• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Rehat

HAJI

Perjalanan Ulama Nusantara Lakukan Ibadah Haji sambil Menuntut Ilmu

Perjalanan Ulama Nusantara Lakukan Ibadah Haji sambil Menuntut Ilmu
Haji zaman dulu. (Foto: NOJ/NU Online)
Haji zaman dulu. (Foto: NOJ/NU Online)

Abhantal syahadat, asapo' iman, apajung Allah. Artinya, berbantal syahadat, berselimut iman dan berpayung Allah. Pribahasa yang lumrah didengar oleh masyarakat Madura itu bagian dari internalisasi nilai-nilai keagamaan yang berlangsung secara natural.

 

Diketahui, perhatian masyarakat Madura tidak hanya tampak melestarikan tradisi dan amaliah Walisongo dan ulama pendahulu. Terbukti animo masyarakat sangat besar pada Rukun Islam kelima yakni naik haji ke Baitullah dengan mengendarai kapal layar atau kapal uap ketika zaman dulu dan kini dengan menaiki pesawat terbang.

 

Kendati biayanya mahal dan adanya kuota yang ditetapkan oleh Pemerintah RI, tidak menjadi penghalang bagi masyarakat meskipun kondisi ekonominya relatif rendah. Ini semua dipengaruhi adanya sebuah pandangan bahwa ibadah haji adalah suatu perjalanan spiritual ke tanah suci Makkah dan Madinah yang tidak semua orang bisa melakukannya.

 

Bagi orang Madura, ibadah haji tidak sekedar peristiwa keagamaan semata. Jika menunaikannya, diyakini akan mengangkat status sosial dan membuat usaha ekonominya semakin maju, meningkat dan dilimpahi keberkahan oleh Allah SWT. Khalayak jangan keget, bila orang Madura terus berusaha sekuat mungkin untuk melaksanakan ibadah haji berulang-ulang walaupun pernah melaksanakannya bersama famili.

 

Haji dalam struktur keyakinan masyarakat Madura merupakan hal yang suci dan dipertahankan. Wajar orang Madura rela berdesak-desakan hanya ingin mencium hajar aswad kendati nyawa taruhannya. Ada pula yang tak mengenal lelah naik ke Jabal Rahmah dan Jabal Nur, ingin melihat secara dekat maqbarah Nabi Muhammad SAW, memaksakan diri membaca tahlil di makam dzurriyah dan sahabat nabi, serta ke tempat bersejarah lainnya di Makkah ataupun di Madinah.

 

Secara historis, syiar Islam dihayati oleh masyarakat setelah terjalin hubungan baik antara pribumi dengan pusat-pusat Islam di pantai utara Jawa. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah jamaah haji pada pertengahan abad ke-19. Berangkat dari fenemona bersejarah ini, banyak peneliti mengkaji fungsi agama dalam kehidupan masyarakat Madura di beberapa abad lalu. Seperti dilakukan oleh Martin Van Bruinessen yang menyatakan dalam penelitiannya bahwa Makkah sudah menjadi kosmis ulama Nusantara. 

 

Di musim haji, sebagian dari jamaah haji asal Jawa dan Madura menggunakan kesempatan itu untuk menuntut ilmu ke ulama-ulama terkemuka sambil menunaikan ibadah haji di tanah Hijaz. Banyak ulama-ulama di semenanjung jazirah Arab dijadikan guru guna memperdalam ilmu agama. Hingga pada akhirnya mereka mengenal dunia Islam secara luas yang kemudian berimplikasi pada gerakan anti kolonialisme.

 

Setelah dahaganya terbayar, mereka pulang ke tanah kelahirannya untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama dan menjadikan koleksi bukunya yang ia bawa ke Indonesia sebagai rujukan dalam memecahkan persoalan masyarakat, tentunya juga memberikan seruan perlawanan (jihad fi sabilillah) kepada penjajah. Hukum wajib berperang yang diserukan oleh ulama, tidak hanya berdasarkan secara tekstual, melainkan menggunakan otoritasnya atau legitimasinya secara politik agar pribumi memiliki semangat juang tinggi dalam mengusir penjajah.

 

Tak hanya Thariqah Al-Mu'tabarah yang dibawa ke Nusantara, kitab-kitab yang dipelajarinya menjadi sumber inspirasi bagi warga, bahkan karya tulis yang sebagian besar dicetak dalam tulisan Arab Pegon (tulisan Arab berbahasa Jawa dan Madura) memberi pengaruh besar pada kehidupan masyarakat.

 

Selain itu, ijazah yang ia peroleh dari gurunya di tanah suci, memberikan penegasan pada masyarakat tentang pencantuman nama dalam suatu mata rantai pemgetahuan (sanad keilmuan) yang dikeluarkan oleh guru kepada muridnya yang dianggap menguasai dan mendapat izin dari guru untuk mengakarkannya kepada orang lain.

 

Dengan demikian, pesantren besar di Jawa Timur, seperti Tebuireng Jombang, Salafiyah Syafi'iyah Situbondo, Nurul Jadid dan Zainul Hasan Genggong Probolinggo, Al-Falah Kediri, Sidogiri Pasuruan, Lirboyo Kediri, Al-Khoziny Sidoarjo, Kademangan dan Kepang Bangkalan, Nazhatul Thullab Sampang, Banyuanyar dan Bata-Bata Pamekasan, Annuqayah Sumenep, mayoritas masyayikh pendahulunya menuntut ilmu ke tanah Hijaz sambil beribadah haji. Kini keberadaan pesantren di Indonesia menjadi episentrum peradaban dunia. 


Rehat Terbaru