• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 25 April 2024

Opini

Sanad itu Penting

Sanad itu Penting
Belajar agama tidak cukup dengan membaca buku-buku, apalagi sebatas terjemahan, menonton Youtube, atau mendengarkan podcast semata. (Foto:NOJ/Labumi.id)
Belajar agama tidak cukup dengan membaca buku-buku, apalagi sebatas terjemahan, menonton Youtube, atau mendengarkan podcast semata. (Foto:NOJ/Labumi.id)

Oleh: Muhammad Haris Miftah Sibawayhie

 

Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi      setiap muslim. Menjadi pribadi yang berilmu menjadikan diri kita memiliki derajat yang lebih tinggi. Namun, bila ilmu tanpa memiliki sanad, maka gurunya tak lain dan tak bukan adalah setan. Mengapa? Karena ilmu agama bukan ilmu yang sifatnya coba-coba, tetapi ini menyangkut perilaku akhlak dunia dan akhirat. Salah pengamalan akan mengantarkan pada kesesatan. Jika ingin memiliki ilmu agama yang benar, maka hendaklah menghadiri majelis taklim yang dibimbing oleh ustaz atau ulama.

 

Belajar agama tidak cukup dengan membaca buku-buku, apalagi sebatas terjemahan, menonton Youtube, atau mendengarkan podcast semata. Ilmu yang didapat dari sosok guru yang jelas dan mempunyai sanad, maka muaranya akan menghasilkan ilmu yang bisa menentramkan hati dan menjernihkan akal pikiran, bukan justru menghasilkan kegemaran dalam saling menyalahkan.

 

Kita tahu di era kiwari banyak sekali fenomena yang membuat hati miris. Amat banyak oknum yang berlabel ustaz atau ulama dengan mudah mengadu domba antarmasyarakat menggunakan dalih-dalih dari ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini tak ayal membuat masyarakat berpikir bahwa pemahaman agama dalam dirinya adalah pemahaman yang paling benar dan kemudian menyalahkan pemikiran dan pemahaman orang lain di luar dirinya, seperti halnya pertikaian statement benar dan salah yang acap kali terjadi.

 

Keadaan kini telah mencemaskan dan memprihatinkan. Betapa mudah dan jamak dijumpai di zaman ini orang-orang yang tidak jelas diketahui kepada siapa ia pernah belajar agama, tidak jelas dikenal telah berapa lama mereka pernah mengaji, dan tidak jelas dan teruji pula keilmuannya dalam bidang agama. Lalu, dengan tiba-tiba mereka dengan pongah menyandang gelar “ustaz”, bahkan anehnya ada yang baru saja menjadi mualaf, memberikan ceramah berapi-api, tapi isinya propaganda dan agitasi belaka.

 

Mayoritas ceramah mereka nirguna dan hanya didominasi hujatan, cercaan, dan cacian kepada siapa pun di luar golongannya. Mungkin, mereka pikir memberi ceramah agama adalah profesi yang mudah mendatangkan cuan dan bisa mengangkat kehormatan yang bisa digunakan untuk tujuan duniawi sembari bersembunyi di balik narasi kemaslahatan umat dan kemanusiaan.

 

Di lain pihak, orang-orang yang belajar agama belasan, bahkan puluhan tahun di pesantren akan merasa heran dan tak habis pikir mengapa banyak orang mau bermakmum di belakang para “ustaz” seperti itu dengan segala kefanatikannya. Imam Bukhari di dalam kitab Shahih Bukharinya berkata:

 

تَعَلَّمُوا قَبْلَ الظّانِّينَ

Mengajilah (belajarlah) dengan bersungguh-sungguh sebelum kamu bertemu dengan masanya orang yang berbicara ilmu yang hanya bermodalkan prasangka. Kutipan Imam Bukhari tersebut lantas disyarahi oleh Imam Nawawi yang berbunyi:

 

ومَعْناهُ تَعَلَّمُوا العِلْمَ مِن أهْلِهِ المُحَقِّقِينَ الوَرِعِينَ قَبْلَ ذهابهم ومجئ قَوْمٍ يَتَكَلَّمُونَ فِي العِلْمِ بِمِثْلِ نُفُوسِهِمْ وظُنُونِهِمْ التى ليس لها مستند شرعي

Mengajilah (belajarlah) dengan bersungguh-sungguh kepada orang yang benar-benar berilmu sebelum kamu bertemu dengan masanya orang yang berbicara ilmu yang hanya bermodalkan prasangka tanpa sandaran yang jelas.

 

Maqolah kedua ulama di atas menunjukkan kepada kita pentingnya berilmu kepada guru atau ulama yang memiliki sanad yang jelas. Hal ini yang akan kemudian mampu menjauhkan kita dari kesesatan dalam beragama. Ulama adalah pewaris para nabi. Setelah kenabian ditutup dengan diutusnya Rasulullah saw., maka warisan keilmuan keagamaan berada dalam tanggung jawab para ulama. Penting untuk menengok, mempelajari, dan belajar langsung kepada para ulama untuk menjaga kesinambungan ilmu dari Rasulullah saw. 

 

Fenomena lain yang membuat miris sekaligus prihatin adalah banyaknya muslim yang kurang hati-hati dan selektif dalam memilih ulama atau ustaz dalam belajar agama. Di zaman ini, masyarakat muslim memiliki tendesi untuk berhati-hati dan selektif dalam urusan dunianya saja. Ambil contoh bila seseorang sedang sakit, maka ia akan sangat hati-hati dalam mencari dokter sekaligus rumah sakit yang akan merawatnya. Ia akan lebih memilih dokter spesialis cum berpengalaman untuk membantunya mencapai kesembuhan. Abdullah bin Mubarak rahimahumullah di kitab Shahih Muslim berkata:

 

 الإسنادُ مِنَ الدِّينِ، ولولا الإسناد لَقالَ مَن شاءَ ما شاء


Sanad adalah bagian dari agama. Kalau bukan karena sanad, pasti siapa pun bisa berkata dengan apa yang dia kehendaki.

 

Sayangnya, di zaman ini para ustaz gadungan mendominasi dan mengalirkan paham liberal kepada masyarakat awam tanpa mengkaji sesuatu yang disampaikannya dan lebih ironisnya lagi masyarakatnya pun tidak mengkaji dan meneliti apa yang disampaikan mereka.

 

Jangankan isi atau substansi yang disampaikan, kriteria seseorang bisa disebut sebagai ustaz pun tidak dipedulikan dan diperhatikan. Imam Bukhari yang terkenal sebagai ahli hadis mempunyai guru yang berjumlah 1.080 ulama. Jadi, dapat disimpulkan jika belajar agama tanpa guru sangat rawan gagal paham akan dalil-dalil dalam agama, dan rawan dengan kesesatan. Jika seseorang ingin mengetahui makna yang  terkandung dalam Al-Qur’an tanpa proses belajar dari bimbingan guru atau ulama niscaya ia akan menemui kesulitan dan merasa waswas dalam beragama. 

 

Seyogianya, masyarakat harus memiliki guru yang mempunyai kemampuan dan sanad keilmuan yang jelas. Ini penting karena sanad ilmu menunjukkan pentingnya otoritas dalam berilmu agama. Terlebih bagi masyarakat muslim yang masih awam dan tidak memiliki kemampuan menggali serta meneliti suatu persoalan dalam ilmu agama, maka ia diwajibkan memiliki guru yang dapat membimbingnya agar tidak tersesat dalam pemahamannya.

 

Wallahu ’Alam bisshowab

 

Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Al Falah, Ploso Mojo, Kediri dan sekarang sedang mengambil Sarjana Strata 1 pada Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, UIN Sunan Ampel, Surabaya


Opini Terbaru