• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 20 April 2024

Tokoh

Mengenang Kegigihan Ibunda Gus Dur, Nyai Solihah Wahid Hasyim

Mengenang Kegigihan Ibunda Gus Dur, Nyai Solihah Wahid Hasyim
Ny Hj Munawwaroh atau Nyai Solihah Wahid
Ny Hj Munawwaroh atau Nyai Solihah Wahid

Haul atau peringatan wafatnya KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur akan selalu semarak. Yang merayakan tidak hanya di Jombang maupun Pesantren Ciganjur di Jakarta, juga kawasan lain di Tanah Air. Ini membuktikan bahwa Gus Dur benar-benar sosok yang diidamkan berbagai kalangan, lintas etnis, agama dan generasi.
 

Di balik sosoknya yang demikian fenomenal, ada kiprah perempuan yang demikian sentral sehingga membentuk watak Gus Dur yang demikian menonjol. Sosok itu tidak lain adalah ibundanya, Munawaroh atau Nyai Solihah Wahid Hasyim.

  

Perempuan yang dalam keseharian dipanggil Neng Waroh dan akhirnya dikenal dengan nama Sholihah Wahid tersebut lahir di Jombang, 11 Oktober 1922. Dia adalah anak kelima dari 10 bersaudara putri dari pasangan Kiai Bisri Syansuri (pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif, Denanyar, Jombang dengan Nyai Chadijah. 
 

Dikenal Sosok Menonjol
Sejak kecil, kehidupannya berada di lingkungan pesantren dengan pengawasan pendidikan yang cukup ketat dari kedua orang tuanya. Pendidikan awal yang diterimanya tak lain adalah pendidikan agama serta bahasa Arab sebagai bekal mengajar para santri putri di pesantren yang diasuh ayahnya. Kiai Bisri mendidik putrinya di madrasah diniyah yang dikelolanya dengan materi-materi pendidikan Islam tradisional sebagaimana diajarkan kepada santri. Hanya saja, sebagai bekal agar bisa membantu mengajar santri kelas bawah, Kiai Bisri memberikan tambahan pelajaran pribadi selesai shalat dzuhur dan isya kepada putra-putrinya termasuk Neng Waroh.
 

Menurut almaghfurlah KH Salahuddin Wahid atau Gus Sholah dalam buku Sama Tapi Berbeda: Potret Keluarga Besar KH A Wahid Hasyim, pendidikan yang diterima ibundanya adalah pendidikan yang kental dan sarat dengan nilai ajaran agama, yang mencapai tingkat setaraf pendidikan menengah pertama (madrasah tsanawiyah). 
 

“Namun, transfer nilai-nilai keislaman dari mbah yai (kakung) dan mbah nyai (putri) kepada ibu berjalan dengan baik terutama terkait keteladanan,” katanya. Kecerdasan intelektual Neng Waroh tampak ketika belajar bersama saudara-saudaranya. Dia lebih cepat bisa menyerap pelajaran dan memiliki kemampuan lebih karena kemauan serta rasa ingin tahunya. Semangat belajar serta mengamalkan apa yang dipelajarinya sangat tinggi, terbukti dengan ketekunan Neng Waroh dalam menuntut ilmu serta mengajarkannya kepada santri. 
 

Pengalaman mengajar santri, membuat Neng Waroh, berpengetahuan luas dan maju meski belum mengenal tulisan latin. Sifat kepemimpinannya sangat menonjol sejak kecil. Layaknya seorang manajer, dia memiliki banyak gagasan dan seringkali mengatur saudara-saudaranya untuk bertugas melakukan pekerjaan. Begitu pula kepada teman-temannya serta santri di pesantren tempat dia tinggal.  
 

Selain punya jiwa kepemimpinan, keberaniannya juga tampak sejak kecil. Terbukti, Seringkali dia turut serta melihat prosesi pemakaman orang-orang Tionghoa yang meninggal. Hal yang tak lazim dilakukan anak perempuan seusianya pada masa itu. Tak hanya sekadar melihat, bahkan Neng Waroh juga mengambil makanan-makanan yang dibawa para pengiring jenazah yang biasa ditinggalkan di area makam Bong Cino. Hal itu merupakan bukti semangat keingintahuan, keberanian, serta kemauan yang tinggi dari sosoknya. 
 

Sebenarnya, kedua orang tua Neng Waroh sudah mewanti-wanti agar dia tidak keluar sendirian tanpa seizin Kiai Bisri maupun Nyai Chadijah. Selain itu juga harus ditemani saudara laki-lakinya. Namun larangan itu kerap dilanggar jika memang dirasa dia punya keperluan penting dan merasa tidak ada bahaya yang mengancam. 
 

Melihat "kenakalan" putrinya, tak lantas membuat Kiai Bisri marah dan langsung menegurnya di depan umum. Sebagai ayah yang bijak, Kiai Bisri menasihati Neng Waroh seorang diri agar sang putri tak merasa malu dan minder. 
 

Lekat dengan Risiko 
Sikap berani mengambil risiko ini pula menjadi bekal Neng Waroh turut serta membantu perjuangan para relawan perang. Di tengah medan perang mempertahankan kemerdekaan, Neng Waroh menyusup sebagai kurir yang bertugas membawa makanan, pesan-pesan rahasia serta obat-obatan ke garis depan pejuang di daerah Mojokerto, Krian (Sidoarjo) dan Jombang.  
 

Meski di tengah kecamuk pertempuran, hal itu tak menyurutkan nyalinya bertugas sebagai kurir. Tugas yang membahayakan keselamatannya itu dilakukan oleh Nyai Solihah Wahid Hasyim. Semuanya demi usaha yang bisa dilakukan seorang perempuan untuk membantu perjuangan melawan penjajahan. 
 

Saat itu, Nyai Solihah yang tak lain adalah ibunda Presiden Keempat RI, Gus Dur masuk dalam jajaran anggota Fujinkai yang merupakan organisasi perempuan bikinan Jepang dan beranggotakan para istri-istri pejabat. Para perempuan pribumi banyak memanfaatkan organisasi ini untuk berjuang serta membantu para pejuang kemerdekaan, sebagaimana yang dilakukan Nyai Sholihah. 
 

Kisah kegigihan Nyai Solihah ini dituturkan oleh putra ketiganya, KH Salahuddin Wahid, ketika memaparkan perjuangan sang ibunda, Nyai Solihah Wahid pada masa kemerdekaan. “Ibu aktif dalam kegiatan dapur umum di Jombang yang bertugas membantu para pejuang kemerdekaan. Termasuk di dalamnya memberi dukungan moral dan menampung berbagai keluhan dari para pejuang dan prajurit,” ujarnya. 
 

Tak sebatas itu, perjuangan Nyai Solihah pun berlanjut tidak hanya pra kemerdekaan tapi juga pasca-kemerdekaan dengan perannya berkecimpung di NU dan juga lembaga legislatif mulai terpilih sebagai anggota DPRD hingga DPR RI. 
 

Semasa hidupnya, juga terlibat aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan di antaranya turut serta dalam kepengurusan Yayasan Dana Bantuan (YDB) sejak tahun 1958 sampai akhir hayatnya.


Editor:

Tokoh Terbaru