Pernikahan adalah upacara yang sakral dan suci, bahkan dalam agama manapun terdapat aturan yang musti dipatuhi agar dapat meraih kebahagiaan untuk mempelai berdua. Khusus pernikahan dalam agama Islam ada sejumlah Undang-Undang (UU) Perkawinan pada Pasal 7 dengan rumusan sebagai berikut:
1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita mencapai usia 16 tahun.
2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
Kompilasi Hukum Islam (HKI) yang menjadi pedoman dalam menyelesaikan permasalahan perkawinan warga Indonesia mempertegas persyaratan yang terdapat dalam UU Perkawinan dengan rumusan sebagai berikut. Yakni, untuk permasalahan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun, dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
Berangkat dari putusan ini, tidak ada batasam umur yang ditetapkan oleh UU. Berdasarkan hasil ijtihad ulama-ulama kontemporer, seorang perempuan bisa menikah dengan seorang laki-laki di saat ia masuk masa baligh atau seorang perempuan telah melewati masa haid. Karena di atas 16 tahun, seorang perempuan pasti melewati masa tersebut. Hal ini senada dengan tidak adanya ayat Al-Qur’an yang secara jelas dan terarah menyebutkan batas usia perkawinan dan tidak ada pula hadits yang secara langsung menyebutkan batas usia.
Dalam sejarah Islam, pasca wafatnya Khadijah r.a, banyak sahabat yang menawarkan perempuan untuk dinikahinya. Karena posisi itu Nabi sendirian mengurus umat. Kala itu ada salah satu sahabat yang meminta kepada Nabi untuk menikahi Siti Aisyah r.a saat berumur 6 tahun. Namun Rasulullah menolaknya, karena belum ada petunjuk dari Allah.
Saat datang petunjuk dari Malaikat Jibril, Nabi menikahi Aisyah. Namun Rasulullah tidak menggaulinya, karena belum masuk masa haid. Melihat kejadian tersebut, Asma’ binti Umais (istri Abu Bakar r.a atau ibu Aisyah) menginginkan anaknya bisa berkumpul dengan Nabi. Salah satu cara yang ia lakukan adalah memberi kurma dan mentimun untuk dikonsumsi setiap hari. Berkat dua buah tersebut, Aisyah tumbuh dewasa. Bahkan di usia 12 tahun, Aisyah sama persis dengan perawan yang berumur 15-18 tahun dan memiliki kecerdasan berpikir (matang secara psikis). Riwayat lain, Aisyah digauli setelah berumur 9 tahun atau selepas masa haid.
Dengan demikian, dasar pemikiran tidak adanya batas umur pasangan yang akan dikawin itu, kiranya sesuai dengan pandangan umat saat itu tentang hakikat perkawinan. Meskipun tidak ada ayat Al-Qur’an dan hadits yang secara tidak langsung mengisyaratkan batas usia tertentu. Namun di dalam surat An-Nisa’ ayat 6.
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ
Artinya: Ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kawin itu mempunyai batas umur dan usia itu adalah baligh. Sebagaimana dalam hadits dari Abdullah bin Masud muttafaq alaih.
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَن اسْتَطَاعَ مِنْكُم الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
Artinya: Wahai para pemuda siapa di antaramu telah mempunyai kemampuan dalam persiapan perkawinan, maka kawinlah.
Dari beberapa penjelasan di atas, ditarik kesimpulan bahwa pasca wafatnya Khadijah r.a, Nabi Muhammad SAW setia pada satu istri selama 15 tahun. Nabi menikah dengan Siti Aisyah binti Abu Bakar beserta istri lainnya berdasarkan istisyarah dan istikharah (menunggu petunjuk dari Allah SWT) yang diniatkan untuk ibadah dan syiar agama Islam.
Hikmah dari pernikahan Aisyah dengan Nabi Muhammad adalah diriwayatkannya ribuan hadis oleh Aisyah yang spesifik berbicara tentang kehidupan rumah tangganya dengan Rasulullah yang sampai saat ini patut diteladani, semisal meriwayatkan hadis-hadis tentang bagaimana cara Nabi berpuasa, salat, hingga mandi wajib.