Oleh: Achmad Roihan Jauhari *)
Siapa yang tak kenal dengan Gus Baha, seorang kiyai yang berpenampilan dengan sangat sederhana dengan ciri khasnya yang memakai kemeja putih berkopyah hitam dengan rambut depannya yang sedikit terlihat.
KH. Bahaudin Nur Salim atau akrab disapa Gus Baha merupakan salah satu kyai Nahdlatul ‘Ulama yang terkenal sangat alim dan memiliki banyak sekali muhibbin yang tersebar di Indonesia bahkan mancanegara. Selain punya keilmuan yang tinggi, gaya ceramah Gus Baha juga dianggap cukup menarik dan mudah dicerna oleh orang awam.
Diberbagai pengajiannya, seringkali beliau bersoloroh dengan memuji-muji dirinya sendiri dan mempublikasikan kelebihan-kelebihan dari dirinya, seperti kata-kata :
"Aku iku ulama," (Saya adalah seorang ulama’).
"Sakjane maqomku iku wes duwur, tapi berhubung aku dipasrahi santri koyo sampean, aku mudun maneh menggoblokkan diri" (Sebenarnya derajatku sudah tinggi, tetapi karena aku diamanahi santri seperti kalian, maka aku menurunkan derajatku dengan membodohkan diri untuk mengimbangi kalian).
"Aku iku apal Qur'an dan ribuan hadis, kok mbok saingi Arba'in, kalau ngajak debat iku mbok ya seimbang!" (Saya ini hafal Al-Qur’an dan ribuan hadis, tapi kok mau dihadapkan dengan kitab arba’in, kalau mengajak debat saya ya seharusnya seimbang)
dan masih banyak lagi.
Orang yang baru kenal dan pertama mengikuti kajiannya Gus Baha pasti akan timbul kesan, betapa sombongnya kyai ini. Namun, bagi para muhibbinnya tentu lebih memilih untuk berhusnudzon dengan beliau dan merasa dirinya tidak berhak menilai kyai yang memiliki samudra ilmu ini. Terlebih lagi, pastilah para muhibbinnya ini tahu akan karakter dan sifat Gus Baha yang sangat rendah hati.
Menurut penulis, beliau melontarkan kata-kata demikian itu pastilah memiliki dasar dan argumen yang jelas, tentunya dari Al-Qur’an, Hadis, maupun dari kitab-kitab kuning. Kalau kita melihat kitab-kitab klasik, ulama pada zaman dulu juga ada yang berperilaku demikian, maka jangan heran kalau ada orang alim yang suka memuji dirinya bahkan terkesan membanggakan diri sendiri seperti Gus Baha’. Salah satunya adalah Syaikh Abdul Wahhab As-Sya’roni dalam kitabnya Tanbiih al-Mughtariin.
فلذلك صرحت بكثير من الأخلاق التي من الله تعالى بها على دون أقراني بقولى : وهذا خلق غريب لم أجد من تخلق به في هذا الزمان غيرى تنبيها للسامعين على تخلقى به، وأننى ما دعوتهم إلى التخلق به إلا بعد تخلقى به، ولولا ذلك لكان الأولى بنا كتم ذلك عن الإخوان كبقية أعمالنا التي لم نر من يطلب الاقتداء بنا فيها، إذ لا فائدة في إظهار الأعمال إلا لأحد شيئين : إما ليقتدى الناس بالعبد فيها، وإما ليظهرها من باب الشكر الله تعالى، لا غير
Artinya: Oleh karena itu, saya memperjelas banyak akhlak yang dianugerahkan Allah SWT kepada saya yang tidak didapati ada pada teman-teman saya, dengan mengatakan: Ini adalah akhlak yang luar biasa, dan saya tidak menemukan siapa pun yang berakhlak seperti itu saat ini kecuali saya, sebagai peringatan kepada para pendengar atas diberikannya akhlak ini, dan sesungguhnya saya tidak mengajak mereka untuk berakhlak seperti itu sampai saya sudah berkahlak demikian, dan jika (tujuannya) bukan karena itu (peringatan), maka lebih baik kami merahasiakannya dari teman-teman saya. Sebagaimana perbuatan-perbuatan kami yang lain, yang belum pernah kami lihat ada orang yang ingin meneladani kami, karena hal tersebut tidak ada manfaatnya memperlihatkan amal kecuali pada salah satu dari dua hal berikut: agar seseorang meneladani/meniru amal perbuatan hamba yang lain, dan agar memperlihatkan amalnya mereka sebagai rasa syukur kepada Allah SWT, dan tidak ada yang lain.
