Sering, bahkan tiap kali ke Sumenep, Syaifullah Ibnu Nawawi atau Cak Ipul, nge-WA saya hanya ingin menyampaikan permohonan maaf karena belum bisa menyambangi rumah. Maklum saja, di sela-sela kesibukan mengisi materi kepenulisan di lembaga-lembaga NU, sekolah, hingga pondok pesantren, ia pasti menyisakan sedikit waktunya untuk menyambangi rumah sahabat, guru, hingga kadernya di NU Online. Jika baginya menulis nomer satu, maka sisanya ialah dihabiskan untuk silaturahim.
Hanya saja, ke rumah saya belum pernah sampai. Sebab, di antara sahabat-sahabat yang lain, rumah saya paling pojok di ujung timur Pulau Madura. Selain waktunya yang singkat saat di Sumenep, jarak menjadi salah satu alasan untuk sampai ke rumah.
Dalam banyak momen, saya sering berdiskusi dengan beliau. Bertanya, berbagi tulisan hingga sharing banyak hal. Beliau pribadi merupakan tipikal orang yang sangat menyenangkan, murah senyum dan sangat alim. Selain itu yang membuat betah ngobrol banyak hal dengan beliau, humor-humor yang terlontar selalu mengundang tawa dan sangat fasih dalam berbahasa Madura. Jadi tak heran jika banyak yang menyukai pribadi pria kelahiran Probolinggo tersebut.
Saat tahu beliau sedang sakit saya mencoba menghubunginya, menanyakan sakit yang beliau derita. Dengan bahasa yang lugas, yang menjadi ciri khasnya dalam setiap tulisannya, beliau mulai bercerita mengurai kata demi kata tentang sakitnya. Bahkan saat posisinya telah terkapar lemas di rumah sakit, beliau masih menyempatkan menulis dan memberi materi pada kader-kader NU Online Jatim. Sungguh pribadi yang sangat luar biasa.
Terakhir perjumpaan dengan Cak Ipul ialah ketika Meet and Great sekaligus Harlah ke-4 NU Online Jatim yang di Gedung PWNU Jawa Timur. Saya menyaksikan betul perjuangan beliau menghadiri acara tersebut. Sesekali mengisi materi, sisanya sambil rebahan sembari menahan rasa sakit. Coba bayangkan, dalam posisi sakitpun beliau masih sempat tersenyum lebar dan memotivasi banyak kader penulis NU. Ini sikap yang sangat luar biasa dari beliau bahkan tidak dapat ditiru oleh orang lain.
Saya sangat kehilangan sosok yang komplit dalam diri beliau. Ia adalah sosok yang tegas dalam membina, tapi perkataan tak pernah menyakiti hati. Beliau sosok yang ramah tapi tetap berwibawa. Beliau sosok guru teladan yang hingga akhir hidupnya dihabiskan untuk menulis dan menulis.
Saya pribadi sebagai salah satu anak didiknya diajari betul arti sebuah proses yang tiada lelah, pantang menyerah dan terus belajar. Pesan beliau yang selalu diingat; jika benar-benar ingin belajar menulis, maka menulislah sebanyak-banyaknya.
Selamat jalan, Cak Ipul.