak kalah dilematis. Di satu sisi ingin anaknya kembali ke pesantren agar bisa kembali belajar, tetapi di sisi lain ada rasa takut dan cemas perihal kesehatan dan keselamatan anak-anaknya.

 

Dari rentetan peristiwa di atas, saya sadar bahwa dunia pesantren tidak hanya soal kegiatan belajar para santri, tapi juga ada banyak aspek kehidupan lain di dalamnya yang saling terkait terutama masalah ekonomi. Kegiatan ekonomi pesantren tidak hanya menghidupi orang-orang di dalam ma’had, tetapi juga masyarakat sekitar. Coba dibayangkan jika masalah ekonomi di atas terjadi di 21.000 pesantren di Indonesia, maka akan ada puluhan bahkan ratusan ribu orang yang terdampak oleh lesunya ekonomi di pesantren.  

 

Di tengah sikap pesimistis dari berbagai pihak terkait kehidupan pada masa pandemi, pesantren harus bisa memberikan jawaban atas rasa pesimistis tersebut. Pesantren harus melakukan terobosan dan inovasi agar kehidupan kembali seperti sediakala.

 

Mengurai Masalah

Hal yang paling utama untuk segera dipulihkan adalah kegiatan pembelajaran di pesantren, karena itulah masalah utama dan sumber dari masalah lain. Jika aktivitas pembelajaran para santri kembali seperti semula, dengan sendirinya roda perekonomian pesantren akan kembali berjalan.

 

Untuk memulihkan kegiatan pembelajaran alangkah baiknya jika pesantren mulai beradaptasi dengan protokol kesehatan dan menyediakan berbagai fasilitas kesehatan yang dibutuhkan para santri selama masa pandemi.

 

Menyiapkan fasilitas kesehatan memang tidak mudah karena membutuhkan biaya tidak sedikit, sedangkan kebanyakan pesantren belum memiliki sumber keuangan yang cukup. Untuk itu bantuan dari pemerintah sangat dibutuhkan untuk merealisasikan. Dengan adanya fasilitas kesehatan, kecemasan orang tua akan hilang dan mereka akan tenang melepas anak-anak kembali ke pesantren.

 

Selain itu fasilitas kesehatan adalah investasi jangka panjang. Dengan adanya fasilitas kesehatan yang lengkap, masalah kesehatan klasik yang menjadi benalu di pesantren akan dapat diatasi. Sehingga pesantren dapat menjalankan aktivitasnya tanpa gangguan masalah kesehatan.

 

Akan tetapi, yang lebih berat dari sekadar menyiapkan fasilitas kesehatan adalah mengubah pola pikir insan yang ada di lingkungan pesantren. Dari mulai kiai, ustadz, dan para santri.  Selama ini masyarakat pesantren  masih mendapatkan stigma negatif dari masyarakat dalam hal menjaga kebersihan lingkungan dan kesehatan. Kesan kumuh, berjubel, tidak higienis, penggunaan barang bersama, sampai kebiasaan buang sampah sembarangan seakan sudah lekat dengan kehidupan sehari-hari para santri.

 

Oleh karena itu, perlu adanya reformasi kultur berjamaah di dalam masyarakat pesantren. Ini harus dilakukan agar terjadi perubahan radikal terkait standar kesehatan di pesantren. Standar kesehatan itu diwujudkan dalam pola hidup sehat dan menjaga kebersihan lingkungan, serta menjalankan protokol kesehatan terkait Covid-19.

 

Perubahan itu akan terasa berat, karena ada satu pola pikir yang menurut saya kurang tepat, tapi diimani oleh masyarakat pesantren. Yaitu ketika urusan kebersihan dan kesehatan dihadapkan dengan dogma agama. Misalnya keengganan mematuhi protokol kesehatan adalah bentuk tawakal terhadap takdir Tuhan. 

 

Logika semacam inilah yang sebaiknya direformasi, masyarakat pesantren seyogianya mulai membuka pikiran terkait pemahaman tentang protokol kesehatan. Menaati protokol kesehatan bukan berarti memiliki iman yang lemah. Justru tindakan itu adalah bukti bahwa memiliki iman kepada takdir Tuhan. Takdir berupa ujian adanya virus yang harus diwaspadai, bukan malah menantangnya. 

 

Bukankah menjaga jiwa adalah bagian dari tujuan syariat? Oleh karena itu melakukan hal-hal yang bisa menyebabkan rusaknya atau hilangnya jiwa adalah perbuatan melanggar syariat. Dengan demikian, reformasi kultur dalam bidang kesehatan merupakan hal yang sesuai dengan syariat Islam, Bahkan hal ini sangat mendesak untuk segera diterapkan di lingkungan.

 

Ada dua alasan mengapa reformasi kultur harus segera dilakukan. Pertama, untuk segera memulihkan kehidupan pesantren menghadapi adaptasi kebiasaan baru. Kedua, pulihnya kehidupan pesantren dengan semua aktivitas santrinya, akan mendorong jalannya roda ekonomi masyarakat baik di dalam atau di luar pesantren.

 

Ketika aktivitas kembali dibuka, para ustadz, pegawai, pedagang dan semua orang yang menggantungkan hidupnya pada pesantren akan memperoleh kembali pendapatannya yang selama ini hilang akibat pandemi. Pesantren bukanlah sekadar lembaga pendidikan, juga penggerak ekonomi umat. Hadirnya pesantren di tengah masyarakat juga memberikan banyak lapangan kerja dan peluang usaha. Oleh karena itu, di saat perekonomian nasional sedang lesu, perlu untuk segera memulihkan kehidupan pesantren agar roda ekonomi masyarakat kembali berjalan.

 

Ustadz Mustaufikin adalah alumnus pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. 


Editor:

Opini Terbaru