Harapan Fatayat NU Nganjuk terkait Isu Kekerasan Perempuan dan Anak
Sabtu, 19 Oktober 2024 | 21:30 WIB
Nganjuk, NU Online Jatim
Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) menunjukkan ada 1.728 kasus kekerasan pada perempuan dan anak di Jawa Timur, disusul Jawa Tengah 1.603 kasus dan Sulawesi Selatan 1.111 kasus.
Angka tersebut menjadikan Jawa Timur menjadi provinsi yang memiliki kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tertinggi di Indonesia.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Ketua Pimpinan Cabang (PC) Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Nganjuk, Muamanah mengatakan, tingginya kasus di Provinsi Jawa Timur harus mendapatkan perhatian serius, terlebih saat ini tengah berlangsung rangkaian pilihan gubernur atau Pilgub Jatim.
“Kami berharap isu kekerasan terhadap anak bisa menjadi fokus utama oleh para calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur, mengingat anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus dijaga dan dilindungi,” ujarnya saat dihubungi NU Online Jatim, Sabtu (19/10/2024).
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Alumnus Universitas Pangeran Diponegoro Nganjuk menyebut, ketiga calon gubernur yang berkompetisi adalah perempuan, sehingga seharusnya akan lebih peka terhadap isu-isu kekerasan terhadap kaum perempuan.
“Tentu seharusnya para cagub mempunyai kepedulian bagi sesamanya terkait penanganannya seperti kekerasan seksual, perdagangan orang dan kasus-kasus yang ada lainnya,” katanya.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Muamanah berharap kepada cagub untuk mengoptimalkan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Masalah Perempuan dan Anak (PMPA) Provinsi Jatim dalam menyelesaikan persoalan dengan koordinatif kolaboratif.
Termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan hukum pidana atas tindakan kriminal yang dilakukan kepada para korban dari kalangan perempuan dan anak. “Kami mengingankan hukuman berat bagi pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak jika terbukti bersalah,” tegasnya.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Menyinggung soal isu kesetaraan gender, Muamanah menerangkan, sebagian besar stereotip gender pada akhirnya yang melekat pada anak-anak justru muncul dari orang tuanya sendiri. “Sering kali orang tua tidak menyadari bahwa mereka sendirilah yang mengajarkan anak untuk membedakan gender berdasarkan atribut warna, jenis permainan, profesi dan lain-lain,” jelasnya.
Muamanah mengaku, konsep kesetaraan gender adalah hal abstrak, sehingga diperlukan keahlian untuk mengajarkannya ke dalam cara yang praktis agar mudah dipahami anak-anak. Intinya dari hal paling mudah seperti mengajarkan anak untuk menghargai perbedaan dan saling menghormati tanpa memandang jenis kelamin.
“Memberikan pemahaman bahwa perempuan dan laki-laki memiliki potensi yang sama untuk meraih kesuksesan dalam berbagai bidang dan memberikan contoh bahwa tugas rumah tangga tidak tergantung pada jenis kelamin,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
ADVERTISEMENT BY ANYMIND