• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Rabu, 17 April 2024

Rehat

Pemabuk Meraih Derajat Mulia karena Shalawat

Pemabuk Meraih Derajat Mulia karena Shalawat
Berkah hadir dalam majlis shalawat, pemabuk mendapatkan derajat mulia. (Foto: NOJ/KLi)
Berkah hadir dalam majlis shalawat, pemabuk mendapatkan derajat mulia. (Foto: NOJ/KLi)

Siapa saja akan memiliki penilaian bahwa mereka yang gemar mabuk akan jadi sampah masyarakat. Namun kisah ini memberikan gambaran bahwa lantaran hadir di acara shalawat akhirnya mendapatkan derajat mulia.

 

Bagaimana mungkin pemabuk mendapat derajat mulia karena hadir di majlis shalawat? Ikuti kisah berikut dan jangan lupa manfaatkan Bulan Maulid atau Rabiul Awal dengan memperbanyak bacaan shalawat.

 

Kisah ini disampaikan Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani dalam kitabnya, Tanqih al-Qaul. Syekh Nawawi mengutip cerita ini dari sebagian kaum sufi. 

 

 

Diceritakan bahwa salah seorang tokoh sufi memiliki  tetangga yang gemar mabuk. Kegemarannya menenggak minuman keras berada dalam taraf di luar kewajaran, melebihi batas, hingga ia tidak bisa membedakan hari, sekarang, besok atau kemarin. 

 

Ia hanyut dalam minuman keras. Pemabuk ini berulang kali diberi nasihat oleh sang sufi agar bertobat, namun ia tidak menerimanya dan masih tetap dengan kebiasaan mabuknya tersebut. 

 

Yang menakjubkan adalah saat pemabuk tersebut meninggal dunia, dijumpainya oleh sang sufi dalam sebuah mimpi. Bahwa ia berada dalam derajat yang luar biasa mulia. Hal tersebut dibuktikan dengan memakai perhiasan berwarna hijau, lambang kebesaran dan kemegahan di surga. 

 

Sang sufi terheran-heran, ada apa gerangan? Mengapa tetangganya yang dikenal sebagai pemabuk mendapat kedudukan semulia itu. 

 

Sang sufi bertanya:

 

 بِمَا نِلْتَ هَذِهِ الْمَرْتَبَةَ الْعَلِيَّةَ 

 

Artinya: Dengan sebab apa engkau memperoleh derajat yang mulia ini? 

 

Kemudian pemabuk menjelaskan ihwal kenikmatan yang dirasakannya:

 


 حَضَرْتُ يَوْمًا مَجْلِسَ الذِّكْرِ فَسَمِعْتُ الْعَالِمَ يَقُوْلُ مَنْ صَلَّى عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَفَعَ صَوْتَهُ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ ثُمَّ رَفَعَ الْعَالِمُ صَوْتَهُ بِالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَفَعْتُ صَوْتِيْ وَرَفَعَ الْقَوْمُ أَصْوَاتَهُمْ فَغَفَرَ لَنَا جَمِيْعًا فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ فَكَانَ نَصِيْبِيْ مِنَ الْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ  أَنْ جَادَ عَلَيَّ بِهَذِهِ النِّعْمَةِ. 

 

Artinya: Aku suatu hari menghadiri majelis dzikir, lalu aku mendengar orang alim berkata, barangsiapa bershalawat kepada Nabi dan mengeraskan suaranya, surga wajib baginya. Lalu orang alim tadi mengeraskan suaranya dengan bershalawat kepada Nabi, aku dan jamaah juga mengeraskan suara seperti yang dilakukan orang alim itu. Kemudian Allah mengampuni kita semuanya pada hari itu, maka jatahku dari ampunan dan kasih sayang-Nya adalah Allah menganugerahkan kepadaku nikmat ini

 

 

Demikian keagungan dan kehebatan membaca shalawat, hingga dirasakan manfaatnya oleh seorang pemabuk. Kisah tersebut terang saja bukan hendak membenarkan praktik mabuk-mabukan yang memang diharamkan dalam Islam. 

 

Cerita itu sekadar merefleksikan keistimewaan shalawat yang bisa mengantarkan seseorang pada samudera kasih sayang dan pengampunan Allah SWT. Bukan dalam kapasitas memerintah untuk berbuat mabuk dan amalan buruk lainnya. 

 

 


Editor:

Rehat Terbaru