• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 19 April 2024

Keislaman

5 Tips Mengendalikan Amarah menurut Imam al-Ghazali 

5 Tips Mengendalikan Amarah menurut Imam al-Ghazali 
Imam al-Ghazali memberikan 5 tips saat diri dikuasai amarah. (Foto: NOJ/KJi)
Imam al-Ghazali memberikan 5 tips saat diri dikuasai amarah. (Foto: NOJ/KJi)

5 tips ini disarikan dari pandangan Imam al-Ghazali dalam upaya mengendalikan amarah. Karena kondisi hati manusia sangat rentan untuk berubah. Ada saatnya penuh kelembutan, sabar dan memberikan perhatian. Namun dalam waktu yang tidak lama berubah menjadi amarah, emosi, dan tidak terkendali. 

 

Karenanya, Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip Syekh Jamaluddin al-Qasimi dalam kitab Mau’idhah al-Mu’mini min Ihya’ Ulum al-Din, halaman 208 memberikan penjelasan. Bahwa ada 5 tips yang perlu diperhatikan untuk mengendalikan amarah.

 

 الْأَوَّلُ: أَنْ يَتَفَكَّرَ فِيمَا وَرَدَ فِي فَضْلِ كَظْمِ الْغَيْظِ وَالْعَفْوِ وَالْحِلْمِ وَالِاحْتِمَالِ، فَيَرْغَبَ فِي ثَوَابِهِ، وَتَمْنَعُهُ الرَّغْبَةُ فِي الْأَجْرِ عَنِ الِانْتِقَامِ، وَيَنْطَفِئُ عَنْهُ غَيْظُهُ. 

 

1. Berpikir ayat atau hadits Nabi tentang keutamaan menahan amarah, memaafkan, bersikap ramah dan menahan diri. Sehingga dirinya terdorong untuk menggapai pahalanya, dan mencegah dirinya untuk membalas, serta dapat memadamkan amarahnya.

 

 

 الثَّانِي: أَنْ يُخَوِّفَ نَفْسَهُ بِعِقَابِ اللَّهِ لَوْ أَمْضَى غَضَبَهُ، وَهَلْ يَأْمَنُ مِنْ غَضَبِ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَهُوَ أَحْوَجُ مَا يَكُونُ إِلَى الْعَفْوِ 

 

2. Menakut-nakuti diri dengan siksa Allah bila ia tetap meluapkan amarahnya. Apakah ia aman dari murka Allah di hari kiamat? Padahal ia sangat membutuhkan pengampunan.


 الثَّالِثُ: أَنْ يُحَذِّرَ نَفْسَهُ عَاقِبَةَ الْعَدَاوَةِ وَالِانْتِقَامِ، وَتَشَمُّرَ الْعَدُوِّ لِمُقَابَلَتِهِ، وَالسَّعْيِ فِي هَدْمِ أَغْرَاضِهِ، وَالشَّمَاتَةِ بِمَصَائِبِهِ، وَهُوَ لَا يَخْلُو عَنِ الْمَصَائِبِ، فَيُخَوِّفُ نَفْسَهُ بِعَوَاقِبِ الْغَضَبِ فِي الدُّنْيَا إِنْ كَانَ لَا يَخَافُ مِنَ الْآخِرَةِ. 

 

3. Menakut-nakuti dirinya tentang akibat dari permusuhan dan pembalasan, bagaimana sergapan musuh untuk membalasnya, menggagalkan rencana-rencananya serta bahagianya musuh saat ia tertimpa musibah, padahal seseorang tidak bisa lepas dari musibah-musibah. Takut-takutilah diri sendiri dengan dampak (buruk) amarah di dunia, bila ia belum bisa takut dari siksaan di akhirat kelak.

