• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 29 Maret 2024

Madura

Perbedaan Agama dan Budaya menurut Wakil Ketua NU Sumenep

Perbedaan Agama dan Budaya menurut Wakil Ketua NU Sumenep
Wakil Ketua PCNU Sumenep, Ach Zubairi Karim. (Foto: NOJ/ Firdausi)
Wakil Ketua PCNU Sumenep, Ach Zubairi Karim. (Foto: NOJ/ Firdausi)

Sumenep, NU Online Jatim

Wakil Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep, Ach Zubairi Karim mengatakan, agama itu datangnya dari Allah dan yang menafsiri banyak, sedangkan budaya berasal dari manusia. Hubungan agama dan budaya menjadi tradisi amaliyah keagamaan yang dilakukan warga NU.


“Hanya saja bagi sebagian kelompok dipahami sebagai tindakan yang sesat,” ujar Zubairi saat Latihan Kader Muda (Lakmud) oleh Pimpinan Anak Cabang (PAC) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPNU-IPPNU) Pragaan, Sumenep, Sabtu (14/01/2023).


Ia menyampaikan, ada sebuah pekerjaan yang tidak dilakukan Rasulullah, tetapi dibenarkan olehnya. Diceritakan oleh Zubairi, salah satu sahabat Nabi mengimami shalat fardhu dengan membaca surat Al-Ikhlas secara terus menerus atau di rakaat setelahnya tidak membaca surat lainnya. Saat ditanya oleh Nabi, ia menjawab bahwa di dalam surat tersebut terdapat sifat-sifat Allah.


“Saking cintanya pada surat Al-Ikhlas, sahabat tersebut dicintai oleh Allah SWT,” ungkapnya pada peserta Lakmud yang mengikuti acara di aula Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Pragaan, Sumenep.


Contoh lainnya, lanjutnya, di saat sahabat bermakmum pada Nabi, tepatnya saat i’tidal, salah satu sahabat membaca doa hamdan katsiran thayyiban mubarakan. Saat sahabat itu mengakuinya, tiba-tiba Nabi mengatakan, sekitar 30 malaikat atau disebutkan dalam hadits lain sekitar 12 malaikat berebut mencatat kalimat yang dibacakan oleh sahabat itu karena disukai oleh Allah.


Alumni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk itu menegaskan, hal-hal yang tidak dilakukan Nabi memiliki landasan dalil. Oleh karenanya, ulama NU membagi bid’ah menjadi dua dimensi, yaitu bid’ah mahmudah dan madzmumah. Di Indonesia, bid’ah masuk dalam proses kebudayaan.


“Tahlil adalah bacaannya, tahlilan adalah tradisi pembacaan tahlil. Yasin adalah pembacaan surat yasin, yasinan tradisi pembacaan surat yasin yang biasa dibaca setiap malam Jum’at oleh Nahdliyin di seluruh penjuru dunia. Tradisi itu memiliki sandaran dalil,” sergahnya.


Lebih lanjut, nilai agamanya terdapat dalam tahlil, sebagaimana sabda Nabi, jika imam seseorang ingin diperbaiki, maka perbanyaklah membaca lafadz la ilaha illallahu. Yang paling membuat umat Islam tercengang, sambungnya, saat peristiwa Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah mendengar suara sandal Bilal bin Rabah di surga.


“Ketika ditanya oleh Nabi, sahabat Bilal menerangkan bahwa usai melakukan wudhu ia melakukan shalat dua rakaat li syukril wudhu. Perbuatan ini tidak dilakukan oleh Nabi. Jika memang tidak dibenarkan, berarti sahabat Bilal telah melakukan bid’ah,” paparnya.


Dikisahkan, awalnya sahabat Abu Bakar RA menolak permintaan Umar bin Khattab melakukan pengumpulan Al-Qur’an yang ada di Suhuf atau lempengan tulisan Qur’an yang ada di kulit hewan, batu, pelepah daun, dan sejenisnya. Penolakan itu dilandasi alasan bahwa nabi tidak pernah menyuruh untuk mengumpulkannya.


“Di saat 40 huffadz gugur di medan peperangan, sahabat Abu Bakar mulai lunak dan meminta kepada Zaid bin Tsabit, seorang penulis wahyu Allah, untuk mengumpulkan Suhuf. Seandainya pengumpulan itu dikatakan bid’ah, lalu dengan cara apa kita bisa membaca Qur’an,” tanya Zubairi.


Menurutnya, jika di zaman Nabi para sahabat menyelesaikan problem dinamika masyarakat. Namun ketika wafat, umat Nabi mau bertanya kepada siapa. Peristiwa budaya inilah terus berkembang dari masa ke masa. Oleh karenanya, ia meminta kepada pelajar NU agar bisa membedakan antara agama dan budaya.


“Sekali pun amaliyah baru, tutur dia, tradisi mengumpulkan jamaah dalam tahlilan termasuk bid’ah hasanah. Pasalnya yang dibaca adalah surat-surat Al-Qur’an, shalawat nabi, kalimat hailalah, dan lainnya yang memiliki dalil,” tandasnya.


Madura Terbaru