Fenomena fatherless dapat diartikan sebagai ketiadaan sosok ayah secara fisik maupun emosional. Hal ini sedang hangat diperbincangkan di ruang‑ruang digital anak muda. Secara fisik, fatherless berarti anak tidak memiliki ayah yang tinggal bersamanya, bisa disebabkan kematian ayah, perceraian, atau pekerjaan ayah yang jauh dari rumah.
Sedangkan secara emosional, fatherless berarti anak tidak memiliki hubungan yang dekat dengan ayahnya. Ini disebabkan karena ayah yang tidak bertanggung jawab, ayah yang mungkin tidak terlibat langsung dalam pengasuhan anak, atau mungkin anak tidak merasa dekat dengan ayahnya. Anak yang mengalami fatherless berisiko mengalami masalah emosional, seperti depresi, kecemasan, dan masalah harga diri. Lantas bagaimana peran ayah dalam keluarga menurut perspektif Islam?
Jamak diketahui, bahwa ayah merupakan sosok yang penuh cinta dan kasih sayang, menjadi pilar utama dalam keluarga. Ayah juga memiliki banyak peran dalam keluarga, tidak hanya sebagai pencari nafkah, tetapi juga sebagai panutan, pembimbing, dan sahabat bagi anak-anaknya. Dalam Al-Qur'an telah dijelaskan terkait peran ayah dalam kehidupan keluarga terutama bagi anak-anaknya. Setidaknya ada 4 peran ayah dalam keluarga yang telah dijelaskan oleh Al-Qur'an.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
1. Sebagai Pendidik
Baca Juga
Keutamaan Doa Ayah kepada Anaknya
Seorang ayah memiliki tanggung jawab untuk selalu memberi nasehat kepada anak-anaknya, terlebih masalah keimanan agar tidak menyekutukan Allah SWT. Hal ini sebagaimana disebutkan Al-Qur’an surat Luqman ayat 13 sebagai berikut:
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ
Artinya: “(Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat dia menasihatinya, “Wahai anakku, janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman [31]: 13).
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Menurut Quraish Shihab dalam tafsirnya, kata ya’iẓuhû terambil dari kata wa’ẓa yaitu nasihat berbagai kebajikan dengan cara yang menyentuh hati. Kata ini juga mengisyaratkan bahwa nasihat itu dilakukan dari saat ke saat. Hal ini seperti dipahami dari bentuk kata kerja masa kini dan akan datang pada kata ya’iẓuhû. Dalam ayat ini Luqman menegaskan kepada anaknya agar tidak menyekutukan Allah karena merupakan kezaliman yang besar. Begitu pula pada ayat selanjutnya (ayat 16-19) yang berisi nasihat-nasihat Luqman kepada anaknya. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, [Jakarta: Gema Insani Press, 2002 M], vol 11 halaman 126).
2. Membangun Kebersamaan dengan Anak
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Peran seorang ayah sangat dibutuhkan oleh tumbuh kembang anak. Karena kehidupan anak tidak selalu dalam keterlibatan ibu, ayah juga berperan penting untuk bersama-sama dengan anaknya, seperti jalan bersama, dan mendengarkan curahan hati si anak. Dalam Al-Qur’an Surat As-Shaffat [37]: 102 digambarkan kisah Nabi Ibrahim dan anaknya sebagai berikut:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
Artinya: “Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.” (QS. As-Shaffat [37]: 102).
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Belajar dari ayat di atas, sejatinya, keterbukaan dalam komunikasi merupakan salah satu kunci utama dalam membangun hubungan yang sehat dan harmonis, terutama dalam konteks hubungan antara orang tua dan anak. Dalam kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, keterbukaan dalam komunikasi terlihat jelas bagaimana Nabi Ibrahim menceritakan rencana pengorbanan kepada putranya.
Dan dari kisah di atas mengilustrasikan dialog yang penuh penghormatan ketika Ibrahim menggunakan kata “ya bunayya” yang mencerminkan pendekatan penuh kasih dalam berkomunikasi dengan anak. Kata panggilan tersebut digunakan ketika menyampaikan perintah Allah SWT untuk menyembelih putranya. Dialog ini mencerminkan kepercayaan mendalam antara ayah dan anak.
3. Sosok yang senantiasa menjadi penasihat
Seperti halnya Nabi Ibrahim AS, seorang ayah yang tak henti-hentinya memberi nasihat kepada anak-anaknya. Sosok ayah yang tangguh dan penuh kekhawatiran terhadap nasib anak-anaknya. Hal ini dapat dilihat dalam surat Al-Baqarah ayat 132:
وَوَصّٰى بِهَآ اِبْرٰهٖمُ بَنِيْهِ وَيَعْقُوْبُۗ يٰبَنِيَّ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰى لَكُمُ الدِّيْنَ فَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
Artinya: Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya dan demikian pula Ya‘qub, “Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu. Janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS. Al-Baqarah [2]: 132).