 

 الرَّابِعُ: أَنْ يَتَفَكَّرَ فِي قُبْحِ صُورَتِهِ عِنْدَ الْغَضَبِ، بِأَنْ يَتَذَكَّرَ صُورَةَ غَيْرِهِ فِي حَالَةِ الْغَضَبِ، وَيَتَفَكَّرَ فِي قُبْحِ الْغَضَبِ فِي نَفْسِهِ، وَمُشَابَهَةِ صَاحِبِهِ لِلْكَلْبِ الضَّارِي وَالسَّبُعِ الْعَادِي، وَمُشَابَهَةِ الْحَلِيمِ الْهَادِي التَّارِكِ لِلْغَضَبِ لِلْأَنْبِيَاءِ وَالْأَوْلِيَاءِ وَالْعُلَمَاءِ وَالْحُكَمَاءِ، وَيُخَيِّرَ نَفْسَهُ بَيْنَ أَنْ يَتَشَبَّهَ بِالْكِلَابِ وَالسِّبَاعِ وَأَرَاذِلِ النَّاسِ، وَبَيْنَ أَنْ يَتَشَبَّهَ بِالْعُلَمَاءِ وَالْأَنْبِيَاءِ فِي عَادَتِهِمْ؛ لِتَمِيلَ نَفْسُهُ إِلَى حُبِّ الِاقْتِدَاءِ بِهَؤُلَاءِ إِنْ كَانَ قَدْ بَقِيَ مَعَهُ مُسْكَةٌ مِنْ عَقْلٍ 

 

4. Berpikir bagaimana buruknya muka ketika marah. Bayangkan bagaimana raut muka orang lain saat marah, berpikirlah tentang buruknya marah di dalam dirinya, berpikirlah bahwa saat marah ia seperti anjing yang membahayakan dan binatang buas yang mengancam, berpikirlah untuk menyerupai orang ramah yang dapat menahan amarah layaknya para nabi, wali, ulama dan para bijak bestari. Berilah pilihan untuk dirimu, apakah lebih memilih serupa dengan anjing, binatang buas dan manusia-manusia hina; ataukah memilih untuk menyerupai ulama dan para nabi di dalam kebiasaan mereka? Agar hatinya condong untuk suka meniru perilaku mereka jika ia masih menyisakan satu tangkai dari akal sehat.


 الْخَامِسُ: أَنْ يَتَفَكَّرَ فِي السَّبَبِ الَّذِي يَدْعُوهُ إِلَى الِانْتِقَامِ وَيَمْنَعُهُ مِنْ كَظْمِ الْغَيْظِ، مِثْلَ قَوْلِ الشَّيْطَانِ لَهُ: إِنَّ هَذَا يُحْمَلُ مِنْكَ عَلَى الْعَجْزِ وَالذِّلَّةِ وَتَصِيرُ حَقِيرًا فِي أَعْيُنِ النَّاسِ فَيَقُولُ لِنَفْسِهِ: «مَا أَعْجَبَكِ! تَأْنَفِينَ مِنَ الِاحْتِمَالِ الْآنَ، وَلَا تَأْنَفِينَ مِنْ خِزْيِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَلَا تَحْذَرِينَ مِنْ أَنْ تَصْغُرِي عِنْدَ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّبِيِّينَ» . 

 

5. Berpikir tentang sebab yang mendorongnya untuk membalas dan mencegahnya dari menahan amarah, semisal ketika dalam hati terdapat bujuk rayu setan; ‘Sesungguhnya orang ini membuatmu lemah dan rendah serta menjadikanmu hina di mata manusia’, maka jawablah dengan tegas di hatimu ‘Aku heran denganmu. Kamu sekarang mencemoohku karena menahan diri, sedangkan kamu tidak mencemooh dari kehinaan di hari kiamat. Kamu tidak khawatir dirimu akan hina di sisi Allah, para malaikat dan para Nabi’.

 

 فَمَهْمَا كَظَمَ الْغَيْظَ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكْظِمَهُ لِلَّهِ، وَذَلِكَ يُعَظِّمُهُ عِنْدَ الله   

 

Artinya: Ketika ia menahan amarah, maka seyogiayanya menahan amarah karena Allah. Yang demikian itu bisa membuatnya agung di sisi Allah. 
 

Semoga dengan lima langkah ini kita dapat berpikir ulang kala dilanda aneka persoalan yang menimbulkan amarah.


Editor:

Keislaman Terbaru