Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network

Madura

Wakil Ketua NU Sumenep Sebut Budaya di Indonesia Ekspresi Islam Nusantara

Ach Zubairi Karim, Wakil Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep. (Foto: NOJ/Firdausi)

Sumenep, NU Online Jatim

Ach Zubairi Karim, Wakil Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep mengatakan, budaya itu partikuler yang berkaitan dengan waktu dan zaman. Saat Islam diterima di Nusantara, maka corak Islamnya tidak memakai corak Arab. Pasalnya, warga mengekspresikannya lewat budaya.


Pernyataan ini disampaikan saat mengisi materi di acara Latihan Kader Muda (Lakmud) yang dihelat oleh Pimpinan Anak Cabang (PAC) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPNU-IPPNU) Pragaan, Sumenep, Sabtu (14/01/2023).


“Ada beberapa orang yang memasukkan budaya pakaian, makan, bahasa menjadi bagian dari agama. Jenggot itu sunnah sama dengan berbusana ala Nusantara, seperti batik, kebaya, songkok nasional, dan lainnya,” katanya di aula Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Pragaan.


Hal terpenting, kata dia, busana itu menutupi aurat. Di sinilah pandangan NU ada di tengah-tengah. Jadi, digelorakannya Islam Nusantara guna membendung gerakan transnasional. Tak hanya itu, isi di dalam maulid nabi, puasa, membaca Al-Qur’an, mengisahkan perjalanan nabi dari kecil hingga tiada, membaca shalawat nabi dan bersedekah menurutnya tidak ada yang melenceng dari agama.


“Mereka yang menolak, tidak menggunakan ijma’ dan qiyas. Padahal banyak di dalam ayat-ayat Zhanni yag ditafsiri oleh Imam mazhab. Oleh karenanya, ada perbedaan misalnya, ada yang membatalkan dan tidak membatalkan wudhu seseorang saat menyentuh kulit perempuan secara tidak sengaja,” paparnya.


Berbeda dengan ayat Qath’i yang tidak boleh diubah, karena berkaitan dengan rukun Iman dan Islam, seperti jumlah rakaat shalat maghrib tidak boleh ditambah dan dikurangi.


“Dengan demikian, yang disebut bid’ah yang tidak ada dalilnya,” terangnya.


Ia memberikan contoh lagi, di masa nabi seorang muazin mengumandangkan azan di tempat yang tinggi. Di zaman ini, muazinnya ada di bawah, sedangkan loudspeakernya ada di atas menara. Oleh karenanya, ia meminta untuk melihat substansinya.


“Karena peristiwa di abad kontemporer ini mengedepankan wal akhdzu bil jadidil ashlah,” ungkapnya.


Zubairi menerangkan, mazhab bagian dari manhajul fikr Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) atau dikenal gaya dan paradigma berpikir sehingga bisa dipakai di semua bidang. Karakteristik ini pada dasarnya memadukan antara teks dan akal. Dari sinilah ulama-ulama NU bermusyawarah saat menghadapi hukum baru.


“Di masa nabi tidak ada bank. Juga nabi meminta pada sahabat untuk mengajari anaknya memanah dan berkuda. Bahkan nabi megeluarkan zakat menggunakan gandum, roti dan kurma sebagai makanan pokok,” tandasnya.


Alumni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk ini mengimbau agar tidak terpengaruh pada pertanyaan menjebak, seperti seseorang diminta memilih antara Islam dan Pancasila. Baginya, pertanyaan itu tidak sebanding, karena Islam adalah agama, Pancasila adalah ideologi negara.


“Tidak ada satupun sila yang bertentangan dengan Al-Qur’an,” pungkasnya.

Firdausi
Editor: Yulia Novita Hanum

Artikel Terkait