Dalam ayat ini, Nabi Ibrahim tak henti-hentinya memberi nasihat dan wasiat kepada anak-anaknya (keturunanya) agar senantiasa mengikuti dan berpegang teguh pada agama Islam. Sebagaimana penjelasan Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsirnya,
وَوَصَّى إِبْرَاهِيمُ بِوَصِيَّةِ اللَّهِ بِٱلتَّمَسُّكِ بِٱلْإِسْلَامِ أَبْنَاءَهُ، وَأَوْصَى يَعْقُوبُ (إِسْرَائِيلُ) بَنِيهِ بِذَلِكَ، كَمَا أَوْصَى إِبْرَاهِيمُ، قَائِلًا لَهُمْ: يَا أَبْنَائِي، إِنَّ ٱللَّهَ ٱخْتَارَ لَكُمُ ٱلْمِلَّةَ ٱلَّتِي يَجِيءُ بِهَا مُحَمَّدٌ ﷺ، فَهِيَ صَفْوَةُ ٱلْأَدْيَانِ، فَٱلْزَمُوا ٱلْإِسْلَامَ، وَلَا يَأْتِيَكُمُ ٱلْمَوْتُ إِلَّا وَأَنْتُمْ عَلَى ٱلْإِسْلَامِ
Artinya: Dan Ibrahim mewasiatkan kepada anak-anaknya untuk berpegang teguh pada Islam sebagai wasiat dari Allah, dan begitu pula Ya‘qub (Bani Israel) mewasiatkan hal yang sama kepada anak-anaknya, sebagaimana yang telah diwasiatkan oleh Ibrahim. Ia berkata kepada mereka: “Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih untuk kalian agama (ajaran) yang akan dibawa oleh Muhammad ﷺ. Ia adalah inti dari segala agama, maka berpeganglah teguhlah kalian pada Islam, dan jangan sampai kematian menjemput kalian kecuali dalam keadaan beragama Islam.” (Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Wajiz, [Damaskus: Dar Al-Fikri, 1993 M], halaman 21).
4. Sebagai Pelindung dan Pengayom
Secara tegas Al-Qur’an memerintahkan kepada pemimpin keluarga agar bertanggung jawab penuh atas keluarganya. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam surat At-Tahrim ayat 6 sebagai berikut:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. At-Tahrim [66]: 6).
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bagaimana seorang kepala keluarga atau ayah menjaga keluarganya dari api neraka dengan beberapa cara berikut,
وقال عليُّ بنُ أبي طلحة، عنِ ابنِ عبَّاسٍ: ﴿ قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا ﴾ يقولُ: اعْمَلُوا بِطَاعَةِ اللَّهِ، وَاتَّقُوا مَعَاصِيَ اللَّهِ، وَمُرُوا أَهْلِيكُمْ بِالذِّكْرِ، يُنَجِّكُمُ اللَّهُ مِنَ النَّارِ
وقال مُجَاهِدٌ: ﴿ قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا ﴾ قال: اتَّقُوا اللَّهَ، وَأَوْصُوا أَهْلِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ
وقال قَتَادَةُ: يَأْمُرُهُمْ بِطَاعَةِ اللَّهِ، وَيَنْهَاهُمْ عَنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ، وَأَنْ يَقُومَ عَلَيْهِمْ بِأَمْرِ اللَّهِ، وَيَأْمُرَهُمْ بِهِ، وَيُسَاعِدَهُمْ عَلَيْهِ، فَإِذَا رَأَيْتَ لِلَّهِ مَعْصِيَةً، مَنَعْتَهُمْ عَنْهَا، وَزَجَرْتَهُمْ عَنْهَا
Artinya: Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas:
"Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka" (QS. At-Tahrim: 6). Ia berkata: “Laksanakanlah ketaatan kepada Allah, jauhilah maksiat kepada-Nya, dan perintahkanlah keluargamu untuk berdzikir (mengingat Allah), niscaya Allah akan menyelamatkan kalian dari api neraka.”
Mujahid berpendapat dalam tafsir ayat: "Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka". Dan ia berkata: “Bertakwalah kepada Allah dan wasiatkanlah kepada keluargamu agar bertakwa kepada Allah.”
Qatadah berkata: (Ayat ini bermakna bahwa) Allah memerintahkan mereka untuk taat kepada-Nya, melarang mereka dari bermaksiat kepada-Nya, dan agar seorang (kepala keluarga) menegakkan urusan Allah atas keluarganya, memerintahkan mereka dengannya, dan membimbing mereka untuk melakukannya. Maka, apabila engkau melihat adanya maksiat kepada Allah, engkau harus mencegah dan melarang mereka darinya. (Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil Azhim, [Riyadh, Dar Thayyibah lin Nasyri wa Tauzi’: 1999 M/ 1420 H], juz 8, halaman 167).
Jadi, pada hakikatnya dalam sebuah keluarga tidak hanya peran ibu yang dibutuhkan, namun juga peran ayah juga sangat dibutuhkan untuk memberi warna yang berbeda dalam proses perkembangan anak. Dan ketika memasuki area kepenasuhan anak, tentu seorang ayah akan memerankan perannya sebagai pendidik, pembina, pengarah, pelindung. Karena sejatinya anak membutuhkan peran seorang ayah.
Maka dari itu, beberapa ayat Al-Qur'an di atas telah menjelaskan bagaimana peran ayah dalam mendidik anaknya. Dan masih sangat relevan untuk diaplikasikan dalam konteks kekinian, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh beberapa sosok ayah ideal, seperti Nabi Nuh AS, Nabi Ibrahim As, dan Lukman. Wallahu a'lam.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND