• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 7 Desember 2024

Opini

Revolusi Puasa: dari Ritual Menuju Sosial

Revolusi Puasa: dari Ritual Menuju Sosial
Ilustrasi puasa Ramadhan. (Foto: NOJ/ freepik)
Ilustrasi puasa Ramadhan. (Foto: NOJ/ freepik)

Oleh: Musthafa Kamal *)

 

Bulan Ramadhan memiliki kesan tersendiri di hati umat Muslim. Masjid dan surau menjadi ramai, gema Al-Qur’an terdengar di mana-mana dan aktivitas lain yang sering dijumpai saat datangnya bulan Ramadhan. Sebab bulan ini merupakan bulan istimewa. Banyak dalil-dalil agama yang menerangkan keistimewaan bulan Ramadhan. Sebab itu, umat Muslim enggan menyia-nyiakan momentum ini dengan meningkatkan ibadah.

 

Sebagai salah satu pilar dalam Islam, puasa Ramadhan wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang baligh, berakal, dan mampu berpuasa. Kewajiban ini termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 183:

 

يَاَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

 

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

 

Puasa memiliki tujuan luhur yaitu mencetak insan yang bertakwa. Sehingga puasa bukan hanya sekadar melaksanakan ibadah saja. Melainkan sarana melatih spiritual atau rohani guna mendapat predikat manusia yang paling mulia di sisi Allah.

 

Secara etimologi, puasa (صوم), menurut Abu Ubaidah, berarti (الامساك) menahan dari segala sesuatu baik makan, berbicara dan berjalan. Adapun puasa dalam pengertian syara’ sebagaimana yang didefiniskan oleh Ath-Thabari, adalah menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh, yang dibarengi dengan niat dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Dan lebih sempurna jika menjauhi suatu hal yang diharamkan.

 

Meski begitu, muncul sebuah pertanyaan, mengapa masjid di bulan Ramadhan selalu ramai jamaahnya dengan semarak agenda di dalamnya, namun perilaku tercela lainnya tak kalah semaraknya? Apakah puasa Ramadhan hanya sebuah festival dan formalitas belaka?

 

Masih sering dijumpai perampasan hak orang lain, membiarkan orang miskin dan anak yatim, menghina orang lain, memfitnah, adu domba, dan lain-lain. Meskipun secara formal yang demikian tidak membatalkan puasa. Namun secara substansial, perilaku tercela itu telah menciderai nilai dan tujuan puasa. Bahkan hal ini sudah diprediksi oleh Nabi Muhammad SAW. Ia bersabda:

 

 كم من صائم ليس له من صيامه إلا الجوع والعطش

 

Artinya: “Berapa banyak orang yang berpuasa namun tidak mendapatkan apapun dari puasa kecuali hanya lapar dan dahaga”.

 

Dari fenomena di atas, sudah seharusnya perlu sebuah redifinisi tentang puasa yang lebih transformatif. Puasa bukan hanya ritual keagamaan tahunan yang domainnya adalah hubungan hamba dengan Tuhan saja. Tetapi, dalam dimensi sosial, puasa mengajarkan manusia untuk lebih merasakan (lebih peka) terhadap kaum mustadh’afin yang selama ini termarjinalkan oleh struktur kapitalisme yang menindas.

 

Mengutip ungkapan Syech Ali Ahmad Al-Jurjawi dalam karyanya Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, bahwa salah satu hikmah puasa adalah mengingatkan manusia pada kondisi yang dirasakan oleh orang miskin agar kemudian turut memberikan simpati dan kasih sayang kepada mereka. Ini merupakan pelajaran yang sangat dalam dari puasa.

 

Hal senada juga diungkapkan oleh Hassan Hanafi, cendikiawan muslim progresif dari Mesir, dalam al-Din wa Tsawrah, puasa melatih kepekaan atas nasib sesama yang merasakan kelaparan dan dahaga. Oleh karena itu, puasa mengajarkan arti solidaritas sebagai sesama manusia atau secara lebih sempit sebagai sesama Muslim. Nilai solidaritas ini adalah sosial capital awal dari kokohnya suatu masyarakat. Sehingga tumbuh sebuah stabilitas dan kesinambungan antar masyarakat.

 

Islam adalah agama keadilan, kemaslahatan dan condong pada gerakan pembebasan para kaum mustadh’afin dan madhlumin yakni, orang-orang fakir, miskin, orang-orang yang terpinggirkan dan tergusur oleh ulah sistem kebijakan yang tidak berkeadilan. Sehingga puasa tidak kemudian dipahami kembali sebagai teologi transendental belaka. Puasa harus diimplementasikan sebagai spirit perubahan diri dan modal perubahan sosial yang pada akhirnya mempunyai muatan maqashid syariah.

 

Islam bukan hanya tentang ajaran langit yang jauh dari jangkauan pemeluknya. Islam sesungguhnya harus mampu mentransformasikan realitas ke dalam sebuah teks yang bersumber dari sosio kultural masyarakat.

 

Pesan puasa yang lebih mengarah pada gerakan progresif dan transformatif ini juga mendapat legitimasi dari nabi. Ia bersabda:

 

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِمْ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا

 

Artinya: “Barang siapa memberi makan orang berpuasa maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala sedikit pun dari orang yang berpuasa itu.”

 

Akhirnya, mari bersama-sama memanfaatkan kesempatan di bulan Ramadhan sebagai perbaikan kualitas diri serta kualitas sosial kolektif. Ini merupakan ajaran luhur yang hendak diberikan kepada hambanya yang beriman.

 

*) Kader PMII Ashram Bangsa Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


Opini Terbaru