• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Matraman

Pandangan Islam dan Jawa tentang Budaya Tingkeban

Pandangan Islam dan Jawa tentang Budaya Tingkeban
Halal Bihalal dan Ngaji Budaya Tingkeban oleh PC Fatayat NU Pacitan. (Foto: NOJ/ Risalatul Mu'awanah)
Halal Bihalal dan Ngaji Budaya Tingkeban oleh PC Fatayat NU Pacitan. (Foto: NOJ/ Risalatul Mu'awanah)

Pacitan, NU Online Jatim
Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Pacitan, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Heru Arif Pianto Dwijonagoro mengatakan, bahwa budaya tingkeban harus tetap dijaga meskipun masih banyak terjadi multi tafsir dalam memahaminya.


"Orang Jawa jangan hilang budaya jawanya. Dengan kearifan lokal yang ada, tingkeban sangat perlu untuk dilestarikan," katanya saat Halal Bihalal dan Ngaji Budaya Tingkeban yang digelar Pimpinan Cabang (PC) Fatayat NU Pacitan. Kegiatan tersebut dipusatkan di Aula Kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) setempat, Kamis (26/05/2022).


Ia menjelaskan, budaya tingkeban merupakan salah satu ritual memohon keselamatan yang dilakukan pada usia tujuh bulan kehamilan atau dalam istilah Jawa biasa disebut Mitoni. Tata cara dan pelaksanaan tingkeban sudah diatur sedemikian rupa, yang mengacu pada perhitungan Jawa.


"Namanya saja Mitoni, jadi tidak dilaksanakan pada sembarang waktu. Semuanya sudah ada aturannya," ungkap lulusan pascasarjana Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini.


Disebutkan, ada berbagai tahapan yang perlu dilaksanakan dalam ritual tingkeban. Kegiatan ini bisa dilaksanakan pada siang atau malam hari, tergantung pada penasihat spiritual yang ada di lingkungan masing-masing.


Diawali dengan memandikan calon ibu bayi oleh keluarga terdekat, memberikan sedekah yang didoakan oleh tokoh masyarakat atau penasihat spiritual, pembacaan ayat-ayat Al-Qur'an dan ditutup dengan memberikan jamuan kepada warga yang diundang.


"Semua rangkaian acara memiliki filosofi tersendiri, baik secara spiritual, sosial maupun estetika," jelas KRT Heru.


Sajian Khusus dalam Tingkeban
Pria kelahiran 1984 itu menjelaskan, ada berbagai aneka makanan yang harus disajikan dalam kegiatan ritual. Sajian khusus tersebut di antaranya nasi tumpeng lima buah. Dengan komposisi, satu buah induk tumpeng berukuran besar dan empat tumpeng berukuran kecil yang diletakkan mengelilingi induknya.


Selain itu, juga terdapat jenang tulak, jenang brojol, jenang abang, semoyo, sekar (kembang tujuh rupa) dan juga kembang boreh.


"Meskipun demikian, setiap daerah biasanya memiliki kearifan lokal masing-masing dalam melaksanakan tingkeban ini," ujarnya.


Dirinya mengimbau, budaya tingkeban yang memiliki banyak manfaat ini dapat disikapi dengan bijak. Karena disadari ataupun tidak, peran budaya dalam mengenalkan ajaran Islam kepada masyarakat sangatlah besar.


"Kita sebagai generasi yang berbudaya harus mampu memahami dengan bijak. Karena pada hakikatnya, ilmu sejarah itu memang multidimensi dan multitafsir, tergantung bagaimana kita menyikapinya," tuturnya.


Tingkeban dalam Pandangan Islam
Sementara itu, Ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU) Pacitan, H Hamka Hakim mengungkapkan, dalam ajaran Islam tingkeban merupakan salah satu budaya yang boleh dilakukan. Karena, secara esensi tidak ada nilai-nilai agama yang dilanggar.


Menurutnya, kegiatan berdoa, sedekah sebagai ungkapan rasa syukur, serta mengumpulkan tetangga untuk silaturahim semuanya merupakan hal yang positif.


"Perkara jenang brojol, jenang abang, semoyo dan lainnya, Islam tidak melarang berdoa dengan perantara atau wasilah. Itu sudah ada contoh dari Rasulullah SAW," terang Gus Hamka.


Ia mengingatkan, tradisi neloni atau mitoni memang baik. Namun esensi dari berdoa bukan hanya pada momentum tersebut, melainkan setiap saat sangat dianjurkan untuk tetap memohon pertolongan dari Allah SWT.


"Mendoakan anak jangan hanya waktu tiga bulan ataupun tujuh bulan. Membacakan ayat-ayat Al-Qur'an, shalawat nabi, dan doa-doa sebaiknya ya setiap hari dilakukan," tuturnya.


Diketahui, kegiatan yang bertajuk 'Menjaga Tradisi dan Budaya, Merawat Kebhinekaan' ini diikuti oleh utusan Pimpinan Anak Cabang (PAC) Fatayat NU se-Kabupaten Pacitan.


Matraman Terbaru