Dalam ta’bir tersebut, Syaikh Abdul Wahhab As-Sya’roni menyebutkan alasan dirinya mengatakan hal yang terkesan memuji diri sendiri tersebut, yakni sebagai peringatan bagi pendengar untuk berakhlak seperti demikian, bahkan beliau menguatkan lagi bahwa jikalau tujuannya bukan sebagai peringatan bagi pendengar, maka lebih baik beliau merahasiakannya/ tidak mengumumkannya.
Dalam kitab tersebut, beliau juga mengatakan bahwa bolehnya memviralkan atau mengumumkan amal kebaikan tetapi harus memenuhi salah satu dari tujuan berikut :
1. Agar ditiru dan menjadi inspirasi bagi orang lain.
2. Untuk menunjukkan rasa syukur kita kepada Allah SWT.
Bahkan dalam kitab beliau yang lain, kitab Lathaif al-Minan wa al-Akhlaq fi Wujub al-Tahadduts bini'mati Allah 'ala al-Ithlaq, yang mana beliau menukil perkataan Sulthonul Auliya’ Syaikh Abu Al-Hasan As-Syadzili :
وكان الشيخ أبو الحسن الشاذلي يقول كثيراً لأصحابه : أعلنوا بطاعتكم إظهاراً لعبوديتكم كما يتظاهر غيرُكم بالمعاصي، وعليكم بالإعلام للناس بما منحكم الله تعالى من العلوم والمعارف
Artinya: Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili sering berpesan kepada santri-santrinya: Publikasikan ketaatanmu agar orang-orang tahu ibadahmu, sebagaimana orang lain mempertunjukkan kemaksiatannya. Publikasikan kepada orang banyak ilmu dan pengetahuan yang telah Allah ta'ala anugerahkan kepadamu.
Dari ta’bir tersebut, dapat dipahami bahwa mempublikasikan atau memviralkan suatu amal kebaikan diri sendiri itu diperbolehkan, hal tersebut tidak serta merta divonis sebagai bentuk perbuatan sombong, riya’ ataupun ujub. Selaras dengan hadis nabi dalam kitab al-Tanwiir Syarhu Jami’ al-Shaghiir juz 2 halaman 140 yang diriwayatkan oleh Sahabat Muadz bin Jabal :
إذا ظهرت البدع في أمتي وشتم أصحابي فليظهر العالم علمه فإن لم يفعل ذلك فعليه لعنة الله
Artinya: Apabila bid’ah merajalela (bid’ah yang bertentangan dengan syariat) dan sahabatku dicaci, maka hendaklah bagi orang yang berilmu menampakkan ilmunya sehingga kalau tak menampakkan, maka Allah akan menimpakan laknat.
Namun, dalam mempublikasikannya tentu tidak boleh timbul perasaan riya’ sedikitpun dalam hatinya yang nantinya dapat menggugurkan tujuan dari perbuatan mempublikasikannya tersebut. Hal ini didasarkan pada teks dalam kitab al-Zawaajir 'an Iqtiraafi al-Kabaair karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Hajar al-Haitami :
وَقَدْ يُمْدَحُ الْإِظْهَارُ فِيمَا يَتَعَذَّرُ الْإِسْرَارُ فِيهِ كَالْغَزْوِ وَالْحَجِّ وَالْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ، فَالْإِظْهَارُ الْمُبَادَرَةُ إلَيْهِ، وَإِظْهَارُ الرَّغْبَةِ فِيهِ لِلتَّحْرِيضِ بِشَرْطِ أَنْ لَا يَكُونَ فِيهِ شَائِبَةُ رِيَاءٍ
Artinya: Kadang menampakkan ibadah yang tidak bisa dirahasiakan menjadi terpuji, seperti berperang, melaksanakan haji, shalat jum'at, dan berjama'ah. Menampakkan tindakan dan hasrat untuk menjalankannya adalah dalam rangka memotivasi orang lain dengan syarat tidak tercemari oleh riya'.
Hal ini juga dikuatkan oleh hadis berikut :
عن عبد الله ابن مسعود رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لايدخل الجنة من كان فى قلبه مثقال ذرة من كبر, فقال رجل: إن الرجل يحب أن يكون ثوبه حسنا ونعله حسنة. قال إن الله جميل يحب الجمال (الكبر) بطر الحق وغمط الناس
Artinya: Dari Abdullah bin Mas’ud dari Rasulullah SAW berkata: tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada sifat sombong seberat dzarroh. Lantas ada seseorang yang berkata: sesungguhnya ada laki-laki yang suka berpakaian indah dan bersandal bagus. Nabi SAW bersabda “sesungguhnya Allah itu Indah dan suka keindahan. Sombong adalah menentang kebenaran dan memandang rendah orang lain. (HR. Muslim)
Dalam ta’bir tersebut, dapat dipahami bahwa salah satu syarat diperbolehkannya mempublikasikan amal kebaikan diri sendiri itu adalah hatinya tidak boleh tercemari oleh sifat riya’. Tentu hal ini sangatlah sulit bagi kita yang masih awam dalam menjalankannya, mungkin hanya segelintir orang yang dapat melakukannya. Maka, jangan coba-coba meniru perilaku Gus Baha’ yang nyentrik tersebut jika belum mencapai tingkatannya.
Berbeda halnya dengan para Nabi, Ulama, ataupun orang-orang sholih seperti Gus Baha’ yang sudah mampu menjaga hatinya dari perasaan riya’, tentu perbuatan menampakkan kebaikannya itu lebih utama daripada menyembunyikannya, sesuai dengan lanjutan dari ta’bir diatas :
وَالْحَاصِلُ: أَنَّهُ مَتَى خَلَصَ الْعَمَلُ مِنْ تِلْكَ الشَّوَائِبِ وَلَمْ يَكُنْ فِي إظْهَارِهِ إيذَاءٌ لِأَحَدٍ فَإِنْ كَانَ فِيهِ حَمْلٌ لِلنَّاسِ عَلَى الِاقْتِدَاءِ وَالتَّأَسِّي بِهِ فِي فِعْلِهِ ذَلِكَ الْخَيْرَ وَالْمُبَادَرَةِ إلَيْهِ لِكَوْنِهِ مِنْ الْعُلَمَاءِ أَوْ الصُّلَحَاءِ الَّذِينَ تُبَادِرُ الْكَافَّةُ إلَى الِاقْتِدَاءِ بِهِمْ، فَالْإِظْهَارُ أَفْضَلُ لِأَنَّهُ مَقَامُ الْأَنْبِيَاءِ وَوُرَّاثِهِمْ وَلَا يُخَصُّونَ إلَّا بِالْأَكْمَلِ.
Artinya: Kesimpulannya, sesungguhnya ketika suatu perbuatan tersebut bersih dari kotoran-kotoran tersebut (riya’) dan dalam menampakkan kebaikannya itu tidak merugikan siapa pun, dan jika (dengan perbuatannya itu) ia dapat memotivasi manusia untuk meniru dan mengikuti perbuatan baik tersebut dan dapat mengisnpirasikannya dikarenakan dia adalah seorang ulama atau orang shaleh yang mana mereka adalah orang-orang yang dapat memberikan inisiatif semua orang untuk menirunya, maka menampakkannya itu lebih baik karena mereka adalah orang-orang yang sudah mencapai maqom/tingkatan para nabi dan pewarisnya (ulama), dan mereka tidak ditunjuk kecuali yang paling sempurna.
Lantas, bagaimana kita menyikapi perilaku nyentrik Gus Baha’ tersebut?
Ditinjau dari kedudukan kita sebagai pendengar dari kajian beliau, tentu berprasangka baik (husnudzon) itu harus dikedepankan, terlebih lagi sifat sombong dan riya’ itu merupakan sifat tercela yang ada didalam hati. Hal ini dibuktikan dengan para ulama yang menempatkan pembahasan sifat sombong (al-Kibru) dan riya’ ke dalam bab tazkiyah al-qalbi di kitabnya.
Sesuai dengan kaidah “nahnu nahkumu bi al-dhawahir, wa Allah yatawalla al-sarair” (kita hanya menghukum apa yang tampak dan Allah SWT yang menghukum apa yang tersimpan di hati orang).
Dikuatkan lagi oleh hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud diatas yang menjelaskan secara tersirat mengenai larangan memvonis orang lain berbuat sombong. Maka, sudah sepatutnya kita sebagai seorang muslim untuk senantiasa berprasangka baik kepada seseorang, terlebih lagi orang tersebut merupakan seorang ulama, kyai, maupun tokoh agama seperti halnya Gus Baha’. Wallahu a’lam.
*Santri dan Